Ungkapan Messick di atas secara tegas menekankan bahwa tradisi oral/ pembacaan memiliki tingkatan di atas tradisi tulis. Dalam Islam, hal ini jelas dari sejarah turunnya wahyu pertama dari Tuhan melalui Jibril kepada Muhammad, yang tidak dapat membaca dan menulis, dengan menggunakan medium oral atau pembacaan (iqra!).
Sejarah wahyu pertama tersebut secara tidak langsung melegitimasi otoritas tradisi oral. Tradisi ini kemudian diteruskan dengan tradisi menghafal oleh para sahabat. Setiap kali wahyu turun kepada Muhammad, langsung disampaikan secara lisan dan dihafal di hati para penghafal. Dalam perkembangan tradisi keilmuan di dunia Islam selanjutnya muncullah ungkapan bahwa al-ilmu fi shudur la fi sutur (ilmu itu terdapat dala hati, bukan dalam tulisan).
Dalam konteks Hadith, sumber utama kedua setelah al-Quran, Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya, melarang untuk menulis apa-apa yang ia sampaikan kecuali al-Quran. dalam periwayatannya, seorang periwayat yang mampu meriwayatkan huruf demi huruf apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad memiliki derajat yang lebih tinggi dari para periwayat yang hanya mampu meriwayatkan makna suatu hadis dan hadith yang diriwayatkannya pun memiliki tingkat otentisitas yang lebih tinggi.
Dalam perkembangannya di Indonesia, tradisi oral (masih) diteruskan di berbagai institusi pendidikan Islam, khususnya di kalangan pesantren. Di mana materi-materi keislaman banyak disampaikan secara lisan oleh para kyai dan para santri dituntut untuk menghafal kaidah-kaidah yang ada.
Kedatangan produk-produk teknologi saat ini sedikit banyak mempengaruhi pola transmisi keilmuan yang selanjutnya juga mempengaruhi derajat otoritas tradisi oral. Sebuah kata bijak yang menyebutkan “anyone can memorize things, but the important thing is to understand it” menjadi kontra-argumen pentingnya tradisi oral dan menghafal.
Sejatinya, baik tradisi oral, tulis, atau pemahaman memiliki urgensi masing-masing yang unik, tidak dapat digantikan oleh salah satu. tetapi yang pasti, semua tradisi tersebut bersifat komplementer, pelengkap satu sama lain. Idealnya, tradisi oral, tulis, dan memahami dapat berjalan beriringan.
Munculnya teknologi yang dapat memproduksi (di saat yang sama juga mampu mereproduksi) suara, gambar dan gambar gerak (motion picture), memberikan kontribusi signifikan dalam menjaga tradisi pola transmisi keilmuan tersebut. Hanya saja, tradisi-tradisi tersebut, mau tidak mau, menjadi harus termediatisasikan (mediatized).
http://rahmanthougts.wordpress.com/