Selanjutnya, beberapa hari yang lalu saya baca disebuah laman di media sosial berjudul "Kurang Dihargai di Indonesia, Pembuat Mobil Listrik Pilih Pulang ke Jepang" dimana isinya berbicara mengenai kebingungan seorang Ricky Elson dalam mendudukan mobil listrik pada tempatnya terutama pada posisi perijinan. Disebutkan dalam berita tersebut bahwa "karya anak bangsa yang bisa membanggakan dunia, belum tentu mendapat tempat di negeri sendiri". Sampai seorang Menteri bernama Dahlan Iskan pun, sampai kehilangan kata-kata untuk menjelaskan kerumitan dalam pengurusan perijinan dari Mobil Listrik yang jumlahnya saat ini sudah ada puluhan unit.
Dasar itulah yang sesungguhnya mendorong saya untuk sedikit membahas mengenai nasib para inovator yang kurang beruntung dilahirkan di negara yang tidak inovatif ini. Kurang beruntung dilahirkan di negara yang siap menjadi konsumen bukan menjadi produsen, kurang beruntung dilahirkan di negara dimana politisi dan selebritis mendapatkan tempat di atas langit sedangkan para inovator hanya berada di kolong jembatan saja. Inilah yang menyedihkan dari negara ini.
Berulang kali saya mendengarkan penjelasan dari pejabat negara, pejabat kampus, dan banyak pengusaha yang dengan tegas mengatakan bahwa apabila Indonesia ingin menjadi negara besar, maka kekuatan penopangnya harus berada pada keberadaan wirausahawan yang jumlahnya minimal harus 2%, akan tetapi sampai hari ini jumlah tersebut masih berada pada kisaran 1%. Untuk menunjang pencapaian tersebut Pemerintah mendorong banyak program misalkan Kredit Usaha Rakyat, CSR BUMN dan masih banyak lagi program-program fantastis yang didorong oleh Pemerintah, Pengusaha bahkan sampai kampus pun sudah mulai membuat namanya business school.
Pertanyaannya, apakah program tersebut berhasil ? Jujurnya saya perhatikan, program-program tersebut hanya menjadi sebuah bahan promosi saja tanpa memberikan hasil yang sesuai dengan harapan kita semua dalam rangka meningkatkan jumlah wirausahawan kita. Secara kenyataan, dapat dengan jelas kita lihat bahwa kekuatan konglomerasi besar dan asing sudah merambah dan menjajah terlalu jauh dan mereka berharap mempertahankan zona nyaman mereka, sebagai contoh kasus antara mobil listrik vs mobil LCGC. Tanpa perlu dibahas lebih lanjut, kita dapat memetakan sendiri bagaimana sulitnya anak bangsa yang sudah prihatin dengan keterbatasan cadangan BBM kita selalu dipersulit untuk memperoleh ijin, sedangkan perusahaan asing dengan mudahnya melakukan kreasi dan inovasi yang nantinya terus dapat menyerap dan menghabiskan cadangan minyak sekaligus subsisdi minyaknya yang sudah mencapai 300 triliun per tahun. Sebuah angka yang jauh lebih besar daripada kita sibuk mengurusi soal kasus Hambalang, kasus Century, dan berbagai kasus lainnya.
Permasalahan kedua yang muncul juga adalah makin tingginya semua biaya untuk bisa memulai sebuah bisnis, dimulai dari UMR yang terus beranjak naik, harga sumber energi yang terus naik, bunga perbankan yang terus ditinggikan, kurs yang tidak jelas dan yang terpenting adalah biaya perijinan yang juga tidak kalah tingginya. Dimana kesemuanya itu harus ditanggung oleh para calon pewirausaha yang memiliki modal dan jaringan terbatas. Pertanyaannya siapa yang akan membantu dan mendorong mereka ? Kembali kalau saya ikuti jawaban dari para pejabat pemerintah dan politisi pasti akan menjawab bahwa "sebagai pengusaha mereka harus hidup di kaki sendiri dan kalau ada kerugian ya jelas menjadi resiko usaha mereka." Jawaban tersebut sebenarnya bisa diterima, akan tetapi kalau sudah muncul bahwa usaha merugi karena harga listrik terus naik, upah buruh setiap kali didemo terus naik, adanya gangguan dari sebagian orang yang mengaku dirinya bagian dari ormas atau LSM, dan seterusnya, pertanyaannya apakah ini juga bagian dari resiko ?
Inilah permasalahan-permasalahan yang perlu dijawab oleh para pemimpin masa depan, dimana apabila kita perhatikan anak-anak muda kita lebih senang mengambil kuliah jurusan hukum dan ilmu politik dibandingkan dengan jurusan teknik. Dengan pemikiran bahwa dengan menjadi ahli hukum dan politik, maka mereka akan lebih cepat tenar dengan cara memakai jas dan ikut acara hukum dan politik yang ada di televisi lalu langsung tenar dibandingkan dengan menjadi seorang inovator yang karyanya juga belum tentu akan dihargai, belum tentu akan diterima bahkan mungkin karyanya ini akan menghabiskan modal hidup yang dimilikinya tanpa ada kepastian apakah bisa dipasarkan lebih lanjut atau tidak.
Segunung harapan kami sampaikan kepada para calon pemimpin eksekutif dan legislatif ke depan untuk mencoba memikirkan hal ini dengan lebih mendetail, jangan hanya dengan alasan menggunakan sudut pandang helicopter view saja dalam membahas dan mendukung keinginan rakyat untuk menjadi seorang inovator dan wirausahawan. Apalagi tahun depan, dengan adanya AFTA, maka semakin berat pula perjuangan dari para inovator dan pewirausaha untuk menghadapi persaingan pasar. Untuk itu diperlukan kerjasama yang kuat dari seluruh pihak dalam mendukung mereka. Karena apabila para pewirausaha dan inovator tersebut sampai menyerah, maka yang terjadi adalah makin tingginya tingkat pengangguran yang dihasilkan dan jelas akan berdampak buruk bagi negara ini.
Momentum Pemilu 2014 ini, diharapkan menjadi momentum yang tepat bagi para calon pemimpin, dimana bukan hanya sibuk membuat visi dan misi yang tidak perlu, tapi buatlah program kerja yang nyata untuk merubah negara ini menjadi negara yang inovatif, negara yang mau mendukung rakyatnya, negara yang mau melindungi rakyatnya, negara yang mau peduli dengan nasib rakyatnya. Sehingga berbagai macam masalah penciptaan, termasuk masalah pembajakan yang membuat para seniman kita menjadi frustasi, sedikitnya dapat teratasi dan mereka kembali dapat berkarya.
Majulah Indonesiaku, mari kita berjuang Demi Indonesia dan jadilah Indonesia yang mendukung segala proses penciptaan dan ekonomi kerakyatan demi dan untuk kesejahteraan rakyat dan kedaulatan NKRI. Amin
Jakarta, 12 April 2014
Erwin Suryadi
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi