Jika kita perhatikan sepanjang tahun, bulan Ramadhan adalah satu-satunya bulan dimana kita makan lebih enak. Satu-satunya bulan dimana kita minum lebih enak. Satu-satunya bulan dimana kita makan lebih banyak. Satu-satunya bulan dimana kita belanja lebih konsumtif. Lalu dimana letak menahan hawa nafsunya? Ya di ritual siang harinya itu. Overall, ini bukanlah bulan dimana kita menahan hawa nafsu. Tapi hanya mengerem di siang hari, dan mengumbarnya di malam hari.
Hingga kita akhirnya merayakan hari kemenangan. Menang terhadap apa jika hawa nafsu lebih diumbar di sore hari di bulan Ramadhan dibanding bulan lainnya? Menang terhadap apa jika kita lebih konsumtif di bulan Ramadhan dibanding bulan lainnya?
Hingga akhirnya saya berkesimpulan, puasa seperti ini tidak menyentuh tujuan menahan hawa nafsu. Akhirnya saya meninggalkan puasa.
Saya memulai puasa saya sendiri. Dimana saya mengupayakan agar tidak diketahui orang jika sedang puasa. Ini penting untuk menghindari dosa kesombongan: agar orang menghormati saya yang sedang berpuasa.
Saya makan satu kali sehari, saat lepas magrib. Jika saya harus menghadiri lunch meeting, saya ikut makan siang, lalu melanjutkan puasa saya hingga keesokan magribnya. Demikian seterusnya selama 40 hari. Kadang satu kali setahun, kadang dua kali setahun. Sepanjang kurun waktu berpuasa, jam doa saya tambah. Bagi saya, inti puasa bukan terletak pada timer buka tutup puasa. Namun pada menahan hawa nafsunya.
Bagaimanapun, saya menghormati cara berpuasa yang dijalankan setiap orang. Selamat menjalankan ibadah puasa. Kiranya kemampuan menahan hawa nafsu kita di bulan Ramadhan diteruskan sepanjang tahun.
- Esther Wijayanti -