Keberadaan nilai mata uang kerap menjadi amunisi penetrasi pasar dan hegemoni kekuatan suatu negara terhadap negara lainnya. Seperti nilai mata uang dollar Amerika Serikat (US$) yang banyak digunakan sebagai patokan harga dari komoditi perdagangan di dunia. Alhasil, mata uang dollar tersebut, secara langsung berdampak postif terhadap pengaruh Amerika Serikat di banyak negara.
Sebaliknya, kondisi Indonesia yang menjadi bagian dari negara yang mengonsumsi nilai US$ menjadikan posisi negara republik tercinta ini selalu terseok-seok akibat fluktuasi nilai kurs yang cenderung meninggi. Kendati, ada keuntungan besar pula, bagi produsen produk domestik yang memiliki orientasi pasar ekspor.
Sejatinya, keberadaan mata uang asing seperti US$ yang menjadi harga patokan sebagian besar barang dagangan di Indonesia, pula menyebabkan terjadinya krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008 silam. Lantaran, melonjaknya nilai tukar dari 2500/US$ menjadi lebih dari 10.000/US$. Kondisi tersebut, seketika menyebabkan terjadinya krisis multi dimensi yang melanda seluruh wilayah Indonesia. Tak hanya sendirian, melainkan hampir seluruh kawasan Asia ikut terjembab akibat menguatnya nilai tukar US$ di dunia.
Lantas, bagaimana menguatkan nilai Rupiah terhadap perdagangan?
Kembali kepada filosofi kegunaan mata uang sebagai alat tukar dan beli di suatu negara, maka seluruh takyat Indonesia harus menggemari dan mencintai Rupiah sebagai mata uang nasional. Sebab itu, maka semua transaksi perdagangan impor maupun ekspor harus berbasis kepada nilai Rupiah. Tujuannya, supaya Rupiah makin digemari dan di minati sebagai mata uang yang memiliki daya beli dan jual yang meluas.
Bayangkan saja, jika seluruh perdagangan impor dan ekspor oleh Indonesia berorientasi kepada nilai Rupiah, maka secara langsung, nilai tukar Rupiah akan cenderung menguat terhadap mata uang negara lainnya, termasuk US$.
Sebagai contoh, perdagangan minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya yang bernilai lebih dari 15 miliar US$ per tahun dengan penetrasi pasar lebih dari 70 negara di dunia. Jika, menggunakan nilai patokan perdagangan Rupiah, maka bisa dipastikan lebih dari 70 negara di dunia akan menggunakan Rupiah sebagai alat pembayaran produk CPO dan turunannya. Secara nyata, nilai tukar Rupiah, akan terkerek naik, menjadi mata uang yang diperhitungkan dunia internasional.
Belum lagi komoditas lain seperti kopi, karet, coklat dan produk migas serta turunannya. Bisa jadi, lebih dari 80% negara-negara di dunia memiliki hubungan dagang langsung dan tak langsung terhadap Indonesia. Di sisi domestik, rakyat Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa lebih, juga merupakan potensi besar untuk menguatkan nilai tukar Rupiah di dalam negeri.
Jika kondisi tersebut dapat tercapai, niscaya Indonesia akan menjadi kekuatan besar, yang banyak diperhitungkan negara lainnya di dunia. Lantaran cinta Rupiah akan menjalar kepada negara lainnya yang memiliki kepentingan besar terus berdagang dengan Indonesia.
Pemerintah sebagai regulator, memiliki tugas utama untuk menyediakan payung hukum bagi Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran dan harga patokan bagi berbagai produk yang di hasilkan dan dikonsumsi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, masa depan Indonesia akan terjaga, dengan menguatnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara-negara lainnya di dunia.
Mampukah kita mewujudkannya? semoga.