Saya pernah berdialog dengan beberapa orang tua yang membolehkan pacaran, dengan batas tertentu ini. Kenapa dibolehkan? Karena dilarang pun akan tetap pacaran, secara sembunyi-sembunyi. Dimarahi seperti apapun, hanya akan menghabiskan energi.
Tipe anak memang berbeda-beda, ada yang patuh dan ada yang tidak. Orang tua yang membolehkan anaknya pacaran, sebenarnya adalah upaya jalan tengah. Mereka jadi lebih mudah memantau, dengan siapa anaknya dekat. Sekaligus berupaya agar kedekatan dirinya dengan si anak tetap terjalin, sehingga tidak tergantikan oleh sosok baru yang disebut pacar.
Terutama bagi anak perempuan, saat masuk usia remaja, ia perlu sosok bapak. Jika sosok bapak ini tak ia dapat, maka akan ada sosok lain yang menggantikan. Masalahnya, apakah sosok penggantinya ini bisa menjaganya?
Maka salah satu orang tua yang saya temui sempat mengungkapkan istilah pacaran sehat. Terdengar unik dan menggelikan. Lantas saya sampaikan istilah itu ke seorang teman jurusan psikologi, menurutnya pacaran saja sudah tidak sehat, secara psikologis. Duh.
Namun entahlah, saya kadang agak membenarkan istilah pacaran sehat ini. Atau istilah lainnya, pacaran produktif. Memang terdengar konyol. Teman saya yang mendengarnya sampai menertawakan, dan melempar sebuah pertanyaan : iya kalau nanti nikah, kalau tidak?
Selain itu ada juga yang mengingatkan, nanti bisa disalah artikan membolehkan pacaran. Padahal, istilah ini ditujukan untuk yang terlanjur pacaran, atau yang sulit dilarang untuk pacaran itu tadi.
Memang serba membingungkan. Teman aktivis gerakan perempuan juga mengingatkan, bahwa kasus kekerasan perempuan juga sering dilakukan oleh si pacar. Mulai dari kekerasan psikis hingga seksual. Maka, membolehkan pacaran sekalipun dengan istilah pacaran sehat, adalah suatu yang beresiko.
Lalu bagaimana pola pacaran sehat? Perlu ada role model. Di era sekarang ini terutama. Namun yang tak kalah penting adalah kesadaran akan tubuhnya masing-masing. Batasan mana yang boleh dan tak boleh disentuh, serta memahami dampak dari perbuatan tak sehat yang mungkin didapatkan.
Dalam suatu kelas konseling siswa yang saya ikuti beberapa tahun silam, guru BK menjelaskan bahwa salah satu upaya menghindarkan anak dari pacaran, adalah membuatnya sibuk. Sibuk sekolah dan organisasi terutama, aktif di OSIS dan ekstrakurikuler, atau kegiatan yang melibatkan hobinya.
Kesibukan itu bisa menjadi pelampiasan positif atas energi besar yang tengah dimilikinya di usia remaja.
Saya kemudian mencoba mengambil data kualitatif, berbincang dengan para ketua OSIS dan ketua Ekstrakurikuler yang saya temui. Sebagian besar dari mereka memang tidak punya pacar. Namun itu hal biasa. Sebab dalam satu sekolah, yang pacaran dengan yang jomblo jelas lebih banyak yang jomblo.
Kejombloan menjadi mengerikan ketika ia tak memiliki kesibukan lain. Namun ternyata ini hanya berlaku pada usia-usia remaja atau dewasa awal. Pada usia-usia di atas 21 tahun, kesibukan yang mendera ternyata justru membuatnya semakin perlu pasangan hidup. Terutama perempuan.
Maka ada suatu ungkapan : ketika seorang perempuan mengeluhkan lelah pada pekerjaannya, itu berarti ia membutuhkan pendamping hidup.
Intinya, pacaran sehat mungkin akan sulit diterapkan pada usia remaja. Selain emosinya yang masih labil, kemampuan mengontrol dirinya juga masih lemah.
Barangkali lebih realistis diterapkan pada usia-usia jelang nikah, untuk pekerja profesional, yang memang sudah memiliki orientasi pada pernikahan.
Namun apakah istilah pacaran ini tepat? Sebab selama ini pacaran selalu identik dengan hal-hal negatif, sumber dosa, dan sebagainya.
Namun bagaimana jika pacaran diperuntukkan untuk saling mendukung sama lain, entah dalam hal pendidikan hingga karir, serta dalam memberikan suatu ruang untuk saling mengenal sebelum ke jenjang pernikahan?