Sepengetahuan penulis  yang memang masih baru mengenai dunia pertambangan, mungkin edukasi dan sosialisasi mengenai bahan tambang yang menjadi bagian kekayaan Negara kita dan wajib diolah sebaik mungkin yang mampu memberikan manfaat kepada rakyat banyak.
Dimulai dengan membaca berbagai macam referensi akhirnya kami faham mengenai proses penciptaan alumunium yang dimulai dari bauksit kemudian menjadi alumina kemudian diolah kembali untuk menjadi aluminum sehingga dapat dijadikan bahan berbagai macam alat pemenuhan untuk mendukung aktifitas manusia, dari perkakas dapur hingga jet tempur menggunakan bahan awal  bauksit.
Sebagaimana diketahui kita sudah menambang dan mengekspor bauksit mentah sejak 1936 jauh sebelum Negara ini terbentuk menjadi sebagai salah satu negara adidaya di bidang SDA, diawali dengan tambang di Bintan dan diberbagai tempat lain. Dan yang ironis, sebagai produsen bauksit, Indonesia malah harus mengimpor  alumina yang merupakan bahan tambang turunan dari bauksit. Untuk menyuplai pembuatan aluminium.  kisaran harga alumina di dunia sekitar 9-17 kali harga bauksit mentah. Sementara harga aluminium, sekitar 110 - 140 kali lipat harga bauksit. Dari sisi rasio pengolahannya, kira-kita satu ton bauksit bisa menjadi setengah ton alumina, kalau diolah lagi maka menjadi seperempat aluminium.
Dalam rangka memaksimalkan dan mensyukuri SDA yang memang begitu besar di negeri ini, pada 27 November 2013 tim Indonesia dan dari pihak Jepang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa harga kompensasi atas proyek asahan yang akan diterima oleh PT Nippon Asahan Aluminium (NAA) sebesar USD556,7 juta. Yang membuat kami berbangga dengan BUMN baru dibidang Alumunium. Ya benar, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) merupakan proses nasionalisasi perusahaan tambang yang menurut hemat penulis harus sangat kami syukuri. Bukan tidak mungkin proses nasionalisasi aset tambang ini berlanjut hingga kita mampu mandiri mengolah bahan tambang dai hulu ke hilir.
Tercatat baru satu pabrik yang bisa mengolah bauksit menjadi alumina berdasarkan hasil quickly research penulis. Â pabrik smelter alumina yang merupakan perusahaan joint venture antara Harita Group dengan kepemilikan saham 30% dengan perusahaan asal China Hongqiao yang memiliki 70% saham, dapat memenuhi kebutuhan alumina dalam negeri sebanyak 500 ribu ton per tahun, pabrik smelter ini sudah jalan merupakan pabrik pertama di dalam negeri yang memproses bauksit menjadi alumina. Tahap pertama ditargetkan selesai pada pertengahan 2015 untuk produksi alumina sebanyak 1 juta ton dan 1 juta ton lagi pada tahap kedua yang diharapkan selesai pada 2016.
Menurut informasi dari berbagai media online pada tahun 2013 indonesia melakukan ekspor  50 juta ton Bauksit dan juga  adalah produsen terbesar bauksit untuk wilayah asia tenggara, oleh karena itu Indonesia sangat membutuhkan pabrik pengolahan bauksit karena negara ini merupakan salah satu eksportir bauksit terbesar di dunia selama periode beberapa puluh tahun terakhir, namun sayangnya masih mengimpor alumina dari Australia untuk kebutuhan produksi alumunium perusahaan Indonesia Inalum. Hal itu dikarenakan Indonesia belum bisa mengolah bauksit menjadi alumina secara langsung. Indonesia masih kekurangan pasokan aluminium mencapai lebih dari 500 ribu ton per tahun. Dari total kebutuhan aluminium untuk industri domestik yang mencapai 600-800 ribu ton per tahun, jumlah yang bisa dipenuhi dari PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) hanya sekitar 104 ribu ton per tahun.
Mengutip laman personal Prof. Mikrajuddin Abdulla, salah satu Guru Besar ITB, Bauksit adalah bahan tambang untuk memproduksi aluminium. Produksi aluminium diawali dengan pengolahan bauksit menjadi alumina (proses Bayer) kemudian pemrosesan alumina menjadi aluminium (proses Hall-Heroult). Indonesia memiliki sumber daya maupun cadangan bauksit yang sangat besar, dan terbanyak berada di Kalimantan Barat. Berdasarkan data Distamben Kalbar, jumlah cadangan bauksit di Kalbar mencapai 1,1 miliar ton dengan sumber daya mencapai 3,3 miliar ton. Cadangan di Kalbar bersama cadangan di tempat lain menempatkan Indonesia di urutan enam terbanyak dunia setelah Guinea (7 miliar ton), Australia (5 miliar ton), Brazil (3 miliar ton), Vietnam (2 miliar ton), dan Jamaica (2 miliar ton) (US Geological Survey, 2011).
Tahun 2011 ekpor bausit mencapai 40,6 juta ton (Data BPS). Yang menarik, walapun memiliki cadangan cukup besar, China menimbun bauksit yang diimpor dari negara lain. Beberapa perusahaan China mengimpor barang tambang utama untuk ditimbun dan mereka diberi insentif oleh pemerintah.
Di pasaran dunia harga bauksit sekitar US$21/ton, alumina US$350/ton, dan aluminium US$2.500/ton. Jika diolah, satu ton bauksit menghasilkan 1/2 ton alumina dengan biaya pengolahan sekitar US$73. Setengah ton alumina diolah menghasilkan 1/4 ton aluminium dengan biaya sekitar US$265. Jadi, satu ton bauksit yang diolah menjadi ½ ton alumina memberikan nilai tambah US$81 (sekitar 4 kali). Satu ton bauksit yang diolah menjadi ¼ ton aluminium memberikan nilai tambah US$266 (sekitar 12 kali lipat). Untuk tahun 2011, dari ekspor sebanyak 40,6 juta ton bauksit, nilai tambah yang hilang karena tidak diolah menjadi aluminium lebih dari Rp 100 triliun.