Hehe, benarkah?
Jika demikian, cuma ada ratusan ribu orang depresi di Indonesia. Itu jika melihat jumlah yang me "like" atau menjadi follower para motivator. Jikapun dikumpulkan cuma menjadi beberapa juta, padahal rakyat Indonesia ini sudah 200 juta lebih. Jauuuh dibanding lagu lawasnya Rhoma Irama "135 juta penduduk Indonesia...."
Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bisa mengakses internet, apakah dijamin tidak depresi?
Tweet ini ditulis oleh salah seorang follower akun @pandji.
Karena saya juga mengikuti akun beberapa motivator kondang di Indonesia, sontak tertohok juga. Saya depresi?
Seorang teman yang sering berkunjung dan melihat koleksi buku saya mengatakan, "Kenapa sih bukumu banyak yang self help?"
"Entah ya, tapi aku cukup terbantu dengan buku yang menaikkan semangatku," dalih saya waktu itu, asal ceplos. Bingung mau jawab apa. Lalu ketika saya baca tweet itu, kok rasanya seperti kebakaran jenggot. Masa ya seekstrim itu?
Waktu masih mahasiswa dan bekerja, saking semangatnya pengen menaikkan potensi diri, saya ikut aja berbagai jenis seminar, terutama yang gratis J. Ikut juga pertemuan MLM mulai dari Forever Young, Tianshi, UFO, dll. Sampe kemudian saya mulai bisa menyimpulkan adanya pola yang hampir sama, dari tiap seminar itu. Saya sih seneng aja dapet ilmu baru, tapi tetap saja ada sebuah mindset yang kita ga bisa ubah dari karakter diri kita.
Seorang upline saya, dari sebuah produk kesehatan, yang katanya sudah memiliki sekian juta rupiah sebagai passive income-nya dalam sebulan, menanyakan,
"Apa yang kamu inginkan dalam hidup ini, Es?"
Saya gelagapan. Kalo mau pengen mah, banyak. Manusiawi kan, kalo pengan punya rumah, mobil, bisa belanja apapun tanpa perlu mikir utang kartu kredit. Tapi herannya, ga ada satu pun keinginan itu yang benar-benar nyantol dalam benak saya dan ingin saya kejar mati-matian. Mungkin saya yang agak lemot dan kurang kreatif kali, jadi lama banget mikirnya.
Dia melanjutkan lagi, "Fotolah impianmu itu, lalu pasang di lemari kamarmu, atau tempat yang sering kamu singgahi di rumah, untuk mengingatkanmu, bahwa kamu harus mengejar mimpimu,"
Saya masih puyeng, apa ya yang menjadi mimpi terbesar saya dan harus dipasang besar di lemari pakaian.
"Kalo aku, kupasang gambar mobil Mercedez Benz seri... (saya lupa)," katanya lagi. "Suatu hari nanti aku pasti meraihnya."
"Tapi kamu keliatan cape ya, cari downline kesana sini," tukas saya mengalihkan pembicaraan tentang mimpi yang bikin saya puyeng. Sebenarnya lebih ke arah prihatin sih, melihat lingkaran matanya yang menghitam, badannya yang kurus, dan juga melihat sibuknya dia setiap ketemu orang selalu menjadi bahan prospek.
"Gapapa, Es. Demi mimpiku, ini semua pasti akan ada imbal baliknya," katanya tetap bersemangat. Setelah itu, "Jika aku cape, aku akan minum ....." mulai deh promosi produk lagi.
Well, semua orang punya caranya masing-masing untuk meraih mimpinya kan. Tapi terkadang, yang merasa mimpinya sudah tercapai atau meyakini sebuah jalan untuk meraih mimpi, memaksakan orang lain untuk menempuh cara yang sama. Bisa jadi saya ga cocok dengan mengejar mimpi ala MLM itu tadi. Inti sebenarnya sama, bahwa kita harus bekerja keras, hanya cara penyampaiannya saja yang berbeda. Sementara saya sibuk mencari mimpi apa yang perlu dipajang besar-besaran, ternyata hati dan otak terus berkembang (meningkat kualitasnya) sejalan dengan asupan gizi yang masuk. Hati kita, meski ga bisa dilihat secara kasat mata, akan membantu menentukan apakah mimpi kita sebenarnya, sesuai dengan makanan yang anda suapkan ke dalamnya.
"Mimpi, adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia,
Berlarilah tanpa lelah, sampai engkau meraihnya..."
Di salah satu episode Oprah Winfrey Show, Will Smith bilang,
"Aku selalu kuatir tentang masa depanku. Jika aku tak bekerja, makan apa aku nanti. Jika kerjaanku berakhir, bagaimana masa tuaku nanti," dan pikiran itu ternyata tetap tak bisa diubah hingga saat ini. Padahal tau sendiri kan siapa Will Smith. Bukankah penghasilannya sebagai actor Hollywood yang super tinggi itu, bisa digunakan untuk modal usaha, bikin franchise, ato bahkan persiapan hari tua. Kata actor ini, mencuplik dari bukunya Kiyosaki, itu semua adalah mindset yang akan melekat sampe setua apapun usia kita.
Ada ratusan hingga ribuan orang yang menghadiri seminar optimalisasi otak kanan, pengembangan diri, percepatan bisnis, dan semacamnya. Namun apakah menjamin, begitu keluar dari ruang seminar, semuanya akan langsung resign dari pekerjaannya sebagai karyawan lalu buka lapak dan memulai usaha? Bukan salah motivatornya jika tak semuanya berhasil. Isi kepala sekaligus mindset tiap orang berbeda bukan?
Saya mengikuti seminar MLM dalam berbagai pose, seminar kepribadian, dan semacamnya selama bertahun-tahun, dengan tujuan menjadi lebih baik. Bahkan seorang teman yang hobinya sama sering mengajak saya ke seminar serupa. Dia bahkan pernah menghadiri seminar di Singapore dengan tiket senilai 12 juta rupiah. Nilai yang cukup besar untuk ukuran kantong anak kuliah, waktu itu.
Dia bilang, "Jika kamu mau dan berusaha, apapun bisa kamu raih,"
Si teman saya itu tadi, sekarang sudah punya bisnis restoran dan sibuk nyambi sebagai PNS. Saya masih diuji dengan berbagai kegagalan memulai usaha, dan sekarang sibuk menjadi ibu dengan dua balita, yang lebih saya prioritaskan saat ini.
Jadi?
Bisa jadi ada sebuah mindset yang letaknya di alam bawah sadar saya, yang membuat saya tak segera melangkah maju seperti para peserta training motivasi lain. Mungkin juga karena saya belum sempat mengikuti seminarnya Cipto Djunaedi yang bisa beli rumah tanpa modal, atau Ippho Santosa, atau tidak mampu bersedekah besar-besaran ala Saptuari dan ustad Yusuf Mansyur. Belum nemu yang pas ato malah terlalu banyak alasan untuk tidak segera bergerak? Well...
Tiap orang butuh siraman rohani, apapun bentuknya. Namanya juga siraman, seperti mandi, ya harus dilakukan secara rutin untuk mendapat hasil yang maksimal. Mandi sekali, lalu beraktivitas, menghasilkan keringat dan kusam karena debu, jadi harus mandi lagi. Beberapa orang tertentu membutuhkan siraman rohani dengan cara membaca dan mendengarkan kalimat yang sejuk dan menenangkan jiwa, ada pula yang membutuhkan dalam bentuk peringatan keras, melihat film, mendengarkan dialog orang lain, dan banyak lagi lainnya. Sekali lagi, itu perkara mindset. Pola spiritual apa yang sekiranya nyambung dengan pola pikir anda.
Jadi mengikuti motivator bukan karena depresi, tapi itu sebuah pilihan penenangan jiwa yang kebetulan tak dipilih oleh orang yang sama. Kita ini makhluk social, yang perkembangan daya pikirnya juga ditentukan oleh interaksi dengan orang laen. Sedikit banyak pola pikir kita akan dipengaruhi oleh dengan siapa kita bergaul.
Semua orang pasti punya cara tersendiri memotivasi dirinya. Ada yang blak-blakan dengan mengikuti status dan tweet tertentu. Tak kurang juga yang tak mengakuinya dengan mengatakan bahwa dia tak membutuhkan motivasi apapun, tapi ternyata selalu menurut dengan apapun yang dinasihatkan orang tua, teman dekat, atau mungkin saudaranya. Tak kurang juga yang menyepelekan para motivator dan menuduh mereka sok tahu soal hidup.
Judge a book by its cover or how?
Kalo buat saya sih, yang penting yang disampaikan itu sesuai dengan kebaikan, bisa dimengerti, dan sesuai dengan apa yang perlu saya jalani. Tidak mau menerima masukan dari orang lain, karena merasa sudah ok, itulah arogansi dan kebebalan yang mesti diperbaiki. Dunia, pengetahuan, dan pola hubungan terus berkembang. Jika kita terus terikat pada pola lama dan say NO to any suggestion, ya lama-lama kita bisa jadi makhluk purba di jaman yang serba canggih ini.
Motivator tak selalu yang bernama besar dan sudah dikenal banyak orang kan. Kebetulan mereka menyandang predikat itu, karena kerjaan mereka menyemangati orang. Banyak juga kan penyemangat dalam bentuk lain, sayangnya mereka tak ikut menyandang profesi sebagai motivator.
Bagaimana dengan anda? J