Kita sering mendengar tentang imigran gelap yang ditangkap di Indonesia. Mayoritas imigran gelap yang ada di berbagai Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) terbanyak adalah asal Afghanistan, kemudian asal Iran. Mereka ditangkap memasuki wilayah Indonesia menuju Australia untuk meminta suaka. Tekanan hidup di negaranya karena situasi politik membuat mereka memilih pergi dari negaranya dan meminta suaka untuk menetap dan bekerja di Australia dan New Zealand. Mengapa mereka disebut imigran gelap? Karena mereka tidak memiliki dokumen perjalanan, seperti paspor dan/atau visa. Sebaran imigran gelap di rudenim adalah di seluruh Indonesia, terutama daerah yang dekat pantai dan perbatasan. Artinya, mereka memasuki wilayah Indonesia dari berbagai penjuru, dan ditangkap oleh pihak imigrasi. Bagaimana mereka bisa memasuki Indonesia tanpa dokumen? Seperti anda ketahui, bahwa jika anda bepergian ke luar negeri, anda memerlukan paspor dan visa. Namun para imigran ini memang melarikan diri dari negaranya. Umumnya mereka tidak melalui gerbang international, seperti bandara, karena ada gate-gate imigrasi yang memeriksa dokumen. Jadi mereka keluar dari negaranya melalui jalur yang memungkinkan untuk dilalui tanpa melewati imigrasi. Seperti laut. Karena ini tidak legal, mereka juga tidak menggunakan kapal penumpang yang legal. Seperti kapal sewaan. Bayangkan. Imigran naik kendaraan dan kapal sewaan dari negaranya menuju Australia. Umumnya, imigran tidak pergi sendiri, tapi membawa istri dan anak. Karena tujuan mereka adalah mencari kerja, imigran pada umumnya adalah usia muda. Bayangkan lagi. Bayangkan. Pria, wanita dan anak-anak berada di kapal sewaan, dari negaranya menuju Australia melalui perairan Indonesia. Berapa lama mereka berada di atas kapal? Pic by antaranews.com Pic by Matanews.com Pic by Tribunnews.com Pic by antarafoto.com Pic by lensaindonesia.com Apa yang terjadi setelah mereka ditangkap Imigrasi? Mereka ditempatkan di rudenim. Semacam tahanan untuk imigran. Secara prosedural mereka seharusnya dideportasi kembali ke negaranya. Diperkirakan ada sekitar 3000 imigran gelap yang saat ini berada di Rudenim. Namun pada umumnya mereka tidak mau kembali ke negaranya, karena inginnya ke Australia. Disamping itu, warga Afghanistan yang lari dari negaranya untuk meminta suaka ke negara sekutu Amerika, hukumannya adalah mati. Paling tidak, Taliban yang akan menghukum mati mereka. Terlalu banyak kasus hukuman mati yang keji yang dilakukan oleh taliban. Menurut pengakuan para imigran ini, mereka tidak hanya dipancung, namun ada yang ditusuk duburnya dengan kayu sampai mati. Jadi, dalam hal ini imigrasi bagaikan memegang buah simalakama. Mendeportasi mereka, berarti membiarkan mereka terbunuh. Satu-satunya jalan adalah memaksa mereka melakukan proses kelengkapan dokumen agar dapat keluar dari wilayah Indonesia menuju Australia secara legal, melalui Bandara Soekarno Hatta. Sulitkah melengkapi dokumen? Sulit. Banyak prosedur yang harus dijalankan. Sementara itu mereka, pria wanita dan anak-anak masih menunggu di tahanan. Jika ada penjamin dari UNHCR, mereka bisa keluar dari tahanan sambil menunggu dokumen resmi selesai. Orang-orang inilah yang kita lihat berkeliaran di wilayah Indonesia, termasuk yang melakukan kawin kontrak di wilayah Puncak itu. Untuk menyelesaikan dokumen tersebut, memerlukan waktu berbulan-bulan, kadang bisa satu tahun lebih. Bayangkan, anak-anak yang berada di tahanan selama satu tahun menunggu dokumen mereka selesai. Biasanya psikologis mereka sudah mulai terganggu. Yang dahulu ceria, sekarang tidak bisa ceria lagi. Bersama teman-teman, kadang saya turut membantu mereka. Melakukan proses yang diperlukan agar mereka bisa keluar dari tahanan. Menyediakan rumah singgah legal bagi mereka. Serta menyediakan makanan seadanya. Namun dalam menolong orang-orang ini, kami harus berhati-hati serta berkordinasi dengan instansi-instansi terkait. Rumah singgah hanya boleh ditempati oleh imigran yang sudah mendapat surat bebas dari imigrasi. Orang-orang ini pun masih rentan disusupi atau merupakan pelaku tindakan melawan hukum, seperti terorisme, penyelundupan narkoba, hingga kawin kontrak. Karena proses imigrasi memakan waktu berbulan-bulan, maka tidak jarang ada yang melarikan diri, menyewa kapal nelayan menuju Australia. Ini yang bahaya, karena tidak jarang terjadi mereka tertangkap lagi, atau malah kapal menabrak karang sehingga penumpang tewas, seperti yang terjadi Desember 2010. 50 imigran yang sudah keluar tahanan, kabur dan mayoritas tewas di dekat Pulau Christmas. Kalau sudah begini, kita semua bisa terkena masalah hukum. Pic by wartanews.com Pemerintah seharusnya memberlakukan ketentuan-ketentuan lebih lunak, agar orang-orang yang mau menolong atas dasar kemanusiaan dapat terlindungi payung hukum. Memang banyak cibiran dari masyarakat sekitar, masih banyak orang Indonesia yang susah, kok menolong orang Afghanistan. Jalan Tuhan memang demikian. Kadang kita ingin menolong seseorang, tapi tidak memiliki akses untuk menolong. Seperti korban merapi, kami tidak memiliki akses untuk menolong, belum lagi sudah banyak organisasi yang mengirim bantuan. Belum lagi kita harus berhadapan dengan sweeping pihak-pihak yang memilah agama yang menolong dan agama yang ditolong. Lalu jika ada yang datang minta tolong, bisakah kita abaikan? Jika di hadapan anda ada anak berusia 4 tahun, setelah menempuh perjalanan laut dari negaranya dan ditangkap di perairan Indonesia, lalu mendekam 10 bulan di penjara, bisakah anda tidak tergerak untuk tidak menolong anak itu beserta keluarganya? Sejauh ini, sepanjang pengetahuan saya, baru orang-orang kafir yang bahu membahu menolong mereka dan masih aman-aman saja, belum ada sweeping dari organisasi agama lain agar kami berhenti membantu. Selamet… selamet… -
Esther Wijayanti -
KEMBALI KE ARTIKEL