"Mbok yo orang-orang itu kalau sudah melihat anak saya dan sudah tahu bahwa cacat, ya sudah, nggak perlu ngelihatnya diterusin sampai memandangi terus ke arah kami," katanya lebih lanjut.
"Siapa sih yang mau dikasih anak cacat?"
"Tapi karena Tuhan memberi anak seperti ini mau diapain lagi, ini kan amanat dari Tuhan, juga."
Lain pengalaman Ani, lain juga pengalaman Rina.
"Saya pernah mengajak pergi anak saya yang autis ke mal, tiba-tiba anak saya mendorong anak orang, tidak sampai jatuh sih, tapi ibunya marah minta ampun," kata Rina.
"Saya udah minta-minta maaf sama orang tuanya, tapi tetap aja dia marah-marah malah manggil suaminya," katanya lebih lanjut.
"Setelah suaminya datang, dua-duanya gak ngomong tapi ngelihatin kami terus, seolah-olah kami sudah seperti terdakwa yang tidak termaafkan,"
Ada juga pengalaman Shinta yang memiliki anak epilepsi.
"Orang-orang terutama tetangga melarang anak-anaknya bergaul dengan anak saya."
"Kalau ada ada anak saya, udah deh orang tuanya memanggil anak-anaknya supaya pulang atau tidak bergaul," katanya.
"Kebanyakan dari mereka takut tertular,"katanya Shinta dengan sedih.
"Padahal epilepsi kan tidak menular," tambahnya lagi.
------------------
Di atas adalah beberapa curahan hati ibu-ibu yang kebetulan memiliki anak penyandang Down Syndrome, Autis, dan Epilepsi.
Ibu-ibu ini sering mengalami hal yang sama yaitu pandangan negatif dari orang-orang di sekitar mereka dimana mereka berada.
"Bagi kami, tanpa pandangan aneh atau miring dari orang lain, sehari-hari kami selalu deg-degan dengan kondisi anak kami," kata Rina,"Oleh sebab itu kalau masih ditambah dengan pandangan miring orang, maka kami jadi lebih tertekan."
"Mau pergi ngajak anak salah, nggak diajak pergi kasihan," tambahnya.
------------------
Kebiasaan mentertawakan, mengejek, memandang dengan sinis adalah kebiasaan lama yang sukar dihilangkan. Dari zaman dahulu kala perlakuan ini sudah ada. Budaya "pasung" adalah salah satu contoh bahwa orang-orang yang berprilaku tidak wajar menurut pandangan orang sekitar harus diasingkan bukan diobati.
Namun bila di zaman seperti sekarang ini dimana ilmu pengetahuan sudah maju dan berbagai informasi bisa dicek melalui "mbah Google". Perlakuan mirip seperti budaya pasung yaitu mengasingkan atau memandang dengan sinis terhadap penyandang ketiga hal di atas, seharusnya bisa diminimalisir.
Sudah sewajarnya budaya melihat kekurangan secara fisik pada seseorang bisa diminimalisir. Terima kondisi mereka yang "kurang" tersebut apa adanya. Beri kesempatan untuk berkembang dan jangan anggap sesuatu yang harus diasingkan atau disingkirkan.
Untuk menghindari kesalahfahaman atau menyinggung secara tidak perlu, beberapa hal dibawah ini bisa dilakukan :
1. Jangan perlihatkan keheranan yang sangat ketika anda berpapasan dengan mereka di jalan atau dimana pun.
2. Jangan langsung memaki-maki bila terjadi hal yang tidak menyenangkan (ini pun berlaku untuk semua orang). Penting untuk selalu cek dan cek ulang.
3. Sadarilah bahwa apa yang dialami ketiga ibu di atas bisa dialami oleh semua orang. Jadi jangan melakukan hal yang membuat ketiga ibu itu sedih.
4. Sadari pula bahwa masa depan belumlah pasti, belum tentu yang DS, Autis, Epilepsi dan sejenisnya akan selamanya begitu dan tidak bisa hidup, namun perlu disadari pula bahwa belum tentu si anak yang pandai, cerdas, dan sehat memiliki kehidupan yang lebih baik dari ketiganya di atas.
Fadjar S
Yayasan Epilepsi Indonesia
www.ina-epsy.org