Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Fadh Ahmad - Mantan Binaan Hizbut Tahrir

29 Maret 2014   00:25 Diperbarui: 4 April 2017   18:01 4832 0

Dalam satu dekade belakangan, terdapat dua harakah yang aktivitas dakwahnya begitu masif, bahkan antara satu dan yang lain saling bersaing menarik simpati publik. Terkadang di media sosial, pengikut dua harakah itu saling adu argumen melalui debat yang melelahkan. Dua harakah yang penulis maksud adalah Hizbut tahrir dan Partai keadilan sejahtera (PKS). Dua harakah yang lahir dari gerakan dakwah kampus ini punya metode perjuangan yang berbeda. Sebagaimana yang pembaca ketahui, kalau Hizbut tahrir lebih mantap dengan jalur ekstra parlementer, sedangkan PKS memilih ke jalur politik praktis dengan mengikuti pemilu dan memenangi ratusan pilkada (1). PKS pada tahun 2014, fokus pada ambisinya untuk meraih posisi 3 besar.

Sesuai dengan judul tulisan kali ini, tidak akan membahas lebih jauh tentang PKS. Fokus utamanya adalah menelisik mantan kader HTI dan bagaimana kiprahnya saat ini. Hizbut tahrir dikenal publik dengan kampanye Syariah dan Khilafahnya. Sepertinya “khilafah” sudah menjadi brand image dari HTI, sebagaimana “tahlilan”, "ziaroh wali" maupun "yasinan" sudah menjadi brand image dari Nahdlatul ulama. Selain Khilafah islamiyah. HTI juga memiliki konsep bagaimana membangun Partai Islam (2), konsep keluarga Sakinah (3), metode ijtihad, sistem rukyatul global (4), hingga Pendidikan islam dengan kurikulum berbasis Syakhsiyah islamiyah (5).

Selama berdakwah menegakkan Syariah di Indonesia dengan program dan ide-ide yang sistematis. Banyak kalangan yang tertarik dengan ide-ide HTI yang kesemuanya didominasi ide-ide amir pertama Hizbut tahrir, Taqiyuddin an-Nabahani. Diantara mereka ada yang bergabung baik dari segi pemikiran maupun secara organisasi. Ada pula yang sudah tidak aktif di HTI, pihak HTI tidak merasa rugi atau keberatan apabila ada kadernya yang keluar dari HTI, itu karena mereka masih membawa "ide-ide HTI" (pro-syariah). Dapat disebutkan diantaranya: Hari Moekti (mantan rocker), O. Solihin (Penulis buku-buku remaja), Krisyanto (mantan vokalis Jamrud), Prof. Fahmi Amhar Ph.D (dosen IPB Bogor), dr. Muhammad Usman (dosen Universitas Airlangga), Irena handono (Kristolog), M. Shiddiq al Jawi (dosen STEI Hamfara Yogyakarta&Pengasuh Mahad Taqiyudin an-Nabhani), Tun Kelana Jaya (Praktisi Ekonomi/Trainer), Zuli Ilmawati (ahli Psikologi Islam), Husain Matla (Penulis buku Misi di Sebuah Planet), Nuim Hidayat (wartawan Hidayatullah), Dr. Adian Husaini (Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah), Fathul Hidayat (aktivis Partai Bulan Bintang), Muhammad al-Khathath (Sekjen FUI) dan Munarman (mantan Ketua YLBHI). Kelima nama terakhir yang saya sebutkan sudah tidak aktif lagi secara organisasi. Kecuali Munarman, meski di setiap tulisannya pada tabloid Suara Islam sering mempromosikan Khilafah sebagai alternatif sistem, tapi dia hanya bergabung secara pemikiran (simpatisan). Selain lima nama tersebut, kabarnya orang yang pertama membawa ide-ide HTI ke Indonesia yaitu Abdurrahman al-Baghdadi juga tidak aktif lagi. (6)

Bergabung dengan HTI, ikut kegiatannya, resmi menjadi kader bahkan mencapai pucuk pimpinan seperti Muhammad al-Khathath sangatlah susah. Tidak seperti organisasi lain, yang cukup isi formulir lalu terbit Kartu tanda anggota. Menjadi anggota resmi HTI yang tidak sekedar aktif di halaqah ‘am; setidaknya membutuhkan waktu yang cukup lama (7). Seperti pengalaman teman penulis ketika di Mahad UIN Malang, dia mengenal HTI lewat BDI semasa SMA. Dia baru menjadi kader sepenuhnya ketika dia mendapat “nama harakah”. Misalnya nama aslinya matori menjadi abu mus’ab.

Agak mengherankan jika ada beberapa aktivis HTI level atas yang tidak aktif lagi seperti Adian husaini dan al-Khathath. Bukankah dua orang ini perintis alias generasi pertama. Apa yang membuat mereka tidak aktif berkecimpung di HTI? Bagaimana aktivitas mereka pasca tidak lagi di HTI?. Lebih afdhol jika dimulai dari sosok Adian husaini PhD. Adian husaini dikenal sebagai cendekiawan muslim yang getol mengcounter pemikiran kaum liberal. Sewaktu menyusun skripsi tentang metode ijtihad HTI, penulis agak tercengang membaca buku Prof Syamsul arifin, bahwa Adian husaini termasuk generasi awal, sezaman dengan al-Khathath maupun Ismail yusanto (8). Adian tidak aktif di HTI karena melanggar idari. Namun, salah satu elit HTI Malang enggan menjelaskan pelanggaran seperti apa yang dilakukan oleh Adian husaini.

Kini Adian husaini aktif menjadi dosen di Universitas Ibnu khaldun maupun menjadi anggota Majlis tabligh Muhammadiyah. Di dunia Kepenulisan, topik yang dia ulas cukup beraneka ragam, dari zionisme, pendidikan karakter, politik islam hingga mengenai filsafat ilmu. Penulis menganggap tidak aktifnya Adian merupakan “hikmah tak terduga”. Pasalnya jika dia tetap di HTI, bisa dipastikan ide-idenya berkutat di sekitar Khilafah dan Kufurnya sistem Demokrasi.

Sosok lain yang tak boleh dilewatkan adalah Muhammad al-Khathath. Penulis mengetahui tanda-tanda al-Khathath tidak aktif di HTI melalui 2 hal: pertama, ketika membaca majalah al-Waie edisi bulan November 2008, kolom Muhasabah yang biasanya diisi oleh al-Khathath tiba-tiba digantikan oleh Hafidz Abdurraman. Padahal pada kolom muhasabah edisi bulan September masih ada tulisan al-Khathath berjudul, “Dari masa mengambang ke massa ideologis” (9). Kedua, Di sebuah toko buku yang dikelola oleh aktivis HTI, toko yang biasanya menjual tabloid Suara islam terbitan FUI tiba-tiba tergantikan oleh Tabloid baru bernama “Media ummat”.

Sejauh informasi yang penulis peroleh, penyebab al-Khathath tidak aktif karena dia lebih memilih aktif di FUI, sedangkan disatu sisi dia disuruh loyal ke HTI. Forum umat Islam (FUI) sebetulnya wadah untuk mempersatukan elemen islam seperti NU, Muhammadiyah, tarbiyah hingga FPI. Namun karena didalamnya tidak fokus memperjuangkan Khilafah, membuat elit HTI mengambil keputusan untuk hengkang (10). Saat ini, al-Khathath mantap mencalonkan diri sebagai caleg DPR RI dapil Jakarta melalui Partai Bulan Bintang (PBB). Al-Khathath menerima tawaran menjadi caleg PBB bukan tanpa alasan. Dia bilang, PBB merupakan partai Islam yang serius memperjuangkan tegaknya syariah Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara formal-konstitusional (11).

Mantan HTI lainnya adalah Dr. Ainur Rofik al-Amin. Beliau saat ini dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan ampel. pada 2012, mempublikasikan disertasinya “Khilafah Perspektif Hizb Al-Tahrir” dalam bentuk buku. Judulnya cukup mentereng, “Membongkar proyek Khilafah ala Hizbut tahrir Indonesia” (12). Ainur rofik sebagaimana diwawancarai oleh Majalah Aula, bercerita bahwa dirinya bersentuhan dengan HTI sejak tahun 1992 ketika kuliah di fakultas hukum, Unair. Di tahun pertamanya bergabung, ia dikelompokkan di kelas halaqoh ‘amm. Karena loyalitas yang tinggi dan kemampuan yang berada di atas rata-rata, dalam waktu yang terlampau singkat ia pun naik ke tingkatan darrisin, yaitu tingkatan bagi setiap anggota yang diambil sumpah setia sebagai seorang hizbiyyin. Kemampuannya juga terus terasah hingga dengan cepat pula titel musyrif mampu diraihnya. Sebagai musyrif ia pun memiliki peran untuk merekrut sekaligus mendoktrin anggota-anggota baru guna meneguhkan keyakinan mereka akan konsep Khilafah Islamiyah sebagai fokus dari perjuangan HTI (13).

Dalam perjalanannya, Gus rofik menemukan beberapa hal yang selalu bertentangan dengan hati kecilnya hingga ia memilih jalan untuk keluar dari HTI. Dari beberapa faktor itu ia mengungkapkan; Pertama, ajaran yang ditanamkan terlalu radikal. Mereka selalu menganggap dirinyalah yang paling benar dan menyalahkan ajaran yang lain. Kedua, Hizbut Tahrir menganggap Khilafah adalah metode yang paling ideal untuk menyelamatkan umat dari keterpurukan (14). Namun, setelah banyak menelaah literatur yang membahas tentang khilafah, Rofik menemukan jawaban yang jauh dari apa yang disampaikan oleh kelompoknya. Sekitar tahun 1997, dosen yang beristrikan seorang putri kiai di Jombang ini memilih melepaskan semua doktrin Hizbut Tahrir yang pernah ia yakini.

Sebelum menutup tulisan singkat ini, penulis mengambil sebuah kesimpulan, bahwa faktor eksternal-lah yang menyebabkan mereka mantap keluar dari HTI. Faktor eksternal bisa berupa: bacaan diluar kitab-kitab yang dipakai rujukan HTI, sehingga daya kritis mereka mulai tumbuh dan merasa ada kejanggalan ketika menelaah lebih jauh doktrin-doktrin HTI. Faktor lain dalam artian melanggar aturan idari seperti yang konon menimpa Adian husaini. Sayangnya, jika kita tanyakan seperti apa konsep idari milik HTI, itu merupakan hal yang “misterius”. Jangankan idari, kurikulum halaqoh HTI saja tidak seperti milik PKS yang bisa kita didapatkan di toko buku. Seumur hidup penulis, pernah satu kali melihat kurikulum halaqoh HTI. Dari situ penulis mengetahui bahwa kurikulum tentang tauhid dan metode istinbath hukum tidak ada dalam kurikulum HTI. Wallahu’allam bishowwab

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun