Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ruang Kelas Pilihan

Djuanda

18 November 2020   08:16 Diperbarui: 18 November 2020   08:27 115 1
Katanya jika kita sedang merasakan sedih yang tak bisa kita deskripsikan dengan kata-kata. Maka musik lah yang bicara.
Dia hanya seorang anak kecil berumur 10 tahun yang terpaksa harus merasakan lebih dulu, apa yang dimaksud dengan kehilangan.

Seorang anak lelaki yang sedang duduk sendirian dengan wajah tanpa ekspresi menatap alat musik didepannya terdapat sebuah piano berukuran lumayan besar. Dia mulai memainkan jarinya dengan lihai dan alunan lagu berjudul "Nocturne" karya Chopin yang merupakan lagu favoritnya mengalun di dalam ruangan ini.

Nada demi nada melantun lembut menyambut malam hari dengan suasana yang tak dapat dia deskripsikan. Disana hanya dia seorang yang dapat mendengar permainannya itu. Tak lama suara decitan pintu terdengar, dengan perlahan ia mengakhiri permainannya itu. Suara yang sangat familiar memanggil dirinya.

"Juan."

"Iya, nek?" Dia menolehkan kepala lalu melihat neneknya berjalan menghampiri nya. Kemudian sang nenek duduk di sofa yang terletak diruangan ini. Ah iya, pasti nenek terbangun karena tahu alasan kenapa dirinya bermain piano dimalam hari.

Juan berdiri menghampiri nenek, lalu duduk disebelahnya. "Kenapa nek? Mau Juan buatin teh Melati kesukaan nenek?" Tawar Juan.

"Nggak Juan. Kesini, nenek ingin bilang sesuatu sama kamu." Jawab nenek dengan senyuman hangat dibibir nya sambil menganggukkan kepala menyuruhnya untuk duduk bersama. Kemudian Juan perlahan menghampiri nenek dan duduk dengan manis disampingnya.

"Juan, ingat selalu kata-kata nenek ya. Tidak ada kebahagiaan yang abadi. Kesedihan pun begitu, tidak ada yang abadi. Cepat atau lambat semuanya pasti akan membaik. Jangan sedih ya nak."

Juan hanya bisa menatap nenek dengan sendu kemudian memeluk nenek dengan erat seakan tak rela melepaskan untuk kesekian kalinya. Kemudian Juan berucap pelan seraya menggigit ujung bawah bibirnya dengan kedua tangannya yang gemetar.

"Aku rindu mereka nek. Aku rindu." Tangisnya pecah setelah pengaduan kecil itu. Nenek membalas memeluknya sekaligus memberikan elusan kecil dikepala Juan.

"Ngga apa apa, nangis aja. Nenek disini."

Yang pergi biarlah pergi, yang tinggal sudah semestinya dijaga.

***

Kejadian 2 tahun yang lalu.

Pagi yang cerah menjelang akhir libur panjang. Papa, mama dan Juan memilih berlibur ke Jepang untuk tempat wisata liburan entah keberapa kalinya. Karena suasana di sana nyaman sekali, apalagi saat berada ditaman berisi pohon sakura yang sangat indah membuat mereka betah berlama-lama di sana.

"Djuanda, ayuk bangun nak nanti kita ketinggalan pesawat. Katanya kamu nggak sabar kasih oleh-oleh ke Kisa." Kisa adalah sahabat Juan karena mereka tetanggaan dan juga sering bermain bersama.

"Hah? Ini sudah pagi ma?" Tanya Juan sambil mengusap pelan matanya.

"Iya sayang. Cepat mandi sana ya. Siap-siap." Juan hanya menjawab dengan anggukan kepala lalu bergegas mandi dan pulang ke Indonesia.

Sesampainya di bandara mereka mulai mencari loket tiket dan pintu masuk menuju pesawat. Setelah menemukan tempat duduk, Juan memilih duduk diantara kedua orangtuanya. Tak lama pesawat lepas landas menuju Indonesia.

Tiba-tiba pesawat kehilangan kendali membuat semua penumpang panik. Mesin pesawat lepas kendali tak berfungsi. Baling-baling pesawat mengeluarkan asap yang semakin lama semakin besar. Penumpang buru-buru memakai pelampung dan gas oksigen untuk bernapas.

Rasanya Juan ingin menangis kencang saat itu juga. Kedua orang tuanya memeluk dirinya erat dan ia pun membalas memeluk mereka. Tapi sayangnya takdir berkata lain pesawat itu jatuh dan meledak dipantai sebuah pulau asing itu.

Dengan terbatuk-batuk Juan sadarkan diri dari pingsannya. Dia membuka mata perlahan tapi yang ia lihat hanyalah tembok putih bercahaya.
"Aku dimana?"

"Dok, cucu saya sudah sadar dok." Dokter lanjut memeriksa Juan.

"Syukurlah cucu kesayangan nenek akhirnya sadar." Neneknya menangis bahagia melihat cucunya sadar setelah seminggu berlalu sambil memegang tangan Juan dengan erat.

"Mama sama papa dimana nek?" Nenek berhenti menangis lalu diam beberapa saat, berganti menatap sendu cucunya.

"Jawab nek." teriak Juan dengan seperti sedang marah. Karena Juan masih berharap hal yang tidak dia inginkan tidak terjadi.

"Nenek, mama papa baik-baik saja kan? Mereka nggak terluka kan? Nek... jawab aku... Mereka masih hidup kan? Mereka... nggak pergi kan nek?" Bertubi-tubi pertanyaan Juan membuat neneknya terpaksa jujur menjawab dengan menggelengkan kepalanya pelan lalu ikut menangis sambil memeluk Juan dengan erat.

"Kenapa bukan aku saja yang pergi nek? Kenapa mereka nek?"

"Apa aku berbuat suatu kesalahan sampai tuhan membawa mereka pergi?"

"KENAPA BUKAN AKU NEK. KENAPA?!" Teriak Juan dengan tangis yang semakin menjadi-jadi. Nenek hanya bisa memeluknya erat takut hal yang tak diinginkan terjadi.

"Apa tuhan marah sama aku nek? Karena suka nggak nurut sama mama kalau makan nggak dihabiskan? Atau karena nilai matematika ku yang jelek jadinya tuhan marah sama aku, iya?" Jawaban polos Juan membuat nenek semakin menangis memeluk dirinya.

"Enggak, nggak mungkin kan nek? Nggak kan? Mereka pasti sekarang lagi istirahat kan nek? Jawab aku nek..." Mohon Juan dengan suara serak dan lemas. Nenek hanya memeluk dirinya dengan erat, Juan pun kembali tak sadarkan diri. Karena kata dokter dia mengalami syok karena baru sadarkan diri sudah mendapatkan berita seperti itu. Dan Juan kembali masuk kealam mimpi. Juan berharap itu hanya mimpi buruk, tapi takdir memang tak sebercanda itu.

Setelah menginap beberapa hari dan hari ini dipastikan dia akan keluar dari rumah sakit. Dimata Juan terlihat sudah tak ada air mata lagi yang keluar. Hanya muka datar yang terpampang jelas di sana.

Tidak selamanya mereka berada disisi kita, cepat atau lambat mereka yang sangat kita cintai dan sayangi pasti akan meninggalkan kita. Sayangnya, dia kehilangan diwaktu yang cepat. Karena kita juga manusia biasa, tak dapat mengubah takdir Tuhan seperti apa yang kita mau.

***

Seseorang menggunakan baju putih dengan celana abu-abu bergegas melangkah ke arah ruang tamu sambil membawa tas ransel berwarna biru tuanya.

"Nek, Juan berangkat ya! Bareng Kisa kok." Ucap Juan sebelum pamit.

"Iya sayang hati-hati." Jawab nenek dari arah dapur. Kemudian ia menemukan Kisa sudah berdiri didepan gerbang rumahnya dengan earphone ditelinganya.

"Woy, tumben disini saja. Kenapa nggak masuk?" Sapa Juan dengan tanya.

"Djuanda. Dengar ya nama gue tuh Kisa, bukan woy." Protes seorang perempuan bernama Kisa. Masih ingat kan dengan Kisa kan?  Sekarang mereka sudah resmi menjadi kekasih. Setahun yang lalu saat Juan memainkan piano dengan lagu heaven karya Bryan Adams. Tak disangka Juan menyatakan perasaannya dan mereka sama-sama jujur saat itu. Ya sekarang mereka sudah resmi menjadi kekasih hingga saat ini.

"Iya maaf, Kisa sayang. Yasudah ayok kita berangkat, keburu telat."

Jam demi jam berlalu tak disangka bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid mulai bergegas menuju rumah masing-masing. Lain halnya dengan Juan dan Kisa yang mampir ke taman komplek biasa mereka kunjungi setiap saat. Saat asik mengobrol dan bercanda tiba-tiba suara sirine terdengar dari jarak dekat, dan ternyata itu menuju ke arah rumah Juan.

Si pemilik  rumah langsung berlari cepat menuju rumahnya Kisa pun ikut mengejar langkah Juan. Sesampainya di sana Juan melihat neneknya dibawa menggunakan kasur rumah sakit dan dengan terburu-buru dimasukkan kedalam mobil ambulan. Juan dan Kisa ikut masuk kedalam mobil menemani nenek yang pingsan dengan muka wajah pucat pasi.

"Sebenarnya nenek saya kenapa sus?" Tanya Juan dengan nada khawatir yang kentara.

"Nenek kamu mengalami syok berat secara mendadak." Jawab suster yang masih sibuk memasang berbagai alat medis disekitar tubuh neneknya.

Kisa yang berada disampingnya hanya bisa mengusap tangan Juan seakan memberinya kekuatan.

***

Tak lama nenek perlahan membuka matanya tersadar dirinya berada dirumah sakit. Juan yang baru saja membuka pintu langsung terkejut dan berlari menghampiri neneknya. Memeluknya dengan pelan seraya menekan tombol merah tanda memanggil dokter.

"Syukurlah, nenek udah sadar." Ucap Juan dengan senyum merekah dibibirnya.

Setelah diperiksa oleh dokter, katanya nenek sudah boleh makan, minum obat, dan istirahat yang cukup.

"Aaa, ayok nenek buka mulutnya. Yah nenek kenapa sedikit makannya? Nggak enak ya?"

"Enak kok tapi hambar saja. Juan, nenek mau bilang sesuatu sama kamu."

Mendengar kalimat serius dari neneknya itu, Juan menaruh mangkuk diatas nakas kemudian mulai mendengarkan nenek bicara.

"Nenek mau jujur sama kamu. Nenek ingin memberitahu kamu sesuatu hal yang bahagia?" Juan hanya menganggukkan kepala dengan pelan sebagai jawaban.

"Kenapa nek?"

"Sebenarnya... Mama kamu masih hidup."
Juan berdiri tiba-tiba dengan kaku dia berjalan cepat menuju pintu keluar, berlari sekencang mungkin menuju taman rumah sakit.

Setelah mendengar pernyataan nenek barusan. Dia terduduk lemas dikursi taman, beruntung taman ini memiliki air mancur ditengah-tengahnya. Air matanya keluar dengan bebas melewati pipinya. Perasaannya campur aduk tak karuan. Perlahan dia terisak hebat dengan menunduk menyembunyikan kepalanya diantara kedua pergelangan tangannya yang memegang kepalanya. Dalam benaknya bertanya-tanya.

Kenapa?
Kenapa baru sekarang, ma?

Satu jam berlalu, Juan hanya berjalan-jalan disekeliling taman lalu dia duduk dikursi taman kembali, bedanya kursi ini terletak di bawah pohon besar yang menjulang tinggi. Tiba-tiba sepasang kaki seseorang berdiri kaku dihadapannya. Saat dia mendongak betapa terkejutnya dia melihat orang yang selama ini dia rindukan, dengan nyata terpampang jelas dia berdiri dihadapannya. Seorang wanita paruh baya berambut pendek memakai baju pasien khas rumah sakit ini dengan cardigan rajut langsung terduduk lemas kemudian menangis tersedu-sedu. Juan hanya diam tak sanggup berkata-kata.

"Maafin mama Djuanda. Mama minta maaf sayang. Mama menyesal nak. Maafin mama." Ucap sang mama sambil mencoba memegang tangan Juan dengan perlahan.

"Kenapa ma? Kenapa?!" Juan sedikit mengeraskan suaranya. Dengan tatapan yang menyiratkan kesedihan yang mendalam.

"Maafin mama nak." Ucapnya seraya memeluk Juan dengan erat tapi tak Juan balas pelukan mamanya.

Kemudian Juan berdiri hendak pergi meninggalkan mama nya sendirian disana.
"Maaf ma, aku nggak bisa." Begitu kata terakhir yang dia ucapkan.

***

Juan tiba dikamar nenek, dengan lemas dia duduk di sofa lalu berkata. "Nek, aku... bertemu mama tadi."

"Nenek tahu aku sangat terkejut. Tapi kenapa nenek biasa saja sekarang? Atau jangan-jangan nenek sudah menyembunyikan ini dari lama?"

"Tidak Juan, waktu itu nenek mengangkat telepon rumah yang berdering. Dan itu... Suara mama kamu..."

"Setelah itu nenek syok berat dan dibawa kerumah sakit, iya?"

Nenek hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Juan hanya menghela napas dia menutup matanya.

"Nenek tahu ini sulit untuk terima. Tapi nenek hanya punya satu permintaan."

Juan yang mendengar itu perlahan langsung membuka mata.

"Maafkan lah mamamu, dia mencari kita karena tidak punya siapapun lagi. Walaupun ini kejadian yang sudah lama tapi dia butuh kamu, Djuanda."

"Tapi nek, dia sudah menelantarkan aku dalam kesedihan selama 8 tahun. Dan tiba-tiba datang kembali tanpa merasa ada apa-apa? Nenek  tahu rasanya, itu sangat menyakitkan bagiku. Jadi aku mohon nek jangan paksa aku." Jelas Juan yang kentara sekali sedang menahan emosi.

Saat ingin menjawab tiba-tiba nenek merasakan sesak di dadanya. Dokter yang sudah dipanggil pun bergegas menangani ini. Juan terpaksa menunggu diluar karena tak boleh masuk kedalam sana.

"Juan, nenek kenapa? Apa yang terjadi sama nenek?" Kisa yang baru tiba disana sangat terkejut melihat keadaan nenek dari luar jendela. Juan hanya menggeleng takut, dan langsung memeluk Kisa dengan erat. Takut apa yang dia pikirkan menjadi kenyataan.

Saat melepaskan pelukan Kisa, seorang wanita paruh baya berdiri dibelakangnya sambil menangis tersedu-sedu. Juan hanya diam menatap mamanya.

"Juan... Dia... Dia tante Talitha kan? Ya Tuhan.. tante masih hidup?"

"Iya ini Tante, Kisa." Kisa langsung berlari menghampiri dan memeluknya erat. Orang yang dia sebut Thalita adalah mamanya Djuanda.

Kemudian dokter keluar dari ruangan nenek lalu meminta seseorang untuk ikut dengan dirinya. Juan mengajukan diri.

"Sebenarnya nenek kamu sudah pernah mengalami syok berat sebelumnya."

"Apa nenek saya bisa sembuh? Saya sama sekali nggak tahu soal ini dok."

"Bisa. Tapi butuh perawatan intensif agar nenek kamu bisa cepat pulih kembali."

Juan keluar dari ruangan dokter dengan lesu. Kemudian masuk kedalam ruangan nenek nya. Disana ada mamanya dan juga Kisa yang sedang sama-sama diam. Juan masuk dan duduk disamping tempat tidur nenek.

"Juan, gimana? Apa kata dokter, nak?"

"Apa hak mama menanyakan itu?" Jawab Juan dengan nada datar.

"Juan." Panggil Kisa memperingatkan.

"Kenapa sa? Mau belain mama juga? Iya??! Dia udah ninggalin gue selama 8 tahun. Selama 8 tahun itu gue merasa hampa, Kisa. Anak kecil berusia 10 tahun yang seharusnya bermain sepak bola sambil tertawa ria tapi, hanya bisa diam dirumah menahan rasa sakit di dalam dirinya karena merasa kehilangan dan rasa bersalah. Apakah tuhan marah sama gue atau nggak. Karena gue ngerasa saat itu Tuhan menghukum gue."

"Tapi nenek yang selalu ada disamping gue.  Membantu gue bangkit dari keterpurukan yang gue alami. Nenek membantu gue keluar dari jurang yang dalam. Membuat gue merasa hidup kembali." Jelas Juan dengan napas menggebu-gebu mengeluarkan apa yang selama ini dia pendam.

"Tapi Juan, Tante Thalita juga merasakan itu. Bahkan mungkin lebih menyakitkan? Karena dia tak punya siapa-siapa saat itu." Mama Juan yang mendengar mereka, hanya bisa menangis tersedu-sedu.

"Juan, dia mama kandung kamu yang telah melahirkan kamu. Terima mama kamu, maafkan dia Juan." Juan hanya diam tidak menjawab. Kepalanya pening seketika dan semua orang memanggil namanya samar-samar. Dia pingsan.

***

Memori-memori 8 tahun yang lalu berputar seperti kaset rusak. Suara-suara kata maaf yang mereka katakan seakan bergema didalamnya bagai latar musik sebuah film. Bayangan-bayangan yang dialami mamanya mendadak berputar bagai film lama yang terekam jelas dikamera. Dia membuka matanya mendadak, bulir-bulir keringat menetes diwajahnya. Dia melihat sekeliling dan disana terdapat mamanya tertidur disampingnya dengan memegang telapak tangannya erat.

"Mama. Maaf." Ucap Juan pelan, kemudian ia menangis.

Merasa ada suara yang tak asing mamanya terbangun dan kaget melihat putranya menangis ditengah malam seperti ini.

"Sayang, ada apa nak? Apa yang sakit? Mama panggilin dokter ya?" Juan hanya menggeleng kuat-kuat kemudian menggenggam tangan mamanya erat.

"Ma... Juan mintamaaf. Nggak seharusnya Juan... Juan..." Juan terisak semakin menjadi. Mamanya ikut menangis memeluk Juan dengan erat.
"Mama sudah maafin kamu jauh sebelum kamu mintamaaf mama sudah maafkan. Mama juga mintamaaf ya sama kamu karena nggak ada disisi kamu selama 8 tahun yang lalu." Ucap mamanya membuat nya kembali membalas pelukan orang yang sangat ia rindukan.

Juan hanya mengangguk, sibuk menangis merasa lega karena rasa tanda tanya yang selalu menempel diotaknya terjawab. Bahwa sebenarnya tuhan tidak pernah marah pada dirinya, tapi hanya menguji seberapa kuat dia mengahadapi cobaan yang Tuhan berikan.

***

"... Papa meninggal saat dibawa kerumah sakit untuk diperiksa."

"Mama, mengalami koma selama 2 tahun. Mama mengalami trauma hebat. Mama menjalani pengobatan sampai saat ini. Setelah itu mama berusaha mencari kamu yang dikabarkan dari pihak rumah sakit lainnya kalau nama kamu tertera disana. Mama bingung disana menelepon siapa dan kebetulan mama masih ingat nomor telepon rumah. Mama menelpon dan yang menjawab nenek kamu. Saat nenek kamu mendengar hal ini, dia sangat terkejut." Penjelasan panjang mama membuat Juan bungkam.

"Jadi... Mama dirumah sakit ini juga pasien? Iya?" Juan bertanya dengan hati-hati.

"Iya sayang." Jawab mama dengan senyum hangat dibibirnya sambil mengusap rambut Juan dengan lembut.

Sampai suara pintu terdengar seperti diketuk oleh seseorang. Dan masuklah Kisa sedang membantu mendorong kursi roda yang nenek duduki.

"Bagaimana kabar cucu nenek? Sudah sehat?" Tanya nenek dengan senyum merekah.

"Sudah dong nek, Juan kan kuat kaya Popeye. Kan abis makan hahahaha." Juan tertawa mengundang banyak senyum diwajah mereka.

"Berarti Popeye bukan makan sayur bayam lagi untuk jadi kuat, tapi makan bubur baru jadi kuat? hahahaha." Kisa tertawa terbahak-bahak membayangkan Popeye makan bubur.

Nenek hanya menggelengkan kepala heran, dua anak muda ini ada-ada saja begitu dalam benaknya.

"Aku mintamaaf, baru bisa menemui kalian disaat aku belum sembuh total. Dan terimakasih kalian sudah menerima aku kembali dengan lapang dada." Tiba-tiba mamanya berkata dan menangis kecil sambil mengusap air matanya.

"Ma... Aku sama nenek udah maafin mama. Iya kan nek?" Sambil menatap nenek lalu kembali menatap mamanya.

"Jadi... mama jangan pergi lagi ya?" Jawab Juan dengan senyum tulus yang dia jarang perlihatkan dan begitu juga nenek yang mengangguk setuju sambil tersenyum bdengan perkataan Juan.

"Iya sayang. Terimakasih." Senyuman tulus  ibunya menghangatkan suasana. Kisa memeluk nenek dari samping sambil tersenyum saat melihat ibu dan anak kembali bersatu saling berpelukan setelah peristiwa masa lalu, yang mendatangkan rasa sakit bagi keduanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun