Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Hujan yang Sama

1 Februari 2014   16:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:15 12 1
Hujan masih meninggalkan jejak pelariannya di tanah ini. Aroma berbalut angin sepoi yang menerbangkan asa tiap individu. Jejak pelarian hujan, bagaimanapun juga, akan tercium bahkan oleh sesuatu yang tak pernah bisa hadir dan menikmatinya.

Sejak zaman dulu, zaman sekarang, hingga zaman nanti hujan akan terus berlari, berlari mengejar apa yang tidak kita kejar. Kaki kecilnya menjilat hampa meninggalkan basah di atap-atap rumah, di tanah pekarangan, di daun pohon bambu, di mana-mana. Suara jeritannya membahana tiap kali kaki kecil itu mulai melangkah di atap-atap rumah, di tanah pekarangan, di daun pohon bambu, di mana-mana. Sebagian menganggap musik harmoni, sebagiannya mencaci-maki.

Sore itu, bukan lagi satu, tapi dua. Mereka. Yang sama-sama menikmati secangkir kopi hitam di sebuah pojok unik di tengah kota.. Di antara cangkir beling tua, meja-kursi kayu, dinding putih, dan anyaman bambu. Matahari yang telah pergi, dan bulan bintang yang masih bersembunyi. Keduanya masih belum menyentuh cangkir beling tua itu ketika diantaranya saling pandang lalu tersadar saat gemuruh kaki kecil mulai melangkah di atas kepala mereka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun