Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Ketika Demonstrasi Harus Kreatif

29 Maret 2012   15:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17 243 0
Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang demonstrasi yang digelar di beberapa daerah di Indonesia. Kebanyakan demonstrasi digelar di kota-kota besar dimana terdapat universitas-universitas yang mahasiswanya berpartisipasi dalam aksi demonstrasi tersebut. Baik di televisi, surat kabar, internet dan media-media lainnya hampir semuanya didominasi berita mengenai demonstrasi.
Ya, demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang hendak menaikkan harga BBM. Demontrasi yang diikuti oleh sebagian besar mahasiswa, buruh, dan ormas-ormas setempat. Salah satunya terjadi di Yogyakarta pada hari selasa (27/3/2012) tepatnya di pertigaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berujung ricuh.

Salah satu dinamika negara demokrasi berupa demonstrasi dengan turun ke jalan sebenarnya sudah menjadi kebiasaan lama di negeri kita. Bahkan di Jakarta sendiri hampir setiap hari dapat ditemui beragam demonstrasi. Fase demonstrasi besar-besaran yang pernah terjadi adalah ketika rezim soeharto digulingkan pada tahun 1998. Saat itu hampir seluruh daerah di tanah air terjadi demonstrasi yang dipelopori golongan mahasiswa dan ormas dengan turun ke jalan, menduduki gedung DPR, mendatangi dan berorasi di tempat-tempat strategis.
Sisi positif dari demonstrasi pada tahun 1998 adalah berhasilnya skenario penggulingan presiden Soeharto yang pada saat itu menjabat. Namun kita tidak akan pernah melupakan kerugian yang harus ditanggung bangsa kita pada saat itu. Banyak pemuda-pemuda harapan bangsa yang saat itu menjadi korban tewas dari demonstrasi yang berujung bentrok dengan aparat keamanan pada saat itu.
Demonstrasi dengan style turun ke jalan dan berorasi kembali menjadi tren pada masa pemerintahan presiden SBY kali ini. Tidakkah mereka memikirkan resiko ketika mereka berdemonstrasi di jalan, dan harus berhadapan dengan aparat kepolisian yang senantiasa menghadang keberadaan mereka? Bahkan beberapa saat yang lalu aparat TNI juga sempat disiagakan untuk mengamankan jalannya demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Jika menengok ke belakang tentunya demonstrasi dengan turun ke jalan dan berorasi bukan lagi menjadi cara yang ampuh untuk menyuarakan aspirasi.

Media alternatif, seharusnya kalangan berpendidikan selevel mahasiswa menyadari akan kekuatan media yang semakin besar di era globalisasi ini. Arus informasi yang begitu cepat dan bebas dapat diakses dengan teknologi internet. Tidakkah terbesit dalam pikiran masing-masing mahasiswa yang berdemo di jalan tersebut untuk membuat sebuah media alternatif, yang dimulai dengan skala kecil saja? Justru dari skala kecil tersebut jika aspirasi mereka diketahui orang lain, orang lain bisa respect dan mendukung tindakan mereka. Daripada sekedar demonstrasi di jalan, menggangu arus lalu lintas, merusak fasilitas umum, namun pada akhirnya aspirasi mereka tidak terdengar bahkan tidak terlihat.

Misalnya ada 100 orang mahasiswa yang turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi, bayangkan jika 100 orang mahasiswa tersebut membentuk sebuah komunitas dan membangun sebuah media alternatif. Dari 100 orang tersebut saya rasa sudah cukup mewakili aspirasi kelompok mereka dan suara mereka akan lebih mudah didengar dan dimengerti oleh orang lain. Membuat majalah , radio streaming, atau zine yang isinya sekitar isu menolak kenaikan harga BBM. Lebih kreatif bukan? Tidak perlu adu otot dengan para aparat, tidak perlu panas-panasan di jalan dan merusak fasilitas umum. Apakah melihat aksi demonstrasi akhir-akhir ini yang tidak membuahkan hasil apa-apa masih juga membangun niat untuk berdemonstrasi dengan turun ke jalan? Berpikirlah kreatif anak muda! Akal kita lebih mahal dari sekedar pentungan dan gas air mata.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun