Berbicara mengenai kerangka dasar keilmuan, para ilmuwan seperti tidak pernah kehabisan akal dalam membentuk konsep-konsep mendasar dan metode-metode demi tegaknya sebuah teori kebenaran dan validalitas sebuah ilmu. Keseluruhn proses keilmuwan ini terikat dalam satu keadaan logis, dan suatu hubungan logis akan selalu mengalami perkembangan dan perubahan.  Dalam proses keilmuan, kita mengenal paradigma sebagai bagian penting dalam memberikan kerangka, mengarahkan bahkan menguji konsistensi proses keilmuan.  Paradigma disini menjadi sebuah tonggak dalam membentuk cara pandang terhadap ilmu dan menjadi sebuah kerangka logis dari teori tersebut.
  Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan sebuah ilmu atau teori. Paradigma tersebut antara lain : Positivisme, Postpositivisme, Kontruktivisme, dan kritik teori.  Keempat teori ini dapat dibedakan dalam cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu yang ditinjau dari tiga aspek pertanyaan : ontologis, epistemologis dan metodologis.
  Berawal dari keempat bentuk paradigma tersebut, para ilmuwan ternama memiliki beberapa bentuk kerangka dasar teori keilmuwan. Mereka saling tumpang-tindih, kritik-menkritiki antara satu konsep dan konsep ilmuwan lainnya. Beberapa dari ilmuwan tersebut antara lain, Francis Bacon, John Stuart Mill, Karl Popper dan Thomas Kuhn. Dalam makalah singkat kali ini pemakalah akan mengkaji beberapa bentuk kerangka dasar keilmuwan milik Karl Popper seperti konsep falsifikasinya dan demarkasi ilmunya. Kemudian berlanjut kepada pembahasan paradigma Thomas Kuhn dalam mengamati kerangka dasar teori ilmu tersebut. Apakah yang dimaksud konsep falsifikasi tersebut dan apakah yang mempengaruhi Popper hinga ia mencetuskan konsep falsifikasi tersebut? Dan bagaimana paradigma Thomas Kuhn dalam  hal ini? sebelum memulai pembahasan beberapa konsep diatas terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai dua tokoh yang menjadi fokus pembahasan kali ini.
Biografi Karl Popper
  Sebelum masuk kepada bentuk pemikiran Karl Popper, pemakalah akan mencantumkan beberapa biografi milik Karl Popper. Ia adalah salah satu tokoh filsuf yang memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper, ia lahir di Wina pada tahun 1902. Ketika ia berumur 17 tahun, ia sempat memiliki arah pandang pemikiran yang menganut komunisme. Tetapi kemudian dia meninggalkannya karena kebanyakan dari pengikutnya menerima dogma-dogma yang tidak kritis. Â
  Karl Popper (1902-1994) adalah salah satu filsuf sains paling berpengaruh di abad ke-20. Dia membuat kontribusi signifikan untuk debat mengenai metodologi ilmiah umum dan pilihan teori, demarkasi sains dari non-sains, sifat probabilitas dan mekanika kuantum, dan metodologi ilmu-ilmu sosial. Karyanya terkenal karena pengaruhnya yang luas baik dalam filsafat sains, dalam sains itu sendiri, dan dalam konteks sosial yang lebih luas. Â
  Popper memiliki beberapa pokok pemikiran yang diklasifikasikan oleh beberapa penulis dalam tiga tema pokok, yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi dan persoalan dunia ketiga.  Sebelum memiliki ketiga pandangan ini Popper mendapat banyak pengalaman karena hidup dekat dengan organisasi Lingkaran Wina, namun dalam hal ini Popper tidak menerima arah pemikiran Lingkaran Wina. Dari penolakan inilah timbul sebuah paham dalam kerangka keilmuan milik Popper yang dikenal dengan falsifikasi.
Biografi Thomas Kuhn
  Kemudian Thomas Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio Amerika Serikat. Pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di Harvard University. Kemudian ia mendapatkan gelar guru besar dari Princenton University dalam bidang filsafat dan sains. Yang kemudian diikuti dengan gelar guru besar keduanya dari Massachusetts Institute of University.  Secara umum Kuhn banyak mendasari pandangannya tentang ilmu berdasarkan pandangan model politiknya. Ia terkenal dengan sebuah karya yang cukup monumental yaitu The Structure of Scientific Revolutions pada tahun 1962 oleh University of Chicago Press. Thomas Samuel Kuhn, meskipun dilatih sebagai fisikawan di Universitas Harvard, menjadi sejarawan dan filsuf ilmu pengetahuan melalui dukungan presiden Harvard, James Conant. Pada tahun 1962, Struktur Revolusi Ilmiah (Struktur) Kuhn yang terkenal membantu meresmikan revolusi --- revolusi historiografi 1960-an --- dengan memberikan citra baru ilmu pengetahuan. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah melibatkan perubahan paradigma yang menandai periode stasis atau sains normal. Namun, menjelang akhir kariernya, Kuhn mengalami perubahan paradigma sendiri --- dari filsafat historis sains ke filsafat evolusioner.
Falsifikasi dan Karl Popper
  Jika kita mengkaji tentang Popper, maka kita tidak bisa melepaskan pembahasan mengenai positivisme dan neo-positivisme. Secara khusus, Popper menkritik pandangan neopositivisme (Vienna Circle), yang menerapkan pemberlakuan hukum umum.  Neopositivisme sendiri adalah salah satu bentuk dalam aliran filsafat yang baru abad ke-20, menurut aliran ini pengethuan tentang suatu hal yang nyata hanya dalam rangka pemikiran ilmiah yang kongkrit, mereka menganggap bahwa filsafat hanya berbicara dalam ranah bahasa dan analisis kebahasaan.
  Kemudian pada pendapat Popper lainnya, ia menolak konsep generalisasi milik John S. Mill dan Francis Bacon. Menurutnya sebuah teori tidak bersifat ilmiah hanya karena dibuktikan kebenarannya, namun ia berpendapat bahwa teori itu dianggap ilmiah jika ia diuji dari bentuk-bentuk yang dapat menyangkalnya.  Dalam hal ini Popper menekankan konsep yang berbeda yaitu mengambil cara untuk menguji sebuah teori berbeda dari yang biasanya, yaitu dengan segala unsur objektif yang dapat menyangkal ilmu tersebut.
  Sebelum memasuki pembahasan mengenai falsifikasi, terlebih dahulu pemakalah akan menjelaskan mengenai beberapa pemikiran Popper, diantara hal yang penting untuk dikaji dalam hal ini yaitu, induksi dan hipotesa dalam pandangan Popper,  kemudian masuk kepada demarkasi dan falsifikasi itu sendiri.
Induksi dan Hipotesa
  Menurut para praktisi ilmu, metode induksi sering tidak pernah jadi persoalan, namun tidak bagi filsuf dan para teoritis. Metode induksi dalam sebuah kajian ilmiah berangkat dari beberapa kasus partikular yang kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak.  Dalam metode induksi ini Francis Bacon juga mengkritik dan menolak metode tersebut, kemudian ia mengajukan teori "Idola"nya. Bacon memimpin suatu pemberontakan terhadap cara berpikir aristoteles dalam memandang perkembangan ilmu. Ia berpendapat bahwa terdapat tendensi diantara para ahli filsafat untuk mula-mula setuju pada suatu kesimpulan, dan kemudian barulah mereka menyusun usaha untuk mengumpulkan berbagai fakta yang mendukung kesimpulan tersebut.  Sementara tokoh yang kemudian menolak konsep idola milik bacon secara radikal adalah David Hume, sementara Popper berada dalam satu pemikiran dengan David Hume pada metode ini.
  Popper menolak bentuk totalitarisme segala kemungkinan pemeriksaan empiris sehingga luput dari kemungkinan falsifikasi. Pemikirannya ini menentang pemikiran sebelumnya terutama pemikiran kelompok lingkaran wina, bahkan sejak Bacon juga termasuk menjadi objeknya, yaitu teori-teori ilmu alam merupakan ilmu-ilmu induktif dan bahkan induksi itu merupakan suatu proses menguhkan atau membenarkan teori-teori dengan pengamatan atau eksperimen yang dilakukan berulang-ulang. Induksi ini merupakan kriterium demarkasi untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu. Hal ini ditentang oleh Popper, karena teori universal bisa bertentangan dengan fakta yang teramati. Menurut Popper kriterium demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu adalah testabilitas dan falsifibilitas (falsifikasi).  Popper dalam hal ini melihat bahwasanya sebuah teori tidaklah kuat jika hanya diuji dengan satu aspek kebenarannya. Jika seluruh hipotesa diarahkan kepada hal yang bersifat mendukung teori tersebut maka kebenaran dan kekuatan teori tersebut kurang begitu teruji. Maka ia menawarkan konsep demarkasi dan falsifikasi yang ingin menguji suatu teori dari kemungkinan kesalahannya.
  Namun secara khusus Popper mengkritik pandangan neo-positivisme yang memberlakukan hukum umum dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Kita mengenal bahwa aliran neo-positivisme memiliki dua istilah yang digunakan meaningfull dan meaningless dalam memandang sebuah teori keilmuan. Bagi Popper hal ini bukanlah suatu kriteria yang tepat dalam sebuah kajian teori ilmu. Dalam hal ini Popper menggunakan dan menawarkan metode farifikasi yang menolak metode verifikasi (yang menggunakan pembuktiaan teori dengan mengujinya dengan konsep yang dapat mendukungnya).  Menurutnya makin besar kemungkinan suatu hipotesa dan teori dapat bertahan dari bentuk uji yang dapat menyangkalnya maka kebenaran dari hipotesa tersebut semakin diperkokoh dan diperkuat dengannya.
  Menurut Popper sebuah kajian ilmu selama masih dalam bentuk hipotesa adalah masih dalam tahap definisi atau teori yang bersifat sementara. Dia beranggapan bahwa tidak ada suatu kebenaran yang memiliki sifat tak tergantikan dan akhir.  Popper beranggapan suatu hipotesa itu dapat dikuatkan dengan menemukan bentuk teori yang baru yang mengubah konsep teori lama dan hipotesa lama yang ada.
  Dalam proses pengembangan ilmu ini, Popper memiliki cara yang lain dari pada ilmuwan lainnya. Dia menggunakan cara eliminasi untuk membuktikan suatu hipotesa itu menjadi teori, dalam metode tersebut ia menggunakan kemungkinan kekeliruan dan kesalahan sebagai kunci pengujian hipotesa yang ada.
Demarkasi dan Falsifikasi
  Popper dalam pemikirannya sering bersinggungan dengan paham Lingkaran Wina seperti telah dikutip dalam penjelasan sebelumnya. Menurut Wina suatu yang meaningfull selalu dapat dibuktikan dengan serta diverifikasi, berbeda dengan meaningless. Namun menurutnya suatu hal yang tidak bersifat ilmiah  kadang sangat mampu menjadi meaningfull dan juga sebaliknya.  Menurut Popper kedua bentuk teori baik meaningfull ataupun meaningless tetap dapat menjadi suatu hipotesa yang layak untuk diuji.
  Popper dalam hal ini memiliki beberapa pendapat yang akhirnya menawarkan konsep falsifikasi tersebut. Menurutnya suatu teori harus ditinjau dari sudut pandang kemungkinan kesalahannya. Suatu teori dapat dikatakan ilmiah jika teori tersebut memiliki kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Falsifikasi menurut Popper telah menjadi sebuag metode atau alat untuk membedakan genuine sciene (ilmu murni) dari apa yang disebut Popper sebagai pseduo sciene (ilmu tiruan). Maka dari itu Popper mengatakan "Sciene is revolution in permanance and criticism is the heartof scientifis enterprise".
  Popper dalam mahakaryanya The Logic of Scientific Discovery menyatakan bahwa logika ilmu pengetahuan adalah teori tentang perkembangan ilmu pengetahuan dibidang apapun, perdebatan tentang teori itulah kemudian yang mengembangkan teori tersebut berkembang sekaligus mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
  Walaupun demikian pada dasarnya sebuah teori memang penting, namun teori tersebut bukanlah sebuah pakem atau kebenaran yang tak bisa digugat. Tak ada sebuah teori yang 100% benar dan akurat, karena teori sendiri pada dasarnya adalah sebuah simplifikasi terhadap realitas berdasarkan pada asumsi asumsi pembuat teori tersebut. Seperti Popper, teori adalah cara merasionalkan, menjelaskan dan menguasai dunia.
Dunia Tiga
  Berbicara mengenai Popper, kita sering sekali mendengar bahwa ia memberikan beberapa pendapat mengenai konsep realitas. Dalam konsep ini Popper membedakannya menjadi Dunia Satu (kenyataan fisis dunia), Dunia Dua (segala kenyataan psikis dalam diri manusia), Dunia Tiga (segala hipotesa, hukum dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara Dunia Satu dan Dunia Dua.  Menurut Popper Dunia Tiga mempunyai otoritas dan tidak terkait dengan Dunia Satu ataupun Dunia Dua. Pemikiran ini akan terlihat signifikan dalam memahami konsep falsifikasi. Karena dalam konsep tersebut dia menghindari konsep objektivisme dan subjektivisme.  Secara tidak langsung tujuan Popper dalam menghindari konsep objetivisme dan subjektivisme tidaklah seutuhnya berjalan. Karena dalam sebuah teori penelitian atau pengujian, unsur objek dan subjek selalu berkaitan. Popper hanya berbeda dalam beberapa bentuk untuk menguji teori yang ada.
Paradigma Thomas Kuhn
  Beralih kepada tokoh selanjutnya, Thomas Kuhn. Ia memiliki konsep yang cukup terkenal yang ia sebut sebagai paradigma ilmu. Paradigma layaknya sebuah senjata yang digunakan Kuhn untuk merespon pandangan neo-positivisme dan Popper. Dengan menggunakan paradigmanya, ia banyak menentang pendapat realis yang memandang bahwasanya sejarah ilmu sains-fisika adalah diambil dari fakta-fakta yang bebas.  Kuhn memang lebih menekankan kepada sejarah suatu ilmu dan segala hal yang melatarbelakangi ilmu ataupun teori tersbut berhasil muncul ke ranah ilmiah.
  Paradigma ilmu menurut Kuhn adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu cara pandang dan memahami alam yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan sebagai worldviewnya.  Paradigma tersebut digunakan sebagai lensa yang melaluinya seorang ilmuwan dapat mengamti dan memahami masalah ilmiah dalam bidangnya.
  Dalam karyanya, Kuhn menggunakan metode politik dalam menjelaskan sains. Kuhn memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada aspek wacana.  Baginya revolusi ilmiah dan revolusi politik memiliki karakter yang sama. Memang terdapat revolusi dalam beberapa fakta politik, ia menganggap bahwa revolusi tersebut sama dengan revolusi yang ada dalam revolusi ilmu.
  Pandangan Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya pada dasarnya merupakan respon terhadap pandangan verifikasi dan konfirmasi-eksperimentasi serta falsifikasi milik Popper. Bedanya jika Popper seperti penjelasan sebelumnya mengatakan bahwa proses perkembangan ilmu yang menurutnya berkemungkinan untuk salah dan kemudian dikembangkan dan dikuatkan, sedangkan verifikasi lebih condong pada unsur sebaliknya. Namun sejatinya kedua pandangan ini memiliki persamaan, keduanya memiliki nuansa positivistik dan karena juga objektifistik, yang cenderung memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan.  Kuhn bertujuan tidak ingin memisahkan unsur subjektivitas dari penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan. Jika pengujian ilmu hanya didasarkan pada unsur realitas baik dalam bentuk verifikasi maupun falsifikasi itu sama halnya menghilangkan unsur subjetivitas.
  Dalam proses perkembangan ilmu, Kuhn menekankan aspek sejarah dari ilmu tersebut seperti yang dilakukan Popper. Bedanya jika Popper hanya fokus kepada sejarah sebagai bukti dalam mempertahankan sebuah teori maka Kuhn lebih dalam dan luas menggunakan aspek sejarah yang mengeksplorasi tema-tema besar dalam ilmu tersebut. Â
  Dalam paradigmanya Kuhn menawarkan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktek ilmiah nyata, termasuk didalamnya hukum, teori, aplikasi dan instrumentasi yang mneyediakan model yang menjadi sumber konsistensi tradisi riset ilmiah tertentu.  Paradigma menurut Kuhn memberikan ilmuwan suatu bentuk dan skema kognitif untuk mengerti alam sekeliling, maka jika seorang ilmuwan menafsirkan pemerhatiannya itu sejatinya ia telah menggunakan suatu paradigma dalam memberi makna kejadian tersebut.
  Selanjutnya dengan skema yang diambil oleh para ilmuwan, menurut Kuhn mereka telah membentuk suatu komunitas ilmu. Dengan demikian paradigma ilmu tidaklah sekedar konstruksi segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan, mengungkap dan memahami alam. Ia beranggapan bahwa didalamnya terdapat faktor historis yang nonmatematis-positifistik, yang merupakan faktor penting dalam bangunan paradigma keilmuwan secar utuh. Temuan ini kemudian memperkuat konsep yang mengatakan bahwa sains bukanlah value-neutral.
  Konsekuensi yang lebih jauh bahwa metode ilmiah menjadi dasar klaim ilmu objetivitas dan universalitas, telah berubah menjadi sebuah ilusi. Bagi Kuhn paradigmalah yang menentukan arah dari suatu penelitian, tanpa ada paradigma maka ilmuwan tidak mampu mengumpulkan fakta dan merumuskan suatu penelitian. Jika demikian maka tanpa paradigma maka penelitian akan terlihat sama-sama relevan dan bersifat acak.
Proses Perkembangan Ilmu Menurut Kuhn
  Ada dua konsep Kuhn dalam memandang perkembangan ilmu pengetahuan, yang pertama keadaan yang disebut normal science dan kedua revolutionary science. Dalam hal ini Kuhn mengartikan sains normal sebagai penyelidikan yang dibuat oleh suatu komunitas ilmiah dalam usahanya menafirkan alam ilmiah melalui paradigma ilmiah. Ia menganggap bahwasanya dalam sebuah sains normal terdapat sebuah paradigma yang mengarahkan metode penyelidikan atas ilmu tersebut.  Namun dalam perjalanannya, normal science banyak memiliki persoalan yang tidak dapat diselesaikan dan bahkan inkonsisten. Hal ini dianggap oleh Kuhn sebagai anomalies.
  Dari wujud anomalies inilah yang nanti akan menghasilkan konsep revolutionary science. Dimana ketika anomalies-anomalies kecil tersebut terakumulasi dan menjadi terasa begitu akut maka pada saatnya akan ditemukan oleh suatu komunitas ilmiah cara untuk keluar dari ketidakmungkinan penyelidikan tersebut. Hal inilah yang disebut dengan revolutionary science oleh Kuhn.  Dan inilah yang oleh Kuhn disebut sebagai paradigma baru yang dapat membawa ilmuwan kepada pemecahan masalah anomalies tersebut.
  Kuhn berpendapat bahwa dalam sebuah perkembangan ilmu akan selalu melewati siklus-siklus : sains normal diikuti oleh revolusi yang kemudian diikuti oleh sains normal dan kemudian revolusi lagi. Kebanyakan aktivitas ilmiah menurut Kuhn berada pada posisi sains normal yang terdapat pada teks-teks dan buku-buku yang mensyaratkan teks. Maka proses pencapaian ilmu yang diakui sementara oleh komunitas ilmiah sebagai landasa dasar bagi praktek selanjutnya.
Kritik Terhadap Paradigma Thomas Kuhn dan Falsifikasi Popper
  Kuhn berpendapat bahwa pendekatan yang dilakukan Popper dalam konsep falsifikasinya adalah proses menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan kejadian pengetahuan empiris melalui jalan hipotesa yang diusulkan dengan konsep falsifikasi.  Seperti yang dijelaskan diatas, menurut Kuhn sebaiknya proses perkembangan ilmu supaya memulai dari kajian sejarah ilmu tersebut karena ia merupakan titik pusat dan pangkal dai sebuah penyelidikan.
  Kuhn beranggapan bahwa perkembangan ilmu bersifat revolusioner yang bertentangan dengan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa ilmu maju dengan sistem komulatif.  Kuhn mengkritik Popper berkenaan dengan proses conjuncture. Proses pembuatan pernyataan, pemikiran dan penalaran terhadap problem yang ada akan menimbulkan masalah pada aplikasinya.
  Kuhn juga mengkritik Popper yang berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah berpusat pada falsifikasi atau menguji teori; kemudian, dengan berpegang pada pernyataan-pernyataan observasi seorang ilmuwan bertugas menguji semua teori atau hipotesis. Kuhn mengkritik karena menurutnya, para ilmuwan yang berkecimpung dalam "normal science" bukan lagi sebagai penguji teori tetapi sebagai pemecah masalah dan kesulitan hidup. Dalam kemapaman paradigma itu tidak ada lagi pertentangan antara paradigma. Karena paradigma yang telah diterima dipakai sebagai landasan dan pedoman untuk praksis kehidupan.  Ia menganggap bahwa Popper telah memutarbalikkan kenyataan dengan menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis disusul upaya falsifikasi.  Menurutnya, terjadinya perubahan-perubahan hanya berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah, yakni "Segala perkembangan nonkumulatif dimana paradigma yang telebih dahulu ada diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian, dengan yang baru". Â
  Pandangan falsifikasionis Popper ini juga tidak lepas dari kritik dari tokoh-tokoh yang datang sesudahnya. Imre Lakatos (1974) mengkritik prinsip falsifikasi Popper yang sangat menentang penerapan induksi dalam metode ilmu pengetahuan. Metodologi atau logika penemuan ilmiah yang dikembangkan Popper dalam bukunya logic of Scientific Discovery hanya terdiri dari aturan untuk menilai sebuah teori yang sudah dirumuskan, dimana dalam pandangan Popper tersebut ditegaskan bahwa teori ilmiah tidak didasarkan atau dikukuhkan oleh fakta melainkan dirontokkan olehnya.  Taryadi menilai bahwa metodologi yang dikembangkan oleh popper hanya terdiri dari aturan-aturan untuk menilai teori-teori yang sudah dirumuskannya sendiri. Metodologi itu berdiri di atas kaki sendiri, dikejar demi dirinya sendiri. Istilah benar dan salah dihindarkan. Ilmu hanya bisa ditemukan kekeliruannya. Akibatnya Popper sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan apa yang bisa diperoleh dalam aturan permainan ilmu atau metodologi.
  Namun bagi Lakatos pandangan kedua tokoh ini cukup menyita perhatian, ia menganggap bahwa Popper memiliki konsep yang terlihat menjanjikan dalam falsifikasinya begitupun Kuhn yang membuat bentuk paradigma. Namun khusus teori Kuhn sendiri Lakatos mengatakan bahwa Kuhn setelah melakukan kritik terhadap falsifikasi justru ia terjerumus kearah irasionalisme.  Menurut lakatos, perubahan ilmiah dalam benak popper adalah sesuatu yang rasional atau setidaknya dapat direkronstruksi secara rasional. Namun untuk Kuhn perubahan tersebut berbentuk misitis. Sedangkan dalam hal ini mereka berdua tidak hanya berada dalam bentuk yang bersifat teknis belaka, namun masuk dalam titik epistemologi yang menyangkut nilai intelektual dan memiliki implikasi tidak hanya pada ilmu fisika teoritis tetapi juga ilmu sosial. Â
Kesimpulan
  Dalam mengkaji metode pengujian sebuah ilmu, sejatinya filsuf Barat tidak pernah sampai pada titik akhir. Mereka selalu menguji satu konsep pengujian teori dengan teori lainnya. Namun teori yang mereka tawarkan sendiri masih memiliki celah dan kekurangan. Terkadang banyak dari mereka yang menafikan unsur metafisik dalam mengkaji sebuah ilmu, namun disebagian lainnya menggunakan konsep tersebut namun tidak pada metode yang tepat.
  Seperti Popper yang menolak bentuk konsep verifikasi, yang menurutnya tidak mampu membuktikan kebenaran suatu teori karena mengujinya melalui hipotesa yang mendukungnya. Maka ia menawarkan konsep falsifikasi, dimana yang ia tujukan adalah membentuk suatu pengujian ilmu sehingga akan timbul teori baru yang telah melumpuhkan teori lama yang telah ditemukan sebelumnya. Dalam beberapa masalah mungkin ini menjadi solusi namun tidak mampu menjawab apakah teori tersebut akan mampu menjanjikan suatu kebenaran hanya dari sebuah kesalahan. Sedangkan Kuhn yang menganggap para ilmuwan tidak memiliki suatu bentuk paradigma dalam meneliti, sehingga mereka hanya mengkaji dan mengkaji sesuai dengan interestik dalam diri ilmuwan tersebut. Maka ia mengangap bahwa paradigma akan mampu membuat pengkajian sebuah teori sampai pada tingkat yang benar, bukan dengan verifikasi ataupun falsifikasi. Namun lagi-lagi konsep tersebut memiliki kelemahan karena sedikit tidaknya tetap mengambil dari pengalaman perkembangan teori tersebut, seperti Popper. Demikianlah pembahasan singkat mengenai kedua tokoh tersebut dan konsep kerangka ilmu miliki mereka.
Referensi
Chalmers A.F, What is This Thing Called Science (Apa itu yang Dinamakan Ilmu), terj. Redaksi (hasta Karya, Jakarta : Hasta Karya, 1983)
Hutasuhut Maslina W., Permasalahan Falsifikasi dalam Ilmu Pengetahuan (Jurnal Ilmu Sosial dan Politik)
Internet Encyclopedia of Philosophy, (A Peer-Reviewed Academic Resouce) https://www.iep.utm.edu/pop-sci/
Internet Encyclopedia of Philosophy, (A Peer-Reviewed Academic Resouce) https://www.iep.utm.edu/kuhn-ts/
Kuhn Thomas, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970)
Lakatos Imre & Musgrave Alan, Criticism and The Growth of Knowledge-Logic of Discovery or Phychology of Research, (Cambridge University Press, Cambridge)
Lakatos Imre, Falsification and the Methodology of Scientific Research Programes, (Cambridge University Press, 1974)
Mungkasa Oswar, Kritik terhadap Teori Falsifikasi Popper, Makalah, (Program Pasca sarjana UI, 2002)
Muslih Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (LESFI, Yogyakarta : 2016)
Russell Bertrand, The Impact of Science upon Society, (New York : Simon and Sxuster, 1943)
Suriasumantri Jujun S., Ilmu Dalam Perpsektif, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 2009)
Taryadi Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper,(Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991)