Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Menyambut apa ? Melepas apa ?

1 Januari 2010   00:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:41 307 0
Dari lereng Gunung Slamet yang dibalut dingin, semalam aku mencoba mengarahkan pandanganku ke bawah. Ada kerlap-kerlip lampu warna-warni di kota Purwokerto yang sedang berpesta menyambut tahun 2010. Sama seperti kota lain, Purwokerto pun tidak mau ketinggalan untuk berpesta. Tetapi, aku tak ingin berada di keramaian pesta yang acapkali menerbitkan tanya : apa yang mereka sambut, dan apa yang mereka lepas ? Sungguh, pertanyaan ini tidak hanya muncul kali ini saja, melainkan selalu datang kepadaku hampir setiap saat, terutama ketika ada peristiwa-peristiwa istimewa seperti tahun baru atau hari ulangtahun.

Isteri dan anak-anakku selalu memberikan hadiah di hari ulangtahunku, walaupun hanya sekedar jabat tangan, cium tangan dan cium pipi, lalu bersama-sama menikmati hidangan mendoan anget, sambel kecap atau cabe rawit -yang ditempatku disebut cengis-. Itu sudah luarbiasa, karena aku merasa mendapatkan yang luarbiasa, yaitu cinta dan kasih sayang dari isteri dan anak-anak.

Sahabat-sahabatku juga yang sering kali menyelenggarakan "pesta" untukku di hari ulangtahun. Mereka datang membawa kue ulangtahun berhias warna-warni dan lilin yang dinyalakan. Aku berkewajiban meniup lilin itu, karena sahabat-sahabatku memerintahkannya : tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Mereka bertepuk tangan, lalu kue pun dipotong dan dibagi rame-rame. Itu sudah sangat istimewa, karena aku merasa mendapatkan berkah persahabatan dari hidup yang dianugerahkan Tuhan kepadaku.

Alhamdulillah. Puji Tuhan.

Biasanya, sahabat-sahabatku meminta supaya aku menyampaikan sesuatu, karena ini hari istimewa, kata mereka. Dan tentu saja, aku tidak mungkin menolak, sehingga meskipun dengan suara yang terbata-bata aku pun berbicara menyampaikan sesuatu yang aku rasakan saat itu. Aku tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku alami atau aku rasakan. Aku merasa lebih baik aku berkata jujur menyampaikan apa yang aku alami dan aku rasakan dalam perjalanan hidupku. Aku tidak ingin mengatakan sesuatu dari hasil aku mendengar kata-kata orang lain, atau dari hasil membaca tulisan orang lain, karena aku tidak pernah tahu, pesan sejati apa yang mereka katakan atau yang mereka tuliskan.

Malam menjelang tibanya tahun 2010 ini pun, alhamdulillah, aku kedatangan banyak tamu di rumahku yang sempit di desa kecil di lereng Gunung Slamet ini. Sebenarnya aku sudah hampir tidur, tetapi isteriku memberitahu ada tamu, dan tentu aku harus menyambut mereka dengan suka hati. Tamu selalu aku lihat sebagai rejeki yang dikirimkan Tuhan kepadaku, dan aku akan menyambut mereka dengan cara yang istimewa, menyuguhkan apa yang aku punya. Jika hanya sekedar air putih pun aku suguhkan dengan bangga, karena air putih itu adalah karunia Tuhan juga. Mengapa harus malu menyajikan sesuatu yang diberikan Tuhan kepada kita ?

" Kami ingin menyambut datangnya tahun 2010 di sini," kata salah seorang dari tamu-tamuku. " Maka, kami sengaja datang sudah lewat jam sepuluh malam, supaya nanti pas pergantian tahun, kita bersama dapat melakukan renungan di sini."

Lalu, kami pun ngobrol ke sana ke mari. Obrolan ringan atau guyon maton dalam bahasa lokalku. Artinya meskipun bercanda, tapi ada benang merahnya, ada pesan yang dapat jadi renungan. Tentu saja bagi yang mau merenung. Mengapa aku berkata begitu ? Karena memang sekarang ini ada kecenderungan orang enggan untuk merenung, tafakur, melakukan refleksi diri. Mungkin memang hidup di jaman ini mengharuskan orang terus menerus bergegas bergerak berlomba tiada henti, sehingga tidak ada lagi terminal yang nyaman untuk sekedar melepas lelah. Rumah pun nyaris berubah menjadi sekedar penginapan yang orang-orangnya lalu lalang, datang dan pergi dalam ketergesaan urusan masing-masing.

Hidup menjadi sangat serius dan berat karena sarat beban dan sarat harapan. Itu yang aku katakan ketika jarum jam sudah melewati tengah malam, yang berarti, tahun 2010 sudah tiba, dan tahun 2009 sudah kita tinggalkan. Tahun 2010 yang kita sambut sudah datang, tahun 2009 yang kita lepas sudah pergi. Dan, karena sahabat-sahabatku meminta supaya aku mengisi renungan, maka aku pun memulainya dengan pertanyaan sebenarnya apa yang kita sambut dan apa yang kita lepas sih ?

Wahai sahabatku, coba perhatikan, apa yang beda sekarang ini dengan dua-tiga menit sebelum jam duabelas malam tadi ? Kita tetap berada di sini. Cat rumah ini masih cat yang sama. Pigura yang berisi gambar dan foto yang tergantung di dinding, juga masih pigura yang tadi. Kursi yang kita duduki juga masih kursi yang tadi. Semuanya masih sama. Tidak ada yang berubah. Jadi, sebenarnya kita ini baru menyambut apa dan melepas apa ? Padahal tadi kita bersama-sama melantunkan Auld Lang Syne kan ? Lagu ini seakan-akan menjadi lagu wajib pada saat kita menyambut tahun baru dan melepas tahun lama.

Padahal, cobalah kita renungkan, apanya yang baru, dan mana yang lama ? Jika kita mengatakan ini motor baruku, nanti akan ada orang yang bertanya, lha mana motormu yang lama ? Kita bisa menunjukkan yang baru, dan menunjukkan pula yang lama. Tetapi tahun ? Waktu ? Atau sesuatu yang terus berjalan di alur yang sama, dapatkah kita menunjukkan mana yang lama dan mana yang baru. Rasanya, wahai sahabatku, kita benar-benar perlu merenungkan hal ini, walaupun hanya sebentar, dan kemudian dilupakan lagi. Apalagi jika kita selalu didera oleh kesibukan berangkat pagi - pulang petang, atau sebaliknya ada juga yang berangkat petang - pulang pagi. Alias menjadi pengurus BP3, terus didera oleh kesibukan tiada henti. Renungan yang sebentar ini akan segera dilupakan. Dan itu sifat manusia, mudah melupakan sesuatu yang penting untuk sesuatu yang belum jelas.

Sahabatku, aku tinggal di desa. Bukan karena aku sudah pensiun lalu tinggal di desa. Aku sudah tinggal di desa ini hampir 25 tahun. Aku mencintai desa yang terletak di lereng Gunung Slamet, karena segala sesuatu yang ada di tempat ini memberikan pembelajaran yang sangat penting bagiku. Coba perhatikan, ada gunung di atas sana, ada hutan, ada mata air yang airnya mengalir membentuk sungai yang panjang sampai ke laut. Tidak hanya satu, tetapi beberapa sungai. Dalam bahasa lokalku, sungai disebut kali. Ada Kali Banjaran, Kali Logawa, Kali Mengaji, Kali Kranji (untuk menyebut beberapa), semua asalnya dari Gunung Slamet yang terus mengalir, dan kali-kali itu kemudian menyatu di Kali Serayu bersama kali-kali lainnya lagi. Airnya berbaur menjadi satu untuk kemudian bermuara di Samudera Indonesia, di Laut Selatan. Tidak dapat dikenali lagi, mana air yang datang dari Kali Banjaran, dan mana yang dari Kali Mengaji. Semuanya menyatu.

Aku senang pergi memancing, sahabatku. Sebenarnya sih bukan memancingnya yang menyebabkan aku seringkali duduk berlama-lama di pinggir Kali. Tetapi aku tertarik dengan air yang terus mengalir lewat di hadapanku. Sebenarnya, ketika aku memandang air itu, aku tidak memandang air yang sama. Aku memandang air yang terus berubah dan berganti, karena air yang lewat di depanku itu terus bergerak. Airnya terus berganti, tetapi akulah yang diam duduk di tepi sungai memandang air. Aku merasa memandang air yang terus menerus sama, padahal tidak, aku memandang air yang terus berganti, karena air itu mengalir sesuai dengan fitrahnya untuk akhirnya sampai di sebuah samudera yang luas tak bertepi.

Jika ingat ini, aku tidak dapat menahan airmata yang menitik. Subhanallah. Mahasuci Engkau Ya Allah, dan ampunilah hambaMu yang bodoh ini. Karena hambaMu tidak bergerak, tidak pernah ikut mengalir seperti air yang bergerak mengalir menuju samuderaMu.

Apakah semua air yang bergerak mengalir itu sampai ke samudera? Ternyata tidak. Ada yang terhenti perjalanannya di sebuah tempat, sehingga akhirnya menjadi kubangan yang lama kelamaan menjadi kotor dan tak berguna. Ada yang dialirkan ke sawah-sawah, berbaur dengan tanah dan lumpur. Air ini masih bermanfaat, karena ia menyebabkan tetumbuhan dapat tumbuh menghasilkan sesuatu. Ada juga air yang dimanfaatkan untuk memelihara ikan, dan sebagian lagi untuk pembangkit listrik. Semuanya berguna. Kecuali yang terhenti di kubangan, air memberikan manfaat, sehingga keberadaannya sangat diharapkan.

Air yang bermanfaat, adalah air yang berada di alur yang benar, yang terus berjalan mengikuti alur itu untuk akhirnya sampai ke samudera, atau sampai ke tempat-tempat yang memberi manfaat. Maka, aku selalu merasakan sesuatu tiap kali melihat air yang terus bergerak di sungai. Gemericik air itu seperti sebuah imbauan kepadaku mengalirlah di alur Tuhanmu, mengalirlah di shirathal mustaqimNya, mengalirlah di jalanNya, supaya kamu sampai dan menyatu dalam Samudera Maha Luas.

Tolonglah aku ya Tuhan untuk selalu berada di jalanMu, karena aku benar-benar ingin kembali kepadaMu saja. Jangan biarkan aku terjebak dalam kubangan menjadi hitam, kotor dan tak berguna. Hanya Engkau penolongku satu-satunya yang dapat menyelamatkan aku.*****

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun