Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Anak Siappudan (Anak Bungsu)

26 Januari 2022   15:18 Diperbarui: 26 Januari 2022   15:24 537 1
ANAK SIAPPUDAN

Di usianya yang hampir berkalang tanah, tak banyak yang Mak inginkan. Cukuplah tubuhnya yang sudah renta tak dirundung sakit yang merepotkan anak dan menantu. Tak jarang Mak menyelipkan Doa agar jangan bersakit-sakitan sehingga harus menjadi beban untuk anak-anaknya.

Ya, alangkah perih hati Mak bila membayangkan Oppung Sunggul kawan sepermainannya, begitu menderita di usia tuanya. Setidaknya begitulah yang Mak pikirkan. Bagaimana tidak, Oppung Sunggul tak kuat lagi berdiri dan harus dipapah kemana-mana. Bahkan membuang hajat yang bagi Mak sangat memalukan itu, harus rela dilakoni anak Oppung Sunggul. Bukan pasal-pasal, menantunya si Butet pula sering membentak-bentak kalau Oppung Sunggul "terkincit" di celana. Alamat berpuluh-puluh hujaman di hati Opung Sunggul sambil membiarkan matanya basah bertalu-talu. Baginya sakit yang paling sakit adalah ketika anak atau mantunya berteriak kasar kepadanya.

Karena itu Mak seolah mendoakan matinya disegerakan dan meminta anaknya mendoakan yang sama pula.

"Apalah Mak ini, mana ada anak yang mau mendoakan orang tuanya cepat mati? jawab Rosida putri tertuanya pagi tadi sambil menyuapi Mak.

"Mak jangan khawatir, selama Mak masih ada Rosida siap menjaga Mak." tambahnya meyakinkan Mak.

Tak ada jawaban Mak. Hanya matanya yang berkata kalau dia tidak sepenuhnya yakin dengan ucapan Rosida. Pun begitu Mak mengangguk sembari tersenyum.

Rosida, putri sulungnya itu tinggal tak berapa jauh dari rumah Mak. Bersyukur Rosida berkawin dengan anak kampung sebelah. Mertuanya laki dan perempuan pun sudah tiada.  Sehingga Rosida bisa  datang mengantar makanan Mak tiga kali sehari.

Sesungguhnya sudah berkali-kali Rosida meminta Mak untuk tinggal bersamanya. Alasan Mak selalu sama. Tak enak sama menantu. Apalagi menantunya seorang PNS. Rosida tak diizinkan bekerja hanya mengurus anak dan tak memiliki sebarang penghasilan, makin tak enak hati Mak. Mak seperti merasa menumpang hidup dengan menantu. Padahal kata Rosida tak sekalipun suaminya itu keberatan bila Mak tinggal dengan mereka. Mak juga tau itu, sebab  Victor, suami Rosida itu pun pernah meminta sendiri kepada Mak.  

Tapi lagi-lagi Mak menolak. Takut jadi beban katanya.

Begitulah Mak hatinya lebih senang duduk di rumahnya sendiri. Kendati tak banyak yang Mak lakukan sehari-hari. Paling Mak ke ladang di samping rumahnya mencari daun ubi untuk  digulai. Kalau bosan tiba-tiba datang, Mak duduk di bale-bale depan rumahnya. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang tak jarang membuat Mak terpejam.

Punggungnya tersadai di tiang bale-bale yang terbuat dari "alpik". Bentuknya yang datar dan lebar membuat punggungnya terasa nyaman bersandar disana. Lagipula lebih leluasa baginya untuk  memandang ke arah jalan. Kalau-kalau anak "siappudannya" tiba-tiba datang, Mak bisa cepat-cepat menyambutnya. Seolah-olah Mak sudah lupa kalau penantiannya belum terjawab selama 10 tahun.  Atau mungkin Mak pura-pura lupa.

Entah itulah yang membuat doa Mak belum terkabul. Doa agar matinya disegerakan. Sebab  kerinduan dibalik hatinya kepada anak "siappudan" yang belum terpenuhi.

"Kala nanti aku mati, jangan kalian kuburkan aku sebelum si Holong pulang." kata Mak tempo hari.

Rosida yang mendengar itu hanya mengangguk, karena memang tidak tahu harus berkata apa pada Mak. Sebab sejak kepergian adik satu-satunya itu merantau ke Malaysia, belum sekalipun dia pulang atau sekadar memberi kabar. Bahkan teman sekampung yang juga merantau di negeri yang sama, tak ada yang pernah tahu keberadaan Holong.

Sore itu, diantara mata Mak yang hampir terlelap, angin bertiup seperti tak biasa. Punggungnya yang biasa bertumpu diantara "alpik", seperti tak kuat lagi menahan beban tubuhnya sampai-sampai Mak terbaring.

Ai damang do sijujung baringin
(Kaulah anak ku yang menjunjung kehormatan)
di au Inongmon
(Bagiku, Ibumu)
Jala hodo silehon dalan
(Kau pula yang menjadi panutan)
di anggi ibotomi
(Untuk saudara-saudaramu)

Lagu itu tiba-tiba terdengar sangat memilukan hati Mak bersama mulutnya yang komat-kamit.

"Holong ! Holong ! Anakku"

Marindal, 21 Januari 2022

Alpik : bekas potongan kayu yang tidak digunakan lagi, biasanya sisa dari pembuatan papan.

Siappudan : anak bungsu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun