Dalam konteks filsafat, ontologi tidak hanya mempelajari keberadaan secara umum, tetapi juga mendorong kita untuk memeriksa dan mendefinisikan berbagai kategori eksistensi. Pertanyaan yang sering muncul dalam diskusi ontologis adalah apakah keberadaan itu bersifat tetap dan tak berubah, atau apakah keberadaan dapat berubah sesuai dengan persepsi kita. Ini mengarahkan kita pada isu yang lebih mendalam mengenai esensi dari unsur atau entitas yang membentuk realitas. Jika kita mempertanyakan hal ini lebih lanjut, maka ontologi berfungsi sebagai dasar yang krusial bagi pemahaman kita tentang segala sesuatu yang ada di sekitar kita.
Sebagai contoh, ketika kita melihat suatu benda, seperti sebuah meja, kita mungkin secara otomatis menganggap bahwa meja tersebut ada, karena kita dapat melihatnya, menyentuhnya, atau bahkan merasakan dampaknya dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun, apakah keberadaan meja tersebut benar-benar merupakan suatu hal yang mutlak, ataukah keberadaannya bergantung pada persepsi kita sebagai individu? Apakah meja tersebut akan tetap ada jika tidak ada yang melihatnya, menyentuhnya, atau bahkan memikirkannya? Pertanyaan-pertanyaan ini berada di jantung diskusi ontologi dan menuntut kita untuk memikirkan ulang tentang apa yang kita pahami sebagai "realitas."
Ontologi juga tidak terlepas dari masalah yang lebih besar, yaitu keberadaan Tuhan. Salah satu pertanyaan ontologis yang sering dibahas adalah mengenai apakah Tuhan benar-benar ada secara ontologis, atau apakah Tuhan hanya merupakan hasil dari imajinasi manusia. Jika kita mendefinisikan keberadaan sebagai sesuatu yang nyata dan mutlak, maka apakah Tuhan, sebagai entitas yang sering kali dianggap transenden dan tidak dapat dilihat, bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang ada? Pertanyaan ini menjadi semakin rumit karena ontologi tidak hanya berurusan dengan apa yang kita bisa lihat atau sentuh, tetapi juga dengan hal-hal yang berada di luar jangkauan persepsi indrawi kita.
Dalam banyak tradisi filsafat, Tuhan dianggap sebagai dasar dari segala sesuatu yang ada. Misalnya, dalam filsafat Barat klasik, para filsuf seperti Thomas Aquinas berpendapat bahwa Tuhan adalah "Being" yang mutlak, yang keberadaannya tidak memerlukan sesuatu di luar dirinya sendiri untuk ada. Tuhan dianggap sebagai penyebab pertama dari segala sesuatu, sehingga segala yang ada bergantung pada Tuhan untuk eksistensinya. Namun, pandangan ini tidak diterima oleh semua orang. Beberapa filsuf kontemporer, misalnya, berpendapat bahwa Tuhan hanyalah konstruksi konseptual, sebuah ide yang diciptakan oleh manusia untuk memberikan makna atau penjelasan atas hal-hal yang tidak dapat dijelaskan secara empiris.
Sebagai contoh, filsuf ateis seperti Jean-Paul Sartre menolak gagasan tentang keberadaan Tuhan yang transenden. Menurut Sartre, keberadaan adalah sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada manusia sebagai subjek yang memiliki kesadaran. Bagi Sartre, tidak ada keberadaan yang lebih tinggi atau lebih mutlak dari manusia sendiri, dan oleh karena itu, konsep Tuhan menjadi tidak relevan dalam kerangka ontologi eksistensialis. Dalam pandangan eksistensialis, manusia lah yang memberikan makna pada realitas, bukan Tuhan.
Namun, meskipun beberapa filsuf menolak gagasan tentang keberadaan Tuhan, ontologi tetap membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut tentang isu ini. Sebab, dalam tradisi filsafat lain, khususnya dalam metafisika Timur, Tuhan atau entitas transenden sering kali dianggap sebagai realitas tertinggi, di luar batasan persepsi manusia. Misalnya, dalam filsafat Advaita Vedanta dari India, realitas tertinggi atau "Brahman" dianggap sebagai satu-satunya hal yang benar-benar ada, sementara segala sesuatu yang kita lihat dan alami hanyalah manifestasi dari realitas yang lebih besar itu. Dalam konteks ini, Tuhan atau Brahman adalah satu-satunya entitas yang memiliki keberadaan yang mutlak, sementara segala sesuatu yang lain hanya memiliki keberadaan yang bersifat relatif.
Dengan demikian, ontologi membawa kita pada pertanyaan yang sangat mendasar dan sering kali sulit dijawab: Apakah keberadaan itu bersifat objektif dan tetap, ataukah keberadaan bergantung pada persepsi kita? Apakah Tuhan, sebagai entitas yang sering kali dianggap transenden, benar-benar ada secara ontologis, ataukah keberadaan Tuhan hanya merupakan hasil dari imajinasi atau kepercayaan manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini, meskipun tidak selalu memiliki jawaban yang pasti, membantu kita untuk memahami lebih dalam tentang realitas dan eksistensi yang kita alami setiap hari.
Sebagai penutup, ontologi adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang memiliki peran sangat penting dalam membantu kita memahami dan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan keberadaan. Cabang ilmu ini tidak hanya membuka ruang bagi kita untuk memikirkan ulang tentang hal-hal yang kita anggap sudah pasti ada, tetapi juga mengajak kita untuk mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih abstrak dari realitas, seperti keberadaan Tuhan atau entitas transenden lainnya.