"Ehm… aku.. aku harus pegi"
"kemana?"
Kau berlari meninggalkannya. Air matamu tumpah bersamaan dengan air mata semesta. Setidaknya, kau bukan satu satunya yang menangis kan?
Kau menoleh kebelakang. Rupanya Ia masih memandangimu dari dalam kaca besar cafe itu. Kau berusaha tersenyum. Melambaikan tangan. Kemudian handphone mu bergetar. Ia mengirimimu sebuah pesan singkat.
Menangislah disini, kau tak perlu menyembunyikan tangismu dibawah air hujan. Kembalilah. :)
Lantas kau berpikir, pria macam apa dia.. membiarkan wanitanya menerobos hujan karena perkataannya… dan hanya mengirimimu sebuah pesan singkat saja. Bahkan Ia tak mau repot repot basah kuyup untuk mengejarmu kan? Eh tunggu dulu, setelah semua yang Ia ucapkan padamu… kau yakin masih menjadi ‘wanitanya’?
*****
Dua tahun sudah setelah kejadian itu. Kau berusaha membenamkan lukamu kedalam bejana waktu. Hingga suatu ketika, semesta menjebakmu.
Hujan deras lagi. Kali ini Caramel Macchiato adalah satu satunya tujuanmu untuk beberapa waktu kedepan. Hingga kau menyadari jika tak ada lagi kursi kosong tersisa, kecuali kau harus duduk semeja dengan pria jangkung yang sedang asik membolak balik halaman sebuah buku.
"Permisi, kursi ini kosong?"
"Ya"
Pria jangkung itu menatapmu. Jantungmu hampir copot. Pria itu dia. Nafasmu tercekat. Oh rasanya seperti mengacak acak kotak kenangan yang kau kunci rapat sejak dua tahun silam. Ah semesta selalu punya cara untuk mempertemukan kalian!
******
"Menjauhlah dari hidupku"
"Maksudmu?"
"Bahagiamu bukan aku"
"Kau salah. Bahagiaku, ya kamu"
"Baiklah. Jika aku bilang, bahagiaku bukan lagi kamu. Kau mau apa?"
"Kau membenciku?"
"Entahlah. Rasanya abu abu"
Ia mengenalmu dengan sangat baik. Tapi saat terakhir kali bicara padamu, Ia mematahkan hatimu, harapanmu dan semua gambaran indah tentang kalian. Lidahmu kelu, tubuhmu kaku. Dan kau berusaha mati matian menahan air mata yang membuncah
******
Oh baiklah. Kau akhirnya membuka percakapan basa basi.
"Hai, apa kabar?"
"Kau? Kau masih mengingatku Rachel?"
"Mana mungkin aku melupakan orang yang terakhir kali mematahkan hatiku kan?"
"hahahaha"
"hahahaha"
Kalian tertawa. Tawa kalian mencairkan jengah yang tadi ada, menghentikan tangis semesta.
"Rachel, aku harus pergi. Sepertinya hujan sudah reda."
"Pergi? Jadi kau kana meninggalkanku untuk yang kedua kali?"
"Hei, dulu kau yang meninggalkanku dan menangis dalam hujan kan?"
"Lalu, kau sama sekali tak ingin menjelaskan kenapa kau menyuruh kita berjalan berjauhan?"
"Akhir bulan ini, datanglah kerumahku. Jika kau beruntung, kau akan menemuiku."
******
Kau memarkirkan sepeda motormu di halaman rumahnya. Ah betapa kau rindu dengan rumah ini. Semasa SMA 7 tahun lalu, kalian sering menghabiskan waktu di halaman rumahnya, bermain trampolin dan bicara tentang masa depan. Kini rasanya bahkan terlalu tua untuk mengenang semua itu.
Tepat saat kau hendak mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya keluar dan menghambur ke pelukanmu. Wanita paruh baya itu Ibunya.
"Nak Rachel kemana saja? Ibu menunggumu daritadi"
"Memangnya kenama bu? Geri mana? apa Ia memberitahu ibu perihal kedatanganku ya? Apa Geri ada di dalam bu"
"Nak Rachel, memang berat menerima semua ini nak, kita harus sabar, biarkan Geri tenang disana.."
"A.. apa maksud ibu?"
"Sebelum Geri pergi, ia menitipkan ini pada ibu. Ini untuk kamu Nak Rachel"
Tanganmu gemetar. Kau tak percaya ini sungguhan. Lelucon macam apa ini? Kau berharap tiba tiba sosoknya datang dan mengejutkanmu dari dalam dapur dan membawakan seloyang kue kismis untuk menyambut kedatanganmu. Bukankah tempo hari ia yang mengundangmu kerumah kan?
Sia sia, Ia tak lagi ada. Matamu kosong. Tapi kau berusaha fokus pada benda pemberiannya. Oh Tuhan, bukankah buku ini adalah buku yang sama dengan buku yang Ia baca di kedai kopi tempo hari? Kau lihat sampul depannya : Leukimia.
Pandanganmu kabur. Bahkan untuk menangispun kau tak sanggup. Jadi ini alasan ia meninggalkanmu?
Oh Rachel, kau sungguh kurang beruntung!