Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Hanya Untukmu

18 Februari 2014   05:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 62 0


Secarik kertas tergenggam di tangan Ethan. Dipandangnya lagi dengan tidak percaya hasil laporan dokter mengenai penyakitnya. Disampingnya Citra teman baiknya, merangkul pundaknya terus memberi dukungan kepadanya sambil menahan air mata yang jatuh menetes.



"Lo yang sabar ya, Than. Gue bakal selalu dukung lo, doain lo terus," kata Citra. "Lo harus kuat, lo ga boleh nyerah gitu aja."



Ethan hanya tersenyum memandang Citra yang sudah menangis.



"Nyerah?" tanya Ethan sambil tertawa. "Gue uda nyerah soal hidup gue sejak dulu, Cit. Lo tau itu, sejak... yah dia ninggalin gue."



"Tapi masak hanya gara-gara seorang cewek lo nyerah soal hidup aja? Masih banyak cewek di dunia ini, gak cuma dia seorang!"



"Penyakit gue sudah ada sejak gue pacaran sama dia. Gue sembunyiin terus dari dia, karena gue gak mau dia  khawatir. Selama itu pula gue berjuang untuk dapat hidup. Tapi, dia ninggalin gue. Dia ninggalin harapan gue," jelas Ethan sekarang memandang langit.



Citra hendak memprotes pendapat Ethan, tapi mengurungkannya. Dia tahu Ethan sangat mencintai Silvy, cewek yang sudah dipacarinnya sejak zaman SMA. Citra mengganggap kalau Ethan dan Silvy akan berakhir di pelaminan mengingat hubungan mereka yang sangat dekat. Tapi, semua berubah sejak Ethan mengetahui penyakit yang mengidapnya. Ethan divonis oleh dokter mengidap kanker otak tapi masih stadium awal. Sejak saat itu, Ethan berubah sikap terhadap Silvy. Silvy yang tidak lagi betah terhadap perubahan sikap Ethan, dan merasa Ethan sudah menyembunyikan sesuatu akhirnya memutuskan hubungannya yang sudah di jalani selama tujuh tahun.



Ethan menerima keputusan Silvy, dia menganggap Silvy lebih baik tanpanya. Tapi, putusnya hubungan Ethan dan Silvy memberi dampak yang sangat besar terhadap Ethan. Dia memilih tidak melanjutkan pengobatannya dan pada akhirnya hal yang paling tidak diinginkan oleh Citra terjadi padanya. Ethan divonis hanya memiliki hidup 75 hari lagi.



"Jangan ada yang tahu soal ini, Cit, termasuk orang tua gue."



"Lo pasti bercanda kan, Than?" tanya Citra tak percaya. Dipandangnya Ethan yang menggelengkan kepalanya, "Orang tua lo harus tahu, mereka punya hak untuk tahu kalau putranya akan meninggal dalam 75 hari lagi. Lo gila kalau ngelarang gue kasi tahu ke mereka."



"Gue minta dengan sangat sama lo, Cit. Gue pengen ngadepin ini sendirian," pinta Ethan.



"Tapi, mereka orang tua lo. Mereka harus tahu ini semua."



"Yup, mereka orang tua gue. Tapi, ini hidup gue. Dan gue gak mau nyusahin mereka," jawab Ethan kalem. "Gue akan pergi dan menetap di suatu tempat setelah ini. Mungkin ini pertemuan terakhir kita."



"Lo mau kemana?" tanya Citra.



"Ke tempat dimana gue dulu pengen hidup bersama Silvy jika gue menikah dengannya," jawab Ethan.



"Sepertinya itu uda keputusan bulat lo. Gue gak bakal ngelarang lo, gue uda kenal lo dan lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal. Segala nasihat dari gue serasa mental buat lo," canda Citra.



Ethan memeluk Citra tiba-tiba sambil berkata,"terima kasih lo mau jadi temen gue."



Kaget karena Ethan memeluknya tiba-tiba, Citra hanya membalasnya dengan membelai punggung Ethan.



"Begitu gue sampe di tempat tujuan gue, gue bakal ngehubungin lo," kata Ethan setelah melepas pelukannya.



"Lo mau pergi berapa lama?" tanya Citra.



"Gue akan kembali pada waktu yang tepat, gue janji. Selama itu, lo harus menyembunyikan hal ini dari semua orang," pinta Ethan.



Citra memandang Ethan, berharap itu hanya gurauan dia. Tapi, dia tidak menemukannya, hanya ada kesungguhan dan keteguhan di mata Ethan.



"Gue janji," kata Citra akhirnya.



Hari demi hari berlalu, dan Ethan hanya duduk sendirian di teras belakang sebuah rumah. Memandang jauh ke hamparan pasir dan laut yang berada di depannya. Saat itu, matahari seperti akan tenggelam di dasar laut.  Hanya ada suara debur ombak dan kicauan burung camar di sore itu yang terdengar. Senja, menjadi waktu favoritnya untuk duduk sendirian menatap indahnya matahari yang tenggelam digantikan bulan yang cahayanya menentramkan hati.



Saat itu, dering telepon disamping Ethan memecah kesunyian di sore itu.



"Halo, dengan saudara Ethan Diansyah?" kata suara di telepon itu.



"Ya, dengan saya sendiri," jawab Ethan.



"Saya dokter Paul dari Rumah Sakit, ingin mengabarkan kalau anda bisa mendonorkan mata anda kepada saudari Silvy. Menurut hasil tes, kornea mata ada dalam keadaan baik dan bisa di donorkan," jelas dokter Paul.



"Benarkah dokter?" tanya Ethan tidak percaya. "Saya dapat mendonorkan mata saya ini kepada Silvy?"



"Benar. Dan saya sekali lagi ingin menanyakan kepada anda, apakah anda masih bersedia mendonorkan mata anda?" tanya dokter Paul.



"Saya masih bersedia dok dengan syarat yang telah saya ajukan kepada dokter waktu itu," jawab Ethan.



"Baik, kalau begitu saya akan segera menghubungi keluarga Silvy mengenai kabar baik ini. Terima kasih."



Ethan sekarang beranjak dari tempat duduknya. Berjalan pelan menuju kamarnya. Diatas tempat tidurnya telah tersusun rapi pakaian dan segala macam barang miliknya di dalam sebuah koper. Ethan berjalan menuju meja disamping tempat tidurnya dan mengambil sebuah foto seorang wanita cantik yang tersenyum kepadanya.



"Sebentar lagi kita akan bertemu," katanya pelan kepada wanita di foto itu.



Air mata Ethan menetes membasahi foto wanita itu. Lalu di dorongnya foto ke pelukannya seakan tidak ingin berpisah dari dirinya.



Beberapa hari berselang, Ethan sudah tiba di bandara dan dilihatnya Citra sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya. Begitu melihat Ethan, Citra berlari menyongsongnya dan langsung memeluknya sambil menangis.



"Hei, sudahlah. Kok malah lo nangis ketemu gue? Apa penampilan gue segitu parahnya sampe lo nangis?" tanya Ethan bercanda.



Citra melepas pelukkannya dan meninju pelan dada Ethan. "Lo ini, uda sejengkal lagi hidupnya masih aja bercanda."



Ethan hanya tertawa mendengar candaan Citra. "Gue mencoba menikmati akhir hidup gue."



"Huh, menikmati hidup" keluh Citra. "Ayo, gue antar ke rumah lo dulu. Orang tua lo, uda nungguin kamu dirumah. Mereka khawatir banget lo menghilang selama 2 bulan ini."



Berdua mereka berjalan menuju mobil Citra yang sudah menunggu.



"Ngomong-ngomong, lo yakin mau donorin mata lo ke Silvy?" tanya Citra saat mereka sudah berada di mobil.



"Yup, hanya dengan ini gue bisa nebus kesalahan gue."



"Dan tentang syarat lo soal pendonoran mata lo uda disetujui oleh dokter Paul?" tanya Citra.



"Dokter Paul setuju kalau dia akan merahasiakan identitas gue sebagai pendonor matanya," jawab Ethan.



Citra lalu terdiam, sudah sejak satu minggu lalu semenjak Ethan mengetahui kecelakaan yang menimpa Silvy di hari menjelang pernikahannya menyebabkan kebutaan matanya. Ethan yang mengetahui itu lalu memutuskan akan mendonorkan matanya buat Silvy dengan syarat dirahasiakan identitasnya. Citra merasa tidak perlu repot-repot melarang Ethan untuk berpikir ulang. Sebagai sahabat karibnya, Citra sudah paham betul tentang Ethan yang keras kepala. Dia hanya berharap, Silvy pada akhirnya mengetahui seberapa besar cinta Ethan terhadapnya.



Mobil melaju pelan saat mendekati rumah Ethan. Begitu Ethan keluar dari mobilnya, mamanya langsung berlari memeluk dan menciumi Ethan.



"Mah, sudah hentikan. Malu tau," kata Ethan seraya menjauh dari jangkaun mama.



"Malu? Mama khawatir banget sama kamu. Kamu uda 2 bulan ini gak ada kabar," kata mama cemas. "Dan kenapa kamu kelihatan sakit, nak? Kamu kenapa? Apa kamu belum sembuh dari penyakitmu?"



Ethan melirik Citra, dan merasa bangga karena Citra ternyata tidak membocorkan rahasianya.



"Kita masuk dulu, ma. Ethan jelaskan di dalam," ajak Ethan.



Ethan dan Citra berjalan mengikuti mama ke dalam rumahnya.



"Ceritakan kepada mama, kemana kamu selama 2 bulan ini?" tuntut mama saat mereka telah duduk di ruang keluarga.



"Ethan ke bali, ma. Ethan mau sendiri aja," jawab Ethan.



"Kenapa kamu pengen sendiri? Kamu ada masalah?" tanya mama. "Dan mama masih heran kenapa kamu terlihat sangat pucat, nak. Bukankah selama ini kamu mengikuti terapi dan berjalan dengan sukses? Tapi kenapa kamu tampak lebih parah?"



Ethan tidak langsung menjawab pertanyaan mamanya. Dia melepas topi dari kepalanya lalu memandang mamanya yang sudah kaget.



"Ethan, kamu apakan rambut kamu?"



"Ma, " panggil Ethan pelan. "Ethan sudah lama tidak melanjutkan pengobatan. Dan 2 bulan lalu Ethan sudah divonis hanya memiliki hidup 75 hari lagi. Itulah kenapa Ethan pergi ma. Ethan mau menghadapi ini sendiri tanpa perlu menyusahkan mama."



"75 hari lagi??? Kamu jangan bercanda sama mama Ethan!!! Gak mungkin kamu sebentar lagi mati!!! Gak mungkin," kata mama tidak percaya.



Tapi mama melihat apa yang telah di lihat Citra beberapa bulan yang lalu di dalam mata Ethan. Dan menyadari anaknya tidak berbohong dan mulai menangis.



"Itu kenyataaanya, ma. Hidup Ethan hanya tinggal beberapa hari lagi. Ethan pulang ke sini, karena mau minta Ethan mau minta ijin sama mama," kata Ethan.



"Apa nak? Kamu mau apa? Mama akan kabulkan semuanya."



"Ethan mau mendonorkan mata Ethan," kata Ethan mantap.



"Mendonorkan mata kamu???" tanya mama tidak percaya.



"Iya, ma. Dan Ethan sudah memutuskannya tetap akan melakukannya dengan atau tanpa persetujuan dari mama. Ini keputusan Ethan, ma."



Mama mulai menangis meraung-raung. Citra lalu mendekat dan membelai bahu mama Ethan. Sambil tersedak karena air mata yang masuk ke mulutnya bertanya, "kenapa kamu melakukan ini semua kepada mama, nak?"



Ethan mendekat dan berlutut di hadapan mama. Menatap mata mama yang telah basah oleh air mata. "Karena Ethan ingin Silvy bahagia ma. Ethan selalu mencintainya sampai sekarang."



"Apa hubungan ini dengan Silvy?" tanya mama.



"Silvy yang akan menerima mata Ethan, ma. Beberapa hari yang lalu Silvy mendapat kecelakan yang akhirnya membutakan matanya," jelas Ethan.



Mama lalu membelai pipi Ethan dengan lembut. "Silvy seharusnya bangga pernah memilikimu walau sesaat, seperti mama yang bangga kepadamu,nak. Walau berat karena mama harus kehilangan kamu untuk selamanya, mama merelakanmu, nak.



Setelah berkata seperti itu, mama lalu memeluk Ethan dan menangis lagi dipundaknya.



Malamnya, Citra dan mama menemani Ethan ke rumah sakit tempat Silvy dirawat. Disana Ethan meminta mama dan Citra untuk mengalihkan perhatian orang tua Silvy agar tidak mengetahui keberadaanya dan menyelinap masuk ke kamar tempat Silvy dirawat.



Dikamar tersebut, Ethan melihat Silvy tidur dengan mata terpejam. Ethan mendekat pelan agar tidak membangunkannya. Ditatapnya wajah cantik Silvy yang sedang tertidur, walau ada beberapa luka yang masih belum sembuh di wajah dan sekujur tubuhnya.



Ethan berdiri disampingnya, mengangkat tangannya sedikit dan mengusap rambut dikepala Silvy. "Kita bertemu lagi setelah sekian lama," kata Ethan memulai. "Tapi, bukan dalam keadaan seperti ini. Aku berharap bertemu kamu yang bahagia karena kehidupan barumu bukan dalam keadaaan kamu terbaring seperti ini. Tapi, kamu sebentar lagi akan dapat melihat dan kamu akan menikah dengan orang yang lebih baik dari pada aku. Aku ingin selalu melihatmu bahagia."



Ethan kemudian mendekat dan mencium kening Silvy. "Aku akan selalu bersamamu dan selalu mencintaimu."



Satu bulan kemudian, Silvy telah mendapatkan donor mata dari Ethan dan sedang menanti untuk membuka perban dimatanya. Berharap operasi yang dilakukannya berhasil.



"Nah, kamu sudah siap Silvy?" tanya dokter Paul.



"Siap dok, tapi saya ingin menanyakan sesuatu."



"Apa itu?"



"Tentang mata ini dok, siapa yang mendonorkan matanya untuk saya. Soalnya saya ingin berterimakasih kepada keluargany," kata Silvy.



"Maaf, dokter tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Karena dokter diminta untuk merahasiakan identitasnya. Saya hanya bisa berkata kalau dia adalah seorang pria yang baik," jawab dokter Paul.



"Pria?" tanya Silvy di dalam hatinya.



"Kalau begitu, mari kita lanjutkan untuk membuka perban dan membuatmu melihat dunia ini kembali," kata dokter Paul.



Dokter Paul melepas perban dimata Silvy pelan-pelan. Lalu melepas penutup mata di kedua mata Silvy dan berkata,"nah sekarang pelan-pelan kamu buka mata kamu, Silvy."



Dengan sangat pelan Silvy membuka matanya. Cahaya begitu silau menerangi matanya. Dan untuk sesaat, dia tidak mampu melihat apapun hanya cahaya yang begitu terang. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan terhadap cahaya. Dilihatnya sekilas Ethan berdiri didepannya sambil tersenyum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun