Hanya itu?
Iya begitulah. Peringatan hari Kartini memang hanya soal upacara, pidato, kebaya, konde dan lomba masak. Jika pendidikan kaum wanita sama dengan buah mangga, festival mengenang gagasan Kartini cuma di kulit saja. Ide kesetaraan gender jarang bahkan tidak pernah disentuh.
Mungkin perasaan saya saja, pada hari Kartini, sekolah jarang mengadakan lomba karya ilmiah bagi para remaja puteri. Atau lomba membuat proyek yang sifatnya merangsang intelektualits. Seperti meminta ide dalam memajukan pendidikan bangsa. Lomba memasak dan merangkai bunga bukan tidak bermanfaat. Namun lihat realita sekeliling. Wanita-wanita diseluruh dunia terutama mereka yang memegang kunci-kunci penting dalam kepemimpinan masyarakat, tidak harus pandai disektor domestik untuk menyandang predikat wanita baik-baik.
Sekolah sebagai satu institusi resmi dalam transfer ilmu mestinya lebih cerdik. Memanfaatkan momen Hari Kartini untuk merubah cara berpikir para peserta didiknya. Sekolah mestinya mampu melihat dan merumuskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Bahwa Indonesia yang berbasisnegara agraris baru beranjak sedikit ke era industry tapi sekarang dipaksa masuk ke era teknologi dan informasi. Gak aneh dunk kalau kemudian termegap menelusuri lorong peradaban.
Dalam jaman kegelapan ini tuntunan terhadap peran perempuan semakin rumit. Rahim dan kelenjar air susunya menghendaki mereka tetap di sektor domestik. Disisi lain pendidikan membuka pintu terhadap berbagai kesempatan yang tidak terbayang sebelumnya. Kondisi itu menuntut perempuan meninggalkan rumah.
Dari sinilah sekolah seharusnya masuk. Diantara peran domestik dan publiknya itu perempuan tidak perlu seperti pelanduk yangterjepit ditengah.Sekolah lah yang mestinya memprovokasi pemikiran baru. Misalanya dalam rumah tangga peran lelaki dan perempuan berimbang. Yang kebanyakan terjadi sekarang, bila rumah tangga memerlukan pengayom maka perempuanlah yang dianggap “pantas” mengorbankan aktivitasnya di luar rumah.
Halnya peran publik, perempuan seharusnya mendapatjabatan resmilewat ajang kapasitasnya. Baik intelektual maupun kepemimpinan. Bukannya jatah-jatahan quota seperti yang terjadi sekarang.
Eranyanya sudah datang bahwa memperingati Hari Kartini tidak lagi sebatas hari kebaya dan konde nasional . Momen tanggal 21 April dimanfaatkan sebagai “Hari Pencerahan Wanita Indonesia”. Hari ini kaum puteri dibawa melihat dirinya dalam kancah sosial. Dimana posisi mereka, peran apa yang dimainkan agar berdampak postif. Tak hanya bagi kemajuan karakter pribadi tapi juga keluarga dan bangsa.
Keterdidikan kaum perempuanakan berdampak hebat pada cara kita berbangsa. Dan saya yakin bila perempuan mendapat kesempatan belajar secara merata tidak akan ada kisah memilukan seperti penyiksaan TKW di luar sana. Sebab hanya tenaga kerja terampil yang akan dikirim keluar.
Salam,
-- Evi