Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

My Eternal Edelweiss

1 Februari 2023   06:00 Diperbarui: 1 Februari 2023   06:09 198 0
Malam ini,

mungkin aku tak sendiri

Tapi saat mengingatmu, seramai apa pun di sini

Aku juga sama, sendiri

...

Sebut saja namanya Nat. Aku mengenalnya dari teman dekatku, Bima. Kami pacaran di hari dan tanggal yang tak pernah kami ingat. Nat adalah pacar pertama sekaligus cinta pertamaku. Setelah lulus SMA, dia kuliah di luar kota, dan kami masih tetap melanjutkan hubungan long distance dengan perjanjian di atas materai, "Kita saling mencintai, aku percaya kamu, kamu percaya aku, jangan bosan, jangan nakal dan kita akan menikah muda!" begitu bunyinya.

Saat membaca novel Dilan karya Pidi Baiq, aku jadi teringat kertas perjanjian yang kami tandatangani berdua di atas materai enam ribu, tahun 2009 lalu. Sayangnya, tanda tangan dan materai saja tidak cukup untuk mengikat janji kami. Nat melanggar janjinya sendiri berkali-kali, dan aku selalu memaafkannya. Entahlah, kurasa jaraklah yang membuat hubungan kami menjadi tidak sebaik dulu.

Nat mulai berbuat curang. Dia mengencani beberapa teman kuliahnya, teman mainnya, teman naik gunungnya, dan salah satu teman dekatku. Bisa dibilang Nat itu playboy! Hm, ya ... dia memang tampan, dia bisa mendapatkan apa pun dan siapa pun dengan mudah. Dan aku terlanjur menyayangi Nat, entah karena sesuatu atau banyak hal yang pernah kami lakukan, membuatku begitu takut kehilangan, takut untuk melepaskan dan melupakan.

Dia memberiku helm warna pink yang ditempel stiker bertuliskan "HELM NU SI NYONYA", dia memberiku sebuah tas anjing yang juga berwarna pink, dia mengganti casing handphone-ku dengan warna pink, dan semua barang yang dia berikan padaku selalu berwarna pink. Aku tidak suka pink, tapi Nat memaksaku untuk menyukainya sampai benar-benar suka.

Aku masih ingat percakapan terakhir kami, seminggu setelah Nat menulis kata maaf penuh seisi buku lima puluh delapan lembar, sebagai hukuman. Nat kembali mengulangi kesalahan yang sama, meminta maaf dengan kalimat yang sama, merayuku dengan gombalan yang sama, dan ... hari itu, aku kembali memberinya maaf karena sebuah nama; edelweiss.

*

8 Juni 2011

"Nyony, bentar lagi gue nyampe rumah. Gue metik bunga edelweiss buat lo, Nyony. Gue lupain kode etik demi lo. Gue tahu, lo udah lama pengenin bunga itu kan?"

Nat sepertinya tahu aku sangat ingin memiliki bunga edelweiss. Kata orang, edelweiss adalah lambang keabadian, bunga itu tidak akan pernah mati. Anehnya, Nat tidak pernah mengizinkanku metik satu edelweiss pun setiap kami mendaki. Nat bilang, pantang bagi seorang pencinta alam mengambil edelweiss, meski hanya satu tangkai. Ya, dan Nat seorang pelanggar janji ulung!

"Hallo, sayang ... kangen, ya?" sapa Nat dari sebrang telepon.

"PEDE! Gue cuma mau nanya, lo mau makan apa? Eh, kapan gue bilang pengen bunga itu?"

"Ciee, emang lo bisa masakin gue apa selain mi instan? Lo nggak pernah bilang, tapi gue sering lihat lo mandangin bunga edelweiss dan tiap lo mau petik langsung gue pelototin, hehe."

"Masak aer! Hah, basi lo! Sok iye jadi anak pencinta alam, ujung-ujungnya bikin pelanggaran!"

"Jiah, masak aer mah anak SD juga bisa, Nyony. Tapi boleh deh, buat mandi. Mandi bareng, hehe! Gue bukan pencinta alam, gue mah pencinta wanita, cinta Nyonya!"

"BERISIK LO!"

"Yang suka berisik kan elo, Nyony? Berisik ketika bercinta di alam bebas, haha!"

"Lo mau ngapain ke rumah gue? Mau bikin gue tambah kesel?"

"Hm, Nyonya masih galak aja kayak buldog."

"Sialan! Lo ngatain gue anjing?"

"Hehe, iya-iya ... keceplosan. Gue datang mau minta maaf, Nyony. Gue ngaku salah, gue pengen perbaiki semuanya, gue janji gue nggak akan main cewek lagi. Gue kangen, gue mau kita makan bareng dan gue mau kasih edelweiss buat Nyonya yang always ada di hati gue."

Jangan heran, aku dan Nat memang seperti itu. Kami memakai bahasa yang sekenanya, sama seperti saat kami berbicara dengan sahabat. Aku merasa nyaman dengan panggilan 'Nyonya' dari Nat, bagiku nama itu lebih dari kata romantis.

*

8 Juni 2011

Hari itu, adalah hari terakhir kami bertemu. Hari di mana Nat menghadiahiku bunga edelweiss. Kupikir dia berbohong, karena aku tidak menemukan edelweiss dalam carrier-nya, yang kutemukan justru sebuah benda asing yang sangat menjijikan. Itu adalah pertama kalinya aku melihat dan menyentuh alat kontrasepsi bernama kondom. Sialnya, aku menemukan benda itu dari tas orang yang selalu berusaha kupercaya. Rasanya sangat sakit, kondom itu seperti menghisap semua jatah oksigenku.

"Ini ... apa?" Kutanya.

Nat bergeming. Kami saling diam. Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku butuh kalimat ajaib yang kelak akan selalu dia ingat seumur hidupnya. Mataku mulai kepanasan dan tiba-tiba pipiku basah.

"KITA PUTUS!"

Sebenarnya aku ingin sekali mendaratkan sebuah tamparan di kedua pipi Nat. Tapi percuma, tidak akan ada yang berubah dari Nat, juga keputusanku. Aku ingin Nat mati saja. Dengan begitu, tidak akan ada lagi yang membuat hatiku sakit, bukan?

 "Nyony, maafin gue. Demi Tuhan, gue nggak seperti yang lo pikir. Lo tahu gue, kan? Gue sayang sama lo. Gue masih dan akan selalu sayang sama lo, Nyony."

Ucapan Nat sore itu adalah ucapan yang terakhir kudengar. Kami putus dan aku percaya aku mampu hidup tanpa Nat. Tapi ternyata tidak. Semalaman aku menangis tanpa henti, aku menghabiskan puluhan batang rokok untuk menenangkan kiamat kecil di hatiku. Aku kosong. Bukan aku, tapi hatiku. Bukan hanya itu, tapi jiwaku juga. Seperti berada di puncak gunung di jam-jam berkabut, aku sulit mendapatkan udara. Dan kiamat baru benar-benar terjadi tepat di hari setelah Nat meninggalkanku.

*

9 Juni 2011

Aku ingat, kemarin aku menyumpahi Nat mati saja. Aku ingin Nat mati, matilah Nat dalam hati ini. Tidak kusangka, Tuhan begitu cepat mengabulkan permohonanku. Aku tidak serius. Sumpah! Aku tidak sungguh-sungguh menginginkan hal itu. Aku berharap hari ini berubah menjadi mimpi. Tapi itu tidak mungkin. Terlambat. Tuhan sudah benar-benar mengambil Nat dariku.

Lebih dari satu jam kutatap kosong pusara Nat. Aku tidak menangis. Mataku terasa kering dan perih. Aku masih berharap ini tidak nyata. Tidak! Ini nyata! Harus kukatakan berulang-ulang pada diriku sendiri bahwa ini nyata. Nat pergi untuk selamanya, selama-lamanya.

"Lo tahu, kondom yang Nat bawa itu buat apa?" Bima bertanya. Aku tidak menjawab, selain karena masih kesal mengingat benda itu, aku juga tidak punya kekuatan untuk berbicara. Aku lelah.

"Dia pake kondom buat pelindung hape, bukan buat sesuatu yang ada di kepala lo!"

Aku terdiam. Kata-kata Bima membuat dadaku semakin sesak dan sakit tak terkira. Kali ini aku salah. Aku bahkan tidak memberi kesempatan Nat untuk menjelaskan. Aku tidak sempat mengucapkan kata maaf padanya. Aku sangat menyesal. Tuhan, bisakah Kau hukum aku sekarang?

"Kemarin, sebelum Nat pulang, dia nitip ini buat lo. Lo simpen bunga ini baik-baik, dan dia juga minta maaf karena selalu bikin lo nangis, tapi dia sayang sama lo." Bima menyerahkan bunga edelweiss yang diikat dengan akar tanaman.

Ternyata Nat tidak berbohong. Dia benar-benar melanggar kode etik demi edelweiss yang sejak lama kuinginkan. Terima kasih, Tuan. Maafkan aku.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun