Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jakarta Sungguh Mempesona Bro, Termasuk Pilkadanya!

13 Juli 2012   15:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:59 728 4
Pilkada DKI yang telah berlangsung  menyisakan cerita menarik untuk dibahas, tak terkecuali bagi mereka yang tinggal di luar Daerah Khusus Ibukota Jakarta alias mereka yang tidak mempunyai hak untuk memilih. Hingga saat ini berbagai media baik cetak maupun elektronik, offline maupun online masih ramai memperbincangkan pilkada yang diikuti oleh 6 pasang calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Kenapa seluruh warga Indonesia ikut-ikutan membicarakan pilkada DKI Jakarta walaupun mereka bukan warga DKI dan tidak mempunyai hak untuk ikut menentukan masa depan Jakarta lewat pencoblosan di TPS?

Karena menurut saya Jakarta itu memiliki magnet yang begitu kuat bahkan pilkada DKI menurut saya merupakan pilkada yang paling menarik untuk diikuti dan dibahas di bandingkan pilkada didaerah lain di Indonesia walaupun memang sangat disayangkan ada banyak warga DKI yang justru memanfaatkan momen pencoblosan untuk liburan dadakan alias lebih memilih Golput (termasuk salah satu petinggi partai politik yang mengusung calon Gubernur dan wakil Gubernur).

Pilkada DKI seolah-olah bukan hanya merupakan pesta rakyat warga Jakarta namun merupakan pesta seluruh rakyat Indonesia. Hampir semua suku, agama, etnis yang ada di Indonesia ada di Jakarta dan hal inilah yang membuat pilkada DKI berbeda dengan pilkada di daerah lain di Indonesia.

Bukan hanya orang laur Jakarta yang tertarik membahas pilkada DKI, yang tidak tinggal di Jakarta pun ingin jadi gubernur Jakarta. Ada beberapa hal menarik yang menurut saya menarik untuk dibicarakan mengenai pilkada DKI yang hampir bisa dipastikan berlangsung dua putaran, diantaranya:

1. Hampir semua lembaga survey tidak ada yang benar. Sebelum pilkada berlangsung hampir semua lembaga survey menjagokan sikumis/incumbent akan memenangkan dengan mudah pilkada DKI dengan satu putaran. Padahal kalau dipikir-pikir bukan hal yang mudah mencapai hal tersebut karena untuk memenangkan Pilkada dengan satu putaran pasangan calon Gubernur harus memperoleh suara lebih dari 50% (walaupun sekarang peraturan tersebut mendapat pertentangan dari beberapa orang/judicial review ke MK, karena Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada yang mengatur penetapan dua putaran hanya dilakukan jika tidak ada calon yang memperoleh 30 persen plus satu).

Berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan, dipastikan pasangan yang ngetrend dengan kemeja kotak-kotak unggul jauh dari pasangan yang diusung oleh partai penguasa, berbanding terbalik dengan survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey termasuk lembaga survey yang sangat terkenal di Indonesia yakni LSI. Tak heran hal ini justru menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat terhadap kredibilitas lembaga survey yang ada di Indonesia. Masikah kita bisa mempercayai data yang di publikasi oleh lembaga survey?

2. Figur lebih penting di bandingkan partai pengusung? Melihat hasil sementara pilkada DKI figur yang menjual kini lebih diutamakan oleh para pemilih dibandingkan mesin partai pendukung pasangan calon gubernur. Sosok Jokowi yang di masuk nominasi sebagai salah satu calon Walikota terbaik di Dunia dan bukan merupakan warga DKI justru mampu mengalahkan (sementara karena belum ada hasil resmi) sosok bang Foke yang justru merupakan incumbent/penguasa sementara dan juga merupakan warga betawi.

Yang lebih tragis justru dialami oleh partai yang identik dengan warna kuning karena pasangan calon yang diusungnya hanya mampu finish diurutan ke lima. Program yang disampaikan saat kampanye yakni mengatasi masalah kritis Jakarta dalam waktu 3 tahun yakni banjir, macet, kesehatan dan pendidikan gratis justru tidak berhasil memikat warga DKI. Blunder partai Golkar semakin bertambah karena justru pasangan Jokowi yakni Ahok justru merupakan kader dari partai Golkar

3. Dua jempol buat Alex Noerdin. Walaupun kalah telak dari baju kotak-kotak namun saya salut dengan pernyataan beliau ketika diwancara oleh sebuah stasiun televisi "Kalah ya kalah, tidak usah mencari alasan untuk kekalahan yang diderita". Sebuah kalimat yang sudah sangat jarang kita dengar ketika pilkada berlangsung. Bukan hal yang mudah untuk menerima sebuah kekalahan apalagi bagi mereka yang baru pertama kali merasakan kekalahan dalam pilkada seperti yang dirasakan oleh Alex Noerdin. Selama pemilu kada berlangsung, saya baru kali ini mendengar ada calon yang kalah dan langsung berujar demikian (biasanya sih cari-cari alasan bahkan main lapor hingga ke MK).

Semoga saja masih ada calon-calon pemimpin bangsa yang mempunyai jiwa besar seperti Alex Noerdin. Sekali lagi saya salut atas sikap beliau tersebut, 2 jempol bro

4. DKI Jakarta sungguh istimewa. Ya, Daerah Khusus Ibukota Jakarta memang sangat istimewa termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Seperti yang saya sebutkan pada point pertama, jika daerah lain menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada, Pilkada DKI Jakarta justru mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Ada apa dengan sistem perundang-undangan di negara kita ini? Kenapa undang-undang mengenai pilkada mengenai calon pemenang berbeda antara DKI Jakarta dengan daerah lain?

Selain masalah undang-undangan, keistimewaan lain yakni di Jakarta sang Gubernur yang masa tugasnya belum berakhir masih memegang kendali bahkan saat pilkada berlangsung. Bukankah hal ini justru menguntungkan sang incumbent? Didaerah saya Sulawesi Utara, pada saat pilkada berlangsung sang kepala daerah sudah terlebih dahulu melepaskan jabatannya sehingga sudah tidak lagi memegang kekuasaan saat pilkada berlangsung sehingga "pertarungan" bisa terlihat lebih fair. Tapi di Jakarta ternyata lain lagi. Atau mungkin hanya di Sulawesi Utara saja yang berbeda?

5. Dana kampanye bukan lagi hal yang paling urgent dalam pilkada. Kemenangan Jokowi-Ahok pada pilkada kali ini seolah-olah menegaskan kepada para calon kepala daerah bahwa dana kampanye yang berlimpah bukanlah hal yang paling dibutuhkan untuk memikat hati konstituen. Iklan yang lalu lalang di stasiun televisi, selebaran dan poster yang bertebaran dimana-mana sudah tidak mujarab untuk memikat hati para pemilih. Hal ini sudah mulai harus dipikirkan oleh para partai politik maupun calon peserta pilkada.

Turun lansung ke masyarakat (bukannya masyarakat yang hadir ke kampanye sang calon pemimpin), duduk bersama, bercerita bersama, makan bersama dengan masyarakat merupakan salah satu resep mujarab yang diterapkan oleh pasangan dengan baju kotak-kotak untuk memikat hati para pemilih. Namun bukan hal yang mudah melakukan hal tersebut, apalagi bagi para calon pemimpin yang tidak terbiasa melakukan hal tersebut alias lebih senang ngopi di hotel berbintang, lebih senang duduk diatas panggung dan masyarakat di kursi di bawah panggung.

Akhir cerita, inilah kemenangan rakyat DKI Jakarta karena pemilukada boleh berlangsung dengan aman meskipun ada banyak hal yang perlu dibenahi termasuk masalah DPT dan Golput yang cukup besar. Tidak ada bentrokan yang terjadi di masyarakat menjadi nilai plus Pilkada DKI Jakarta. Semoga point plus ini bisa diikuti oleh daerah lainnya yang akan menyelenggarakan pilkada

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun