Pemilihan presiden di Indonesia yang dilakukan melalui proses voting-pun mewarisi karakteristik yang sama. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan presiden memiliki kompleksitas yang tinggi dan impact yang sangat besar bagi kehidupan sosial dan politik Indonesia. Penyelenggara pemilihan (election administrator), dalam hal ini KPU, dituntut mempersiapkan legal apparatus yang kuat di tingkatan teknis dan operasional, merancang sistem pemilihan yang baik, melaksanakan dan mengawal proses pemilihan agar sesuai dengan dengan rancangan, hingga meng-audit hasil pemilihan secara transparan.
Apapun sistem pemungutan suara yang diterapkan, termasuk usulan pemanfaatan e-voting yang menjadi fokus diskusi dalam tulisan ini, pada akhirnya harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan yang sama. Kelemahan performa e-voting akan menghasilkan dampak negatif yang sangat besar. Kelemahan performa e-voting berkaitan dengan kegagalan pemanfaatan budget pemilihan. Kelemahan performa e-votingmemungkinkan masuknya kepentingan pihak-pihak yang ingin mengacaukan proses dan hasil pemilihan. Dan yang paling penting adalah kelemahan performa e-voting dapat mengurangi kepercayaan masyarakat (public confidence) pada e-voting dan hasil pemilihan presiden. Jika ini terjadi, election administratorkemungkinan harus mengulang proses pemilihan, yang artinya pembengkakan biaya demokrasi. Rendahnyapublic confidence yang berlarut-larut pada akhirnya dapat membahayakan kehidupan negara. Yang demikian adalah alasan menggolongkan e-voting sebagai Safety Critical System [1].
E-voting, baik yang dilaksanakan dalam controlled environment – seperti polling stations, maupun dalamuncontrolled environment – seperti di rumah atau kantor melalui personal computer, harus berbasis internet protocol. Internet berfungsi mulai dari menampilkan electronic ballot hingga mengirimkan data suara ke pusat tabulasi. Yang perlu dipahami adalah bahwa internet adalah sebuah sistem yang memiliki banyak lubang keamanan yang dapat mengancam kelancaran dan kredibilitas e-voting dan hasilnya.
Para ahli komputer dan sistem informasi sedunia sepakat dalam hal kelemahan sistem keamanan internet dan pemanfaatannya untuk e-voting. Bruce Schneier, pendiri Counterpane Internet Security Inc., mengatakan dalam [2]: “A secure internet voting system is theoretically possible, but it would be the first secure networked application ever created in the history of computers”. Kemudian dalam sebuah artikelnya, Rebecca Mercuri [3], meng-quote pernyataan Peter Neumann – peneliti senior di SRI International’s Computer Science Laboratory – bahwa “The internet is not safe for elections, due to its vast potential for disruption by viruses, denial-or-service flooding, spoofing, and other commonplace malicious interventions”.
David Jefferson and Aviel Rubin [4], peneliti senior di bidang e-voting dan anggota Security Peer Review Group(SPRG), menegaskan dalam laporan mereka kepada U.S. Department of Justice bahwa kelemahan internet dalam penerapan e-voting “…are fundamental in the architecture of the Internet and of the PC hardware and software that is ubiquitous today. They cannot all be eliminated for the foreseeable future without some unforeseen radical breakthrough. It is quite possible that they will not be eliminated without a wholesale redesign and replacement of much of the hardware and software security systems that are part of, or connected to, today’s Internet.”. Selain itu, National Institute of Standard and Technology yang sangat berpengaruh di Amerika menyatakan dalam laporan mereka [5] kepada Technical Guideline Development Committee (TGDC) bahwa perangkat e-voting “in practical terms cannot be made secure”.
Serangan yang mungkin dilancarkan kepada internet diantaranya spoofing, virus, dan denial-of-service. Namun hal tersebut tidak akan didiskusikan di sini melainkan dalam tulisan lain yang akan didedikasikan untuk membahasnya. Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan teknologi e-voting dan menentang penerapan e-voting di Indonesia. Namun perlu disadari bahwa hasil penelitian dan observasi para peneliti dunia yang telah disampaikan di atas sudah sepatutnya menjadi perhatian kita sebelum membuat keputusan tentang apakah kita akan menerapkan e-voting dalam Pemilihan Presiden 2014. Jika Indonesia telah sepakat untuk menerapkan e-voting maka diperlukan pemikiran yang matang atas rencana, rancangan, implementasi, hingga audit dari apapun sistem yang akan digunakan. Kegagalan melakukan itu semua berarti pertanyaan: “Apakah kita mau mempercayakan keselamatan dan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum kita pada sebuah sistem yang tidak terpercaya?”. (Manik Hapsara)
Referensi:
[1] Margaret McGaley, Paul Gibson, Electronic Voting: A Safety Critical System, March 2003
[2] Bruce Schneier, Voting and Technology, www.counterpane.com/crypto-gram-0012.html#1
[3] Rebecca Mercuri, A Better Ballot Box?, IEEE Spectrum, October 2002
[4] David Jefferson, Aviel Rubin, Barbara Simons, David Wagner, A Security Analysis of the Secure Electronic Registration and Voting Experiment (SERVE), a report for U.S. DoD’s FVAP, January 2004
[5] National Institute of Standard and Technology, Requiring Software Independence in VVSG 2007: STS Recommendations for the TGDC, November 2006
=====================================================
Disclaimer:
Anda diijinkan untuk mengunduh, menyalin, mengutip, medistribusikan artikel ini secara cuma-cuma dengan syarat mencantumkan e-voting indonesia sebagai sumber rujukan. Untuk korespondensi hubungi: