"Kamu tahu, saya tidak pernah merasa memiliki suatu negeri. Saya cuma punya paspor, sekedar tanda bahwa saya tinggal di sini, bukan di tempat lain," suara Tia terdengar sedih.
Sambungan telepon kali ini sangat jernih hingga Tia bisa mendengar helaan nafas Steve.
"Look. Saya di sini dan kamu di sana, 12 jam bedanya, ribuan mil jaraknya, tapi kita seperti berada di satu tempat yang sama. Saya bisa duduk di sini dan keliling dunia. Membaca buku-buku tanpa membelinya."
"Ya. Dunia sudah menjadi sebuah kampung global. Bahkan lebih sempit lagi. Ia bisa kita taruh di atas meja, atau di pangkuan kita, atau dalam genggaman." Steve bagai bergumam.
"Sekarang ini juga saya bisa melihat kejadian di Mesir, lalu Korea Utara, atau Jalur Gaza, sambil menyiapkan makan siang."
"Dan saya bisa tahu ada orang membakar gereja di kota kelahiran ayahmu, Tia."
Steve dan Tia terdiam beberapa saat.
"Ada saatnya saya berpikir, untuk apa memilih suatu agama kalau itu berujung malapetaka."
"Ceritakan padaku, Tia. Kamu terdengar putus asa."
"Iman semestinya melembutkan hati. Iman semestinya membebaskan dari kebatilan. Menjadi jembatan yang mengantarkan diri yang hina menuju diri yang sempurna."
"I see it, Tia."
"Iman semestinya menaburkan benih-benih cinta ke bumi hingga tumbuh pohon-pohon damai yang meneduhkan jiwa. Tapi lihatlah kami, Steve, iman kami sedalam kulit, sebatas ayunan ujung celurit."
"Saya ikut berduka untuk negerimu, sekali lagi."
"Sudah berkali-kali kubilang, saya tidak memiliki negeri."
"Ya. Ya. Saya selalu lupa itu." Steve tertawa pelan. "Kamu warga dunia."
"Kalau Tuhan Mahakuasa, mengapa Ia perlu dibela? Tell me, Steve. Katakan sesuatu."
"Saya tidak mengerti, Tia. Apa maksudmu?"
"Oh. Mereka mengaku membela Tuhan."
"Mereka itu siapa?"
"Orang-orang yang membawa nama Tuhan untuk melakukan kekerasan."
"Mungkin..., ini pendapat saya saja. Mungkin justru mereka yang ingin berkuasa atas yang lainnya, lalu mengusung nama Tuhan untuk mengesahkan?"
Tia terdiam dengan nafas teratur, menandakan dirinya sedang berpikir serius.
"Tia? Are you there?"
"Ya, Steve."
"Kita bisa bicara tentang hal lainnya? This is too depressing. Kamu tahu, saya bukan orang yang relijius. Saya jarang menyebut nama Tuhan. Saya hanya berusaha untuk berbuat kebajikan."
"Bukankah itu intinya, Steve? Kebajikan? Untuk apa saya setiap hari memuji Tuhan kalau yang saya lakukan memicu kebencian? Saya sedang ingin merenung bersamamu, Steve. Justru karena kamu mengaku tidak relijius. Katakan, Steve, butuhkah Tuhan kami puji begitu rupa dan setelahnya kami membenci dan membantai sesama manusia?"
"Itu sangat membingungkan, Tia. Apalagi untuk saya."
Tia terdiam lagi.
"Kupikir tadinya memuji Tuhan itu kiasan, dengannya kita menebar kebaikan, berusaha berlaku adil dan memupuk perdamaian."
"Tia, rasanya kita benar-benar perlu bicara hal lain saja. Tidakkah kita hanya buang-buang waktu?"
"Begitu ya?"
"Ya. Lupakan saja. Seperti yang selalu kamu bilang, you will not waste your time and energy for something that you are powerless to change. Gitu, bukan?"
"Hahahaaa...!"
"Nah. That's my girl."
Tia dan Steve, dua sahabat beda keyakinan, beda negara, beda jenis kelamin dan beda semua-muanya itu meneruskan obrolan lewat telpon sambil bercanda.