Baklah, saya akan meneruskan tulisan ini dengan logika penegakan hukum 'super ngawur'.
Mbah Minah yang terbukti bersalah mencuri 3 buah kakao, dinyatakan bersalah dan dihukum 1.5 bulan. Pemilik kakao yang hanya '3 biji' itu adalah sebuah perusahaan besar dan tentunya sangat kaya (paling tidak dibandingkan dengan mbah Minah). Penegak hukum sangat antusias memproses kasus ini sehingga mbah Minah harus divonis 1.5 bulan penjara. Pemilik Kakao tentunya sangat senang, karena akan menjadi pelajaran bagi masyarakat sekitarnya agar tak mencuri kakao miliknya. Tetapi kenapa harus mbah Minah? Padahal barangkali, pencuri yang sebenarnya sedang minum kopi bersama 'oknum' penegak hukum yang 'mengkandangkan' mbah Minah.
Kalau konsisten menggunakan logika 'super ngawur', harusnya pemilik kebun kakao yang bersalah, yang harus membayar ganti rugi kepada mbah Minah dan masyarakat sekitar kebun. Kok? Memang kok; masyarakat menjadi terbatas ruang geraknya setelah ada kebun kakao tersebut, kalau tidak ada kebun kakao disana, pastilah mbah Minah tidak akan mencuri buah kakao itu. Nah....
Lalu, lihatlah Anggodo dan para oknum polisi yang masih adigang-adigung-adiguna, yang masih kemaki, yang masih semprul, petentang-petenteng di rumah kita. Mereka itu bukan siapa-siapa tetapi kemaki. Mereka itu maling tapi mengaku sebagai penyelamat negara, mereka itu tikus yang mengaku sebagai kucing Anggoro (eh, Anggora maksundnya).
Mbah Minah dan Anggodo dan Anggoro dan oknum pulisi barangkali memiliki kesamaan; sama-sama maling. Tetapi, mbah Minah terpaksa maling karena membutuhkan, sedang Anggodo dan Anggoro dan oknum polisi maling karena rakus. Mereka maling paling menjijikkan di seluruh jagad raya ini. Mbah Minah mengakui dengan ksatria, sementara Anggodo dan Anggoro dan oknum pulisi bermental pengecut, berkelit; sehingga memutarbalikkan keadaan dan membuat negara menjadi runyam.
Lalu, siapakah yang lebih layak dihukum penjara? Atau barangkali hakim dan jaksa yang menangani mbah Minah disuruh jadi jaksa agung saja?