Pelajar yang berada dalam usia remaja lebih rentan untuk melakukan self-harm. Hal ini dikarenakan, masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini diawali ketika individu mengalami pubertas atau kematangan seksual dengan ditandai oleh perubahan atau peralihan baik dalam aspek hormonal, aspek kognitif, aspek fisik, maupun aspek psikososial (Santrock, 2009; dalam Thesalonika & Apsari, 2021). Ketika individu tidak mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi seringkali akan mengalami masalah atau konflik. Sehingga, tak jarang individu-individu tersebut mengalami tekanan atau stres. Ketidakmampuan remaja dalam mengatasi masalah dapat menimbulkan emosi negatif, hal inilah yang dapat mendorong mereka untuk melakukan self-harm.
Pernyataan di atas juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan YouGov Omnibus (2019) terhadap 1.018 orang Indonesia, dimana hasilnya menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga penduduk (36,9%) Indonesia pernah melukai diri sendiri. Dua dari lima orang responden pernah melukai diri sendiri dan terutama ditemukan di kalangan anak muda. Fakta ini selaras dengan pernyataan dokter spesialis kesehatan jiwa di RSUD dr. Soetomo, Dr. dr. Yunias Setiawati SpKJ., bahwa dalam seminggu rata-rata sepuluh pasien remaja (rata-rata usia 13-15 tahun) datang dalam kondisi sudah menggores tangan, mencakar, ataupun membenturkan diri ke tembok (Ginanjar, 2019; dalam Thesalonika & Apsari, 2021).
Self-harm sendiri diartikan sebagai perilaku menyakiti diri sendiri atau sebagai tindakan seseorang untuk melukai diri sendiri dengan berbagai cara, biasanya dilakukan untuk mengatasi tekanan mental emosional atau upaya untuk menyalurkan rasa sakit emosional.
Perilaku self-harm dikategorikan ke dalam tiga bentuk berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu (Lestari, 2024):
1. Superficial Self-Mutilation