Seorang pejabat , terikat oleh sumpah jabatan dan undang-undang untuk tidak menerima 'hadiah' dari siapapun dalam batasan tertentu. Tapi apa boleh buat, meskipun sang Nyonya seorang sederhana dan tidak pernah mengharap lebih kepada suaminya yang kebetulan seorang pejabat, tetapi gaya hidup hedonis yang dianutnya (yang konon untuk menjalin relasi atau promosi) memerlukan suplai 'amunisi' tambahan. Tak cukup kalau mengandalkan gaji. "Masak iya pejabat teras di dinas atau di kementerian kok pakai sepatu seratus ribu," demikian kira-kira bisikan sang pamong bertanduk dua.
Seorang kaya memberi 'hadiah' kepada tetangganya yang serba kekurangan, menyisihkan sebagian hartanya untuk para yatim yang berada di sudut-sudut panti asuhan, membelanjakan hartanya sebagian atau bahkan seluruhnya untuk perjuangan sosial secara bergerilya tanpa mengharap pamrih apapun dari kegiatannya tersebut. Ia hanya mengharap ridho dari ilahi, ia hanya berusaha menghindari 'birokrasi yang rumit'Â di akherat kelak karena terlalu banyak harta. Akan tetapi, dunia justru selalu menghampirinya. Kemudian ia akan berusaha lagi untuk mendistribusikannya secara 'benar' dan 'nalar'.
Seorang beriman yang menurut pandangan orang selalu kekurangan, menerima hadiah dari sang dermawan kaya. Tetapi rupanya orang beriman tersebut sudah merasa selalu berkecukupan karena selalu mensyukuri apa yang sudah diberikan Tuhan kepada dirinya dan keluarganya. Meskipun harus nunggak kalau membayar uang bulanan putra-putrinya. Meskipun makan cukup dengan garam, itupun hanya satu kali sehari. Maka ia menyalurkan kembali sedekah dari sang dermawan kaya. Selalu begitu tanpa ada yang tahu.
Memang benar bahwa: Tak berkurang yang kita miliki hanya karena memberi. Tetapi ada dua pilihan beserta konsekuensinya. Silahkan pilih yang mana.
Memang benar bahwa: Menerima hadiah sangatlah indah. Tetapi ada dua pilihan beserta konsekuensinya juga. Lagi-lagi, silahkan pilih sendiri yang anda suka.