Pertama, adanya krisis moneter yang sedang dihadapi Eropa memaksa Parlemen (serta Eksekutif) untuk melakukan sidang-sidang simultan termasuk di saat weekend demi membuat keputusan-keputusan mengikat(binding) untuk menghentikan krisis. Problem kedua merupakan konsekwensi yang pertama karena di beberapa negara, keputusan Parlemen Eropa tersebut dibawa ke Mahkamah Agung di masing-masing negara. MA di Perancis dan Jerman sedang menguji apakah Putusan Pemerintah EU yang sudah disetujui Parlemen Eropa itu sejalan dengan konstitusi di masing-masing negara tersebut.
Putusan oleh Pemerintahan EU harus bersaing dengan putusan-putusan yang dibuat oleh lembaga-lembaga internasional seperti WTO, IMF dan WB. Parlemen Eropa harus mengawasi Pemerintah agar Putusan-putusan Parlemen Eropa tidak justru dikalahkan. Pengawasan Parlemen juga rumit dan kurang efektif di negara EU yang berbentuk federal. Pengawasan Perlemen akan efektif apabila ada mekanisme pengawasan terpusat.
Parlemen juga harus bisa merespon isu global karena potensi dampak yang luas melintasi batas-batas negara termasuk Eropa. Parlemen harus merespon kebutuhan perlunya project-project di dalam dan luar EU untuk antisipasi dampak globalnya. Tantangan berikut adalah soal IT, yang harusnya direspon Parlemen tidak sekedar level teknis tapi harus pada level cara berpikir, mindset, hingga perilaku politisi. Soal transparansi budget misalnya, dipercaya dapat mendorong perubahan-perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga akuntabilitas bisa terpenuhi.
(4/9/12, Eva Kusuma Sundari Anggota FPDIP di BAKN DPR RI)