Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Coboy Junior

18 September 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18 772 0
"Engkau bidadari turun dari surga

Lalu jatuh tepat di hadapanku..."

Lagunya Coboy Junior yang sedang hits, dinyanyikan secara live di acara Dahsyat Sabtu pagi lalu. Dengan gaya ala boyband yang .... (mohon diisi sendiri), empat cowok belia itu menyanyikan sebuah lagu yang menceritakan tentang rayuannya kepada lawan jenis. Para massa bayaran yang banyak di antaranya adalah ABG, juga dengan fasih mengikuti setiap lantunan syair lagu yang terucap. Hafal di luar kepala,  sekaligus dengan ekspresi fasih bak penyanyi latar.

Sementara itu, anak saya yang masih balita, dengan lugunya ikut menari-nari. Lumrah, lha wong dia juga masih belajar mengasah panca inderanya dari mengenal lingkungan sekitar.

Tapi saya yang miris...

Sekitar tahun 1985-1990an, lagu anak-anak masih sangat anak-anak. Isinya benar-benar sesuai dengan dunia anak-anak. Memang hal yang remeh temeh, tapi selalu ada maksud untuk belajar dengan cara fun. Masih ingat tidak, dengan lagu seperti  Abang Tukang Bakso dan Semut Kecil dari Melissa, Nyamuk-nyamuk Nakal dari Eno Lerian, Si Lumba-lumba dari Bondan Prakoso, Jangan pipis sembarangan dari Leony Lucky Bing Slamet, Kuku Kuku dari Chikita Meidy, hingga obsesi Pangeran Dangdut dari Abiem Ngesti dan ajakan Aku Cinta Rupiah dari Cindy Cenora. Lagu Cinta Rupiah inilah yang tampaknya menjadi lagu pamungkas bersinarnya era lagu anak-anak yang sebenarnya.

Gerakan cinta rupiah itu dilagukan sehubungan dengan mulai terjunnya nilai rupiah terhadap dollar, sejalan dengan berawalnya krisis ekonomi di Asia.

Dan selanjutnya, mulai sibuklah Negara kita ini dengan yang namanya demo di mana-mana menuntut turunnya pemerintahan Orde Baru, hingga beberapa tahun masih aja sibuk demo ini dan itu. Ketika acara demo sudah menjatuhkan banyak korban dan mulai reda, pemerintahan agak stabil, dan trend berubah lagi, tentang skandal dan korupsi. Entah kapan akan berakhir.

Okey, kembali kepada lagu anak-anak yang mati suri. Bangkit sih, tapi bukan dalam rangka mengajarkan nilai anak-anak seharusnya. Seperti juga perfilman Indonesia yang pernah mati suri dan pelan-pelan bangkit lagi. Dan pertanyaannya adalah, kenapa film Indonesia bisa bangkit (meski tetap harus melewati masa membuat film berbau horror dan erotis), sedangkan lagu anak tidak?

Jawaban yang paling gampang adalah, menjadi anak itu tidak selamanya, meskipun ada ratusan atau bahkan ribuan bayi lahir setiap harinya.

Bondan Prakoso pun sudah pernah membuat band Funky Kopral, lalu sekarang eksis dengan Fade 2 Black, Enno Lerian juga sibuk dengan sinetronnya, Tina Toon si kepala putar yang chubby sekarang sudah seksi dan bikin girlband seksi pula, Puput Melati pun dengan kesibukannya sendiri sebagai ibu dari dua anak, Joshua pun sibuk menapaki karirnya kembali setelah bukan lagi penyanyi "Diobok-obok". Entah kemana itu Chikita Meidy, Maissy, Leony, Dea Sam Bimbo, Bayu Bersaudara, dan lainnya.

Dan mereka pun tidak bertanggung jawab atas mati surinya lagu anak-anak, yang akhirnya ikut-ikutan mengkonsumsi lagu dewasa. Hasilnya, anak-anak sekarang jadi  dewasa sebelum masanya. Itu masih dperburuk lagi dengan sinetron anak yang menampilkan karakter orang dewasa dalam tubuh seorang anak kecil.

Jadi salah siapa?

Sekitar lima tahun lalu, lagu dengan tema selingkuh juga lagi in di pasaran. Ada Matta, Ungu, Kangen, dan lain-lain ikut mengusungnya sebagai salah satu lagu di album mereka. Lagi-lagi, anak-anak pun ikut menyanyikannya dimana-mana.

Miris..

Ingat masa saya SD dulu, jangankan soal selingkuh, bicara soal pacaran saja rasanya muka panas seperti kepiting rebus. Bahkan saya baru tahu apa itu arti selingkuh dan menyeleweng, ketika mendekati masa lulus SMU. Entah culun atau apa, tapi saya tetap bangga mengakuinya.

Berarti saya melewatkan masa kecil saya sesuai dengan masanya, tanpa kebanyakan racun seperti anak-anak jaman sekarang.

Apakah ini menjadi kesalahan pemerintah? Bisa jadi. Mereka terlalu sibuk dengan skandal internal, sehingga melupakan tanggung jawab moralnya sebagai pemimpin dan wakil rakyat, yang seharusnya memberikan teladan yang baik.

Namun menyalahkan saja tak akan menyelesaikan masalah.

Kritik tanpa menyampaikan solusi, adalah seperti tong kosong nyaring bunyinya.

Saya mungkin tak bisa menciptakan lagu anak. Namun sebagai ibu, semua pasti berusaha untuk memperdengarkan suara dan lagu yang pantas dikonsumsi oleh telinga para balitanya. Itu berarti melawan arus kenyamanan yang telah dibentuk oleh media yang tak mau repot dengan tujuan pendidikan dasar dan pembentukan manusia yang lebih berkualitas secara spiritual.

Apa yang saya usahakan sekarang mungkin masih terbilang sangaat mudah, karena saya belum menghadapi pertanyaan kritis dari anak-anak ketika usia mereka bertambah. Menjelang usia mereka bertambah, sejalan dengan pengaruh lingkungan dan pergaulan, yang tak kesemuanya bisa saya awasi selama 24 jam penuh.

Lalu apa solusinya?

Sementara cukup sekian dulu. Saya sambung di tulisan berikutnya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun