Memalukan!
Entah apa yang ada dalam pikiran Anies Baswedan. Sebagai Gubernur di daerah paling kaya, Anies seharusnya mampu mengatasi dampak pandemi dengan anggaran yang tersedia.
Kalaulah kurang, Anies bisa mengupayakan pendanaan dari sektor lainnya. Refocusing misalnya. Atau memangkas gaji pribadinya serta bawahannya untuk kepentingan rakyat. Itu pasti lebih hebat. Bukannya mempermalukan diri dengan jadi pengemis dan malakin duta besar negara lain.
Kalau dipikir-pikir, Anies adalah Gubernur paling beruntung di Indonesia. Dengan pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi nasional, Anies tak perlu pusing kalau soal anggaran untuk penanganan Covid.
Bayangkan saja. Tahun 2019 lalu, PAD Jakarta mencapai Rp62,3 triliun. Dan meski dihantam pandemi pada 2020 lalu, PAD Jakarta tetap tinggi, mencapai Rp38,08 triliun.
Bandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Tak usah dengan daerah kecil di luar Jawa. Dengan Jawa Tengah saja misalnya, pendapatan asli daerah dua provinsi itu bak langit dan bumi.
Tahun 2019, provinsi yang dipimpin Ganjar Pranowo itu hanya mendapatkan PAD sebesar Rp14,4 triliun. Jumlahnya semakin berkurang akibat pandemi menyerang di tahun 2020. Saat itu, Jateng hanya memperoleh PAD sebesar Rp14,2 triliun.
Meski PAD lebih kecil, tapi kinerja Ganjar dalam penanganan pandemi lebih baik dari Anies.
Saat awal pandemi menyerang, Ganjar langsung melakukan refocusing anggaran. Total Rp2,2 triliun berhasil diamankan untuk membantu masyarakat yang kesulitan. Bantuan sosial diberikan. Stimulus untuk UMKM dijalankan.
Sama-sama kekurangan anggaran, namun Ganjar tak pernah sekalipun mengemis minta bantuan. Yang ada, banyak perusahaan dan komunitas masyarakat yang berduyun-duyun memberikan bantuan.
Selama pandemi berlangsung, bantuan masyarakat untuk Pemprov Jateng terus mengalir tak pernah putus. Ada yang bantu masker, hand sanitizer, paket sembako, alkohol, hazmat, APD, obat-obatan dan lain sebagainya.
Tanpa diminta, masyarakat tergerak sendiri untuk membantu Ganjar dalam penanganan pandemi. Bantuan-bantuan itu ditampung di Wisma Perdamaian, rumah dinas Gubernur Jateng yang dialihfungsikan sebagai gudang. Ganjar sendiri yang turun mengawasi. Termasuk dalam hal penyaluran bantuan sampai ke Kabupaten/Kota di seluruh provinsi.
Ganjar yang sejak awal sadar bahwa sebesar apapun anggaran negara, tak mungkin bisa menyelesaikan dampak pandemi. Ia pun menggerakkan kearifan lokal yang ada, dengan mengajak masyarakat saling gotong royong dan membantu sesama.
Gerakan Jogo Tonggo namanya. Gerakan yang diinisiasi Ganjar itu terbukti ampuh menyelesaikan problematika masyarakat sampai level desa. Gotong royong berjalan, tak ada warga yang kelaparan. Program inipun diapresiasi sampai tingkat nasional, dan banyak kepala daerah yang meniru di tempatnya masing-masing.
Anies sejatinya tak perlu melakukan apa yang dilakukan Ganjar. Dengan anggaran melimpah, tentu dia bisa menyelesaikan dampak pandemi dengan mudah.
Tapi apa yang terjadi? Anies justru mempermalukan dirinya sendiri.
Kebijakan anggaran Anies Baswedan selama pandemi memang patut disoroti. Rakyat yang sedang kesulitan, dipertontonkan bagaimana Anies menghambur-hamburkan uang.
Rakyat belum lupa, bagaimana Anies membuang anggaran Rp983 miliar untuk penyelenggaraan Formula E di Jakarta. Ajang balap mobil yang dibangga-banggakan itu, sampai sekarang tak jelas kelanjutannya.
Belum lagi anggaran pembangunan jalur sepeda di DKI. Anggaran Rp28 miliar lenyap seketika karena baru beberapa bulan jalur sepeda itu dibongkar paksa.
Ada lagi proyek yang tak jelas manfaatnya. Mulai pembangunan tugu sepeda yang menelan anggaran ratusan juga, hingga pengecatan atap warga yang norak sekali hasilnya.
Manajemen Anies sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta dipertanyakan. Jika sana ia bisa memanfaatkan anggaran yang besar itu untuk penanganan pandemi. Tentu hasilnya tak separah ini.
Tapi hasilnya, anggaran-anggaran besar itu kini terbuang percuma. Dan ketika anggaran berkurang, ia rela mempermalukan diri dengan cara mengemis di jalanan. Memalukan!.