Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Tersamar di Bawah Keagungan Mahawu

5 Februari 2012   15:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:01 322 1

Kuning bunga-bunga serunai di awal Januari menyambut tapak pertama kami di desa Rurukan, Tomohon Timur, Sulawesi Utara. Di atas jalanan berbatu itu tubuh dan perasaan kami terus mendekati Mahawu, gunung yang berjalin tersamar dalam keagungan panjang.

Di kiri kanan ada gundukan kerikil dan beberapa alat pembangunan jalan. Ya, jalur yang kami lalui hingga di depan pos jaga Gunung Mahawu akan diaspal. Namun, hari itu tidak ada satu pun pekerja pembangunan jalan yang kami temui. “Mungkin mereka masih berlibur, merayakan Tahun Baru,” pikir saya.

Sekitar lima menit pertama dalam perjalanan itu, saya lebih banyak mengajak mata menengok keadaan di sebelah kanan. Ada persawahan yang sebagian besar ditanami kol dan bunga serunai. Di kejauhan tampak barisan pegunungan berhias kumpulan air di bawahnya. “Itu Gunung Klabat. Di belakangnya Gunung Dua Saudara,” terdengar teman saya.

Gunung Klabat dan Gunung Dua Saudara. Saya perhatikan bentuk masing-masing gunung. Mencoba mengenali mereka satu per satu, kemudian mengingatnya dalam pikir.

Kami melangkah kembali. Di atas jalan berbatu, saya menemukan pepohonan mungil. Di depan masing-masing pohon tertancap papan kecil bertuliskan nama seseorang beserta kota dan atau institusi. “Gunung Mahawu sedang diupayakan menjadi kawasan hutan lindung,” kata teman saya.

Namun, saya tetap merasa aneh dengan situasi itu. Papan-papan mungil bagai media promosi. Kawasan yang seharusnya jadi lahan penghijauan malah terlihat kotor. Semoga pemikiran saya ini salah. Semoga penanaman bibit pohon itu nanti akan tetap dikenang dan benar-benar menyelamatkan hutan, dengan atau tanpa papan penanda si penanam pohon.

Semoga.

Jalanan terus menanjak. Udara masih terasa sejuk, meskipun jarum paling tebal di jam tangan saya sudah melampaui angka sembilan. Sinar matahari redup mengintai dari balik pepohonan tinggi. Sampailah kami di depan pos jaga yang berdampingan dengan lahan parkir. Perkiraan saya, lahan itu cukup untuk tujuh mobil ditambah kurang dari 10 motor. Di sebelahnya lagi tampak sebuah rumah kecil.

Tidak ada satu orang pun di pos jaga. Mengikuti naluri nekat, kami pun mendekati jalur pendakian.

Mahawu yang Kokoh dalam Hening

Tanah dan helai rerumputan masih basah. Tidak ada sulur-sulur matahari yang masuk. Rupanya dihambat pepohonan tinggi berbatang kurus. Terdengar kicau burung dan (sepertinya) keluarga monyet. Suara-suara itu sebentar bersahut-sahutan, kemudian hilang. Lalu datang lagi. Sama, kali ini pun sebentar. Berulang-ulang seperti itu.

Teman saya berhenti melangkah. Beberapa jejak di depan, dia mengambil ponsel. Saya melihat tangan kanannya sedikit terangkat, merekam suara-suara satwa yang renggang datang. Sekitar 30 menit kemudian, kami sampai di satu lahan yang tidak terlalu besar. Saya bergerak ke tengah-tengah lahan. Diam.

Itulah dia, tepat di depan saya, dinding kawah Gunung Mahawu.

Ujung-ujung lekukan teratas kawah Gunung Mahawu tampak terang diterpa sinar matahari.  Kawah yang melingkar luas seperti hendak menyeret kami ke jalur misteriusnya. Persuasi berhasil. Kami menyudahi diam di lahan terbuka itu.

Kami siap menyusuri jalur yang melingkari kawah, hingga kembali ke titik kaki ini menjejak.

Ada dua pilihan bebas saat itu: memulai perjalanan mengitari kawah ke arah kanan, atau sebaliknya, melalui jalur kiri. Yang terjadi kemudian, tapak-tapak kami bergerak ke kanan, masih di lahan yang sama. Langkah kami disambut sebuah tugu yang tidak begitu tinggi, penanda batas antar dua desa terdekat.

Saya melihat rerimbunan pohon tebu dan ilalang di depan. “Ini dia,” saya bergumam. Seperti perjalanan yang lalu, teman saya berjalan di depan. Entah kenapa begitu. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan.

Jalur yang sempit. Rumbai daun ilalang beberapa kali menepuk mata, menyisakan basah air yang menyegarkan. Tubuh kami terus berjalan di sisi kanan jalur yang terus menggelap. Ilalang-ilalang tinggi menjuntai di sisi kiri jalur, seperti hendak menyembunyikan rupa kawah Mahawu di belakangnya. Kalau tidak awas, siapapun bisa terjerembab menerobos ilalang-ilalang itu dan menemui jurang di baliknya.

Bau belerang mulai menyengat hidung. Kami sampai di lahan terbuka berikutnya. Ada beberapa antena pendeteksi gempa di sebelah kanan. Saya memutari lahan berpasir itu. Di kepala saya terbayang pelaksanaan upacara bendera di lahan, yang bagi saya jauh dari kata “luas”. Berapa orang bisa berdiri di selama puluhan menit di tempat ini? Tidak banyak, saya rasa. Alasan itu pula yang tampaknya melatarbelakangi anjuran agar tidak ada lebih dari lima pendaki di atas Mahawu dalam waktu bersamaan, apalagi sampai mendirikan tenda.

Dari lahan itu saya bisa melihat dasar kawah Mahawu. Hijau dan biru berpadu dan menjadikannya warna air kawah. Indah. Sayang, ada beberapa coretan nama di tepian danau mungil kawah. Tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi fokus saya. Melihat coretan itu, yang terbayang adalah beberapa orang menuruni lereng yang curam. Mereka berusaha menyeimbangkan langkah supaya tidak terperosok. Ketika sampai di dasar kawah, mereka bercakap-cakap dan mengingat perjalanan yang tadi. Bayangan yang hanya melintas sebentar, karena kami harus melanjutkan perjalanan.

Epilog Kenangan dari Mahawu

Bayu yang dayu membawa kami ke jalan menurun. Terletak di kiri jalur yang melingkar, jalan menurun itu berakhir di bibir kawah. Dua kaki teman saya mendekat ke ujung jalan menurun. Sementara saya memilih duduk di atas sebuah batu. Detik-detik yang menua telah membuat tubuh teman saya mengecil.

Semakin mendekati bibir kawah, tubuhnya terus tenggelam di antara ilalang-ilalang tinggi. Kecil sekali. Sementara, dinding kawah pada ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut itu justru terlihat kuat menjaga pepatnya.

Matahari tidak lagi bersuar di atas kepala. Kami beranjak turun dari kawah Mahawu. Masih terkenang bayangan-bayangan ketika menapaki kokoh tanah gunung stratovulkanik itu. Sisa udara serta lalu angin  pun seakan-akan menyusul di belakang kami. Saya berharap kenang-kenangan itu akan terulang lagi, dengan jalur pendakian yang telah menjadi hutan lindung seutuhnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun