Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Analisis Media, Siapakan Presiden Kita Berikutnya? (Bagian II)

9 Juli 2014   06:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:55 178 0
Tulisan ini dibuat sebagai analisis akhir dari tulisan bagian pertama Evello System yang dipublikasikan pada media Kompasiana pada halaman http://politik.kompasiana.com/2014/06/20/analisis-media-siapakah-presiden-kita-berikutnya-668011.html dan dimuat ulang pada halaman http://evello.co.id/analisis-media--siapakah-presiden-kita-berikutnya?. Untuk mengingat kembali hal-hal yang diangkat pada tulisan terdahulu, berikut adalah intisari dari kesimpulan awal:


  1. Menjelang dilaksanakannya putaran pemilihan Presiden 9 Juli 2014 popularitas Joko Widodo tidak lagi dominan, melainkan memiliki kecenderungan turun yang disebabkan oleh banyak aspek.
  2. Terjadi penguatan tren popularitas Prabowo Subianto setelah deklarasi koalisi Merah Putih dengan masuknya Hatta Rajasa sebagai Calon Wakil Presiden.
  3. Secara mengejutkan Hatta Rajasa memiliki tingkat popularitas yang lebih dibandingkan dengan popularitas Jusuf Kalla sehingga berkontribusi terhadap meningkatnya popularitas pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

  1. Bulan Januari, pemberitaan mengenai Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo merupakan pemberitaan sosok politikus yang paling dominan dibandingkan dengan ketiga politikus lainnya, yaitu Prabowo Subianto, Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa.
  2. Bulan Januari, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa memiliki popularitas pemberitaan yang kurang lebih sama dan berada jauh dibawah jika dibandingkan dengan Joko Widodo.
  3. Kenyataan pada pemberitaan di media online, memiliki tren yang sama dengan tren yang ada pada media sosial seperti Facebook dan Twitter, meskipun dengan jumlah yang berbeda.
  4. Melihat pada kenyataan bulan Januari 2014 tersebut di atas, wajar jika banyak pengamat yang membuat pernyataan bahwa Joko Widodo akan memenangkan pemilihan Presiden 2014 jika disandingkan dengan calon Wakil Presiden manapun dan bahkan akan mendorong PDIP sebagai pemenang Pemilu Legislatif dengan peroleh suara di atas 25%.
  5. Bulan Mei dan Juni merupakan kondisi titik balik yang signifikan, dimana popularitas Joko Widodo tidak lagi berada pada puncaknya, dikarenakan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa mulai dapat membuat jurang popularitas semakin menipis, sementara Jusuf Kalla memiliki tren peningkatan cenderung naik, akan tetapi berada di bawah popularitas Hatta Rajasa.
  6. Maret 2014 adalah puncak kajayaan popularitas Joko Widodo, setelah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri sebagai calon Presiden 2014. Pada fase ini, mandat Joko Widodo sebagai Calon Presiden dari PDIP kerap disebut oleh tim Evello sebagai ledakan media. Hari-hari pemberitaan di media dan pembicaraan di media sosial dipenuhi oleh Joko Widodo sebagai Calon Presiden. Setelahnya, tren popularitas Joko Widodo cenderung menurun yang disebabkan oleh banyak aspek. Salah satunya, sebagai mercusuar pemberitaan dan pembicaraan, Joko Widodo menjadi sasaran tembak tunggal bagi partai-partai peserta pemili legislatif 2014.

  1. Setiap pasangan Capres dan Cawapres memiliki modal aspek positif dan aspek negatif, sehingga terjadilah "jual beli" pemberitaan yang cukup tinggi, terutama memasuki Mei, Juni dan Juli 2014.
  2. Kedua pasangan memiliki akses yang relatif sama untuk menjual beragam opini untuk menarik minat pemilih sehingga pada akhirnya memicu perang komentar pada setiap pemberitaan yang berhubungan pasangan Capres dan Cawapres. Perang komentar pun pada akhirnya berlanjut ke media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Blog dan Forum Diskusi yang bahan mentah peperangannya di peroleh dari pemberitaan di Media Online.
  3. Tidak semua bahan mentah yang memicu peperangan di media sosial memiliki efek "gaduh" yang tinggi terhadap pembentukan opini masyarakat. Hanya beberapa opini yang berhubungan dengan tema korupsi, infrastruktur (teruma listrik) dan persoalan keamanan (termasuk SARA) yang menurut catatan Evello System memiliki efek determinasi dalam bentuk sentimen ke masyarakat.
  4. Melihat bahwa porsi pemberitaan kedua pasang calon berimbang di media sosial, perang opini negatif dalam bentuk kampanye negatif dan kampanye hitam berlanjut ke media sosial dan sampai pada saat tulisan ini dibuat, dinamika perang pendukung masing-masing pada media sosial tetap berlangsung.
  5. Jika porsi pemberitaan antar kedua pasangan capres dan cawapres berada posisi seimbang, tentu efek ke media sosial menjadi lebih dinamis. Di media sosial lah kemudian perebutan pengaruh benar-benar terjadi. Secara logis, jika tren porsi pemberitaan cenderung turun terhadap salah satu pasangan, tentu saja itu akan tercermin pada media sosial. Sebaliknya, jika tren pemberitaan salah satu pasangan naik, bisa jadi tren di media sosial juga akan naik.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun