Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

(S)AYA

1 Februari 2023   10:17 Diperbarui: 1 Februari 2023   10:31 207 2
(Orang Gila dan Manusia Munafik)

Saya benar-benar merasa takut hari ini. Setelah kemarin mendengar keinginan Aya untuk disetubuhi. Melakukan solo sex demi mencapai klimaks atau meraih orgasme tinggi. Membayangkan bagaimana cara ia memainkan klitoris yang juga saya miliki. Tidak! Bagi saya, masturbasi termasuk ke dalam jenis borderline. Dan beronani di saat seperti sekarang, hanya akan menambah deretan panjang daftar kelainan mental dan jiwa saya.

Pertanyaannya adalah, benarkah ia gila? Jika ia gila, apakah saya akan tertular? Bagaimana jika kami berdua sama-sama gila? Apakah Tuhan sudah berlaku tidak adil?

"Apa itu Tuhan?" Aya tiba-tiba bertanya. Entah kenapa, ia selalu mampu membaca apa yang sedang saya pikirkan. Apakah mungkin karena saya sendiri yang menciptakannya?

Sejenak saya memutar otak, menyusun kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan Aya. "Tuhan yang menciptakan kita."

"Menciptakan orang-orang gila?"

"Bukan. Tuhan menciptakan kebaikan."

"Apa itu kebaikan?" Ia mengambil sisir dari laci meja rias di samping tempat tidur dan mulai merapikan rambut kritingnya sambil berkaca. Jelas sekali saya melihat diri saya mengikuti gerakannya dalam cermin.

"Kebaikan adalah Tuhan itu sendiri. Dia yang bermurah hati menumpahkan kasih dan sayang, Dia mengabulkan segala doa, memberikan nikmat, berkat, dan kesempatan untuk berbahagia. Dan ... Dia satu-satunya Sang Maha yang dapat memberikan kita pertolongan."

Ia mendengus, tersenyum sinis menatap saya.

"Pertolongan?"

"Ya."

"Lalu, kenapa Tuhan tidak menolong saya?"

"Kapan?"

"Kenapa kamu menjawab pertanyaan saya dengan pertanyaan?" Ia berteriak, saya diam.

"Tuhan tidak pernah ada! Tuhan tidak pernah menolong saya. Tuhan membiarkan saya hidup dengan penuh penderitaan. Dengan sepasang orang tua yang tak punya moral. Ayah saya seorang pencuri kelas teri, sementara ibu saya seorang mucikari. Dan kamu tahu, saya dipaksa mereka untuk menjual diri. Taik!" Ia masih berteriak-teriak. Saya masih diam.

"Lalu, di mana Tuhan yang kamu maksud itu?"

Saya menghela napas dalam-dalam. Kali ini saya tidak boleh mengatakan sesuatu yang akan membuatnya terus berteriak seperti orang tidak waras.

Dasar gila! Apa ia tidak takut, jika semua penghuni rumah mendengar teriakannya, mereka pasti tahu keberadaan saya. Jika mereka sudah tahu keberadaan saya, maka mereka bisa membunuh saya. Jika mereka membunuh saya, maka ia akan semakin gila. Dan jika ia semakin gila, siapa yang mau menolongnya?

"Aya, Tuhan ada bersama orang-orang baik."

"Taik!"

"Itu benar, Aya. Tuhan sangat dekat, bila kita pun mau mendekat pada-Nya."

"Taik, ah!"

"Kenapa kamu masih belum memercayai Tuhan?"

"Karena Tuhan tidak pernah ada! Saya tidak melihat tanda-tanda keberadaan Tuhan di kehidupan saya. Dia tidak pernah menunjukkan diri. Tidak pernah saya merasakan kasih sayang-Nya, entah nikmat, berkat, kebahagiaan dan ... Dia juga tidak pernah memberikan pertolongan sekecil apa pun untuk saya!"

"Apa kamu pernah meminta pertolongan-Nya?"

"Kapan?"

"Kenapa kamu menjawab pertanyaan saya dengan pertanyaan?" Kali ini saya yang berteriak. Ia terdiam.

Satu detik, satu menit, satu jam kemudian ....

"Kenapa masih diam?"

"Saya ada pertanyaan lagi," ucapnya.

"Katakan."

"Kamu bilang, Tuhan mengabulkan doa?"

"Ya, benar. Lalu?"

"Lalu, kenapa Dia tidak mengabulkan doa-doa saya?" Aya memalingkan wajah. Ada sesuatu yang selama ini ia coba sembunyikan. Perasaan tertekan, sedih, kecewa, marah, dan semuanya tertumpah lewat tetes-tetes air asin yang kemudian membasahi pipi tirusnya. Dan saya merasakan basahnya.

"Kamu berdoa?"

Aya mengangguk pelan, sekilas menebar senyum sambil menyusut air matanya dengan telapak dan punggung tangan. Dan saya merasakan basahnya.

"Hahaha ...!"

"Kenapa tertawa?"

"Haha ... Hahaha ... Hahahaha ...!"

"Diam! Jangan menertawakan saya seperti itu!" Aya bangkit dari tempat duduknya. Bola matanya menjuling, jari telunjuknya mengarah tepat di wajah saya.

"Saya heran, kenapa manusia sangat suka bersikap munafik."

"Siapa yang munafik?"

"Hahaha ... semuanya! Semua manusia yang hidup di kehidupan sekarang. MU-NA-FIK!"

"Kamu belum menjawab pertanyaan saya?"

"Kenapa saya harus menjawabnya? Munafik! Satu jam lalu, kamu bilang tidak percaya kalau Tuhan itu ada. Tapi, diam-diam kamu berdoa. Munafik! Hahahaha ...!"

Saya lekas meninggalkan Aya. Saya merasa sangat bahagia hari ini. Setidaknya, saya punya keyakinan bahwa Aya belum benar-benar sempurna menjadi orang gila. Aya hanya mengalami pergulatan jiwa.

Saya hanya manusia munafik, tapi saya tidak gila!

*

Apa itu Tuhan? Apa itu kebaikan? Apa itu kasih sayang, nikmat, berkat, kebahagiaan dan pertolongan? Lalu apa artinya doa dan kepercayaan?

"Munafik!"

Saya masih mendengar teriakannya seperti mendengar gema lolongan. Ya, saya mendengar seekor anjing melolong dan saya melihatnya. Seekor anjing yang tiba-tiba berubah wujud menjadi seekor serigala. Serigala berkepala manusia. Manusia yang berwajah sama seperti wajah saya. Berkacak pinggang di depan kaca. Terus-menerus tertawa dan menangis secara bergantian dalam waktu yang cukup lama.

Munafik!

Itu saya! Saya tidak gila! Tapi jika saya tidak gila, kenapa mereka bilang saya gila? Jika saya tidak gila, kenapa mereka meninggalkan saya? Kenapa mereka mengasingkan saya di sini? Kenapa mereka menyekap saya di kamar yang selalu terkunci? Kalau saya tidak gila, kenapa Tuhan tidak mau memberikan saya pertolongan?

Dia bilang, Tuhan bersama orang-orang baik. Mungkin dia mau bilang, saya bukan orang baik karena saya gila. Itulah alasan kenapa Tuhan tidak membersamai diri saya. Tuhan tidak mau memberikan kasih dan sayang-Nya. Tuhan tidak memberkati saya dengan nikmat dan kebahagiaan. Tidak juga mau menolong saya, apalagi mengabulkan doa-doa saya.

Benar-benar munafik! Selain gila, ternyata saya juga seorang manusia munafik!

Hahahahahaha ...

Dia benar! Saya bersikeras mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah ada, sementara diam-diam saya memanjatkan doa. Saya menuntut pertolongan Tuhan, sementara saya menolak untuk mempercayai-Nya. Apa-apa yang saya ucapkan tidak pernah sependapat dengan isi hati.

Munafik!

Hahahahahaha ...

Tunggu! Siapa sebenarnya Tuhan? Orang tua saya tidak pernah sekali pun mengenalkan saya pada Tuhan. Atau ... mereka tidak mengenal Tuhan? Atau ... jangan-jangan mereka sengaja menyembunyikan Tuhan dari saya, karena takut saya memilih berkeyakinan? Mereka takut saya mempercayai Tuhan dan meminta pertolongan-Nya? Mereka takut saya tahu bahwa bukan mereka yang menciptakan saya, tapi Tuhan.

Dulu, mereka bilang saya tercipta dari cairan kental berbau pandan yang dinamai sperma yang konon rasanya segetir pecin. Sperma itu kemudian membuahi indung telur dan terus bertumbuh di rahim ibu saya, janin itulah yang membuat hidup mereka menjadi semakin miskin.

Mereka bilang saya adalah celaka. Mereka bilang saya asal muasal neraka. Dan mereka selalu berkata saya anak paling durhaka. Saya tak pernah peduli pada caci maki atau sumpah serapah yang mereka bilang. Saya tetap menerima perlakuan kedua orang tua itu, karena saya punya harapan, suatu hari mereka mau memberikan saya kasih sayang. Tetapi lambat laun harapan itu semakin jauh dan menghilang.

Kedua orang tua itu tidak pernah menerima kehadiran saya. Mereka menganggap saya sebagai aib, bukan anugerah. Mungkin karena mereka tidak punya buku nikah, sehingga kehadiran saya di sisi mereka cuma bikin susah. Jadi, seberapa besar pun usaha saya untuk membalas budi mereka, tetaplah terlihat salah. Tiada guna. Percuma. Sia-sia saja.

Tak heran mereka menganalogikan rumah sama seperti kuburan dan penghuninya sebagai roh penasaran. Mereka tidak menyebut nama Tuhan karena mereka tidak punya keyakinan. Mereka tidak memperkenalkan Tuhan karena mereka tidak punya pengetahuan.

Sepanjang usia, hanya nama-nama binatang yang saya hapalkan. Binatang-binatang yang mereka sebutkan itu bahkan dapat menjelma pada anggota tubuh beberapa bagian.

Misalnya, ketika Si Laki-laki memaki saya dengan sebutan monyet, maka seketika tubuhnya menjadi penuh bulu dan di belahan pantatnya tumbuh ekor panjang. Monyet itu loncat ke sana kemari dengan lincah, lalu Si Monyet akan kembali pulang membawa hasil curian.

Misalnya, ketika Si Perempuan memarahi saya dengan sebutan babi, maka seketika mulutnya berubah menjadi moncong dan akan ada dua babi jantan menghampirinya lalu bergantian menggagahi Si Babi Betina.

Akhirnya saya tahu, kenapa mereka bilang saya gila. Bagaimanapun juga, saya tercipta dari sperma Si Monyet yang membuahi indung telur Si Babi Betina.

*

 

Aya adalah saya dan saya adalah Aya. Orang-orang munafik bilang, saya gila, tapi saya tidak mau mengakuinya. Mana ada orang gila ngaku gila! Orang gila dan manusia munafik itu sama saja, sama-sama tidak mau mengakui kegilaan dan kemunafikannya, benar bukan? Dan kita semua sama. Kalau tidak gila, ya munafik namanya.

***

17 Juli 2018

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun