Selain menawarkan panorama alam yang indah dengan kawah hijau toskanya seperti yang sering saya lihat di majalah-majalah wisata maupun liputan televisi, ada satu lagi yang menjadi daya tarik utama mengapa Kawah Ijen begitu terkenal sampai mancanegara. Yaitu Blue Fire, atau Api Biru. Jujur saya sendiri tidak begitu mengerti kenapa api yang muncul dari celah bebatuan kawah tersebut berwarna biru bukan merah seperti lazimnya gunung berapi lain di Indonesia. Oh iya, dari beberapa sumber yang saya dengar, Blue Fire ini hanya ada dua saja di dunia, di Kawah Ijen dan Islandia. Namun saya sendiri tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi untuk bisa menyaksikan Blue Fire tersebut mengingat cuaca yang tidak menentu.
Perjalanan saya sendiri untuk menuju Kawah Ijen di tempuh dari Bondowoso, yang memakan waktu kurang lebih 2.5 Jam perjalanan. Hal yang sedikit disayangkan adalah adanya beberapa ruas jalan yang rusak, meskipun dapat dilalui dengan mobil atau motor namun perlu sedikit berhati-hati karena cukup berbahaya apalagi jika habis diguyur hujan. Untunglah saat itu cuaca cukup cerah, hanya sedikit bekas guyuran hujan di beberapa titik mendekati Paltuding, pos terakhir sebelum naik ke Kawah Ijen. Sesampainya di Paltudingdan membayar tiket seharga Rp.7.500 per kepala, saya dan rombongan pun mulai mendaki. Suasana saat itu cukup ramai oleh pendaki lain, baik yang terlihat pro maupun pemula seperti saya. Dan mungkin karena bertepatan dengan malam minggu juga.Trekking menuju puncak Ijen benar-benar membutuhkan fisik dan stamina yang baik. Karena meskipun jalurnya sudah ada dan cukup baik, namun kemiringan lajur pendakian yang cukup curam, serta jalan yang sedikit lembab karena di guyur gerimis beberapa jam sebelumnya, mengharuskan kami untuk ekstra hati-hati. Dari keterangan beberapa pendaki yang kami temui, jarak dari Paltuding menuju ke kawah adalah 3 km, dan itu kami tempuh selama kurang lebih 2 jam. Menjelang puncak, kabut semakin pekat, bercampur dengan asap belerang dari kawah yang berhembus ke jalur pendakian. Saat itu hampir seluruh pendaki merapatkan diri di balik tebing untuk menghindari asap belerang. Selain membuat sulit bernafas, juga membuat mata pedih sehingga cukup berbahaya jika dipaksakan untuk berjalan. Bahkan sampai di puncak pun angin bertiup cukup kencang, ditambah udara dingin cenderung basah sehingga kami pun harus berlindung di balik bebatuan.
Harapan untuk melihat Blue Fire pun kandas, karena menjelang matahari terbit kabut dan asap masih tebal menyelimuti kawasan Ijen. Namun hal itu tidak serta merta membuat kecewa, karena seiring kabut yang makin menipis, pemandangan Kawah pun mulai terlihat dan tak kalah memesona mata serta membuat hati ini bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan sehingga saya bisa menikmati ciptaanNya yang luar biasa.