Sebelum menjawab pertanyaan dari Pak Menteri tersebut, maka ada baiknya kita uraikan dulu sedikit teori mengenai blue ocean startegy atau yang bisa juga disebut sebagai strategi samudra biru. Strategi samudra biru adalah sebuah strategi yang diciptakan oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne pada tahun 2004. Strategi samudra biru sendiri diartikan sebagai “Bagaimana membuat ruang pasar yang belum terjelajahi, yang bisa menciptakan permintaan dan memberikan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan. Intinya, bagaimana bersaing dengan tangkas dalam kompetisi; bagaimana secara cerdik membaca persaingan, menyusun strategi dan kerangka kerja yang sistematis guna menciptakan samudra biru” Definisi yang dikemukakan diatas menjelaskan bahwa strategi samudra biru bukan strategi untuk memenangkan persaingan akan tetapi strategi untuk keluar dari dunia persaingan dengan mencitakan ruang pasar yang baru dan membuat pesaing dan kompetisi menjadi tidak relevan.
Selain samudra biru ada istilah samudra merah yang menjadi kebalikan dari samudra biru. Kebanyakan samudra biru diciptakan dari dalam samudra merah dengan cara memperluas batasan-batasan industri yang sudah ada. Setiap strategi pasti beresiko, Strategi selalu melibatkan peluang dan resiko, baik itu inisiatif samudra biru maupun samudra merah. Oleh karena itu samudra biru memerlukan kerangka kerja analitis untuk menciptakan samudra biru dan prinsip-prinsip untuk mengelola resiko secara efektif.
Inti dari strategi samudra biru adalah bagaimana kita bisa dengan santai untuk menguasai sebuah pasar dan kita menjadi pemimpin pasar pada industri yang akan kita masuki tersebut. Nah dengan mengetahui teori tersebut, maka seharusnya kita dapat dengan lebih pas untuk menjawab pertanyaan Bapak Menteri tersebut.
Intinya dari pertanyaan Bapak Menteri tersebut juga harus didasarkan pada beberapa skenario. Skenario pertama, apabila segmen yang akan diambil dan dilawan oleh mobil listrik Indonesia (MLI) adalah industri otomotif, maka seharusnya MLI berada di samudra merah. MLI harus siap berhadapan dan mencari cara untuk dapat bersaing dan unggul dibandingkan dengan mobil-mobil konvensional yang sudah tumbuh dan berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir. Ini bukan persoalan mudah yang bisa dijawab oleh MLI dikarenakan dengan harga baterai yang masih cukup mahal dan komponen baterai mencapai sekitar 40% dari seluruh komponen yang ada, maka jelas MLI belum memiliki nilai/value yang cukup untuk bersaing dengan para pemain di industri otomotif Indonesia.
Skenario kedua, adalah skenario Bapak Menteri BUMN, Bapak Dahlan Iskan, yang mencoba mensegmenkan pasar menjadi beberapa segmen dan salah satunya adalah segmen kelas atas. Ini adalah sebuah strategi cerdik dari Bapak Dahlan Iskan dari sisi strategi pemasaran, dimana apabila kita perhatikan bahwa segmen kelas atas ini mempunyai karakteristik: 1. potensi pesaing terbatas, 2. daya beli besar, dan 3. yang terpenting adalah harga bukan menjadi masalah. Dari sisi ini, Bapak Dahlan Iskan dengan Selo-nya yang berharga sekitar Rp. 1,5 miliar, seharusnya sudah bisa memenuhi kriteria untuk masuk dalam strategi samudra biru. Dengan mengedepankan desain yang apik seperti mobil sport, apalagi dengan pergaulan seorang Bapak Dahlan Iskan sebagai pemilik Jawa Pos grup, rasanya pemasaran produk ini tidaklah menjadi sebuah permasalahan dan dengan waktu singkat Selo ini akan dapat segera masuk ke produksi masal dan sekaligus menjadi pemimpin pasar.
Skenario ketiga yang juga menarik untuk disimak dan rasanya belum banyak dibahas adalah pemanfaatan MLI untuk diutamakan menjadi kendaraan transportasi publik. Terkait dengan kendaraan publik, terutama di kota Jakarta ini, sudah banyak sekali pemasalahaan yang muncul terkait dengan transportasi publik. Bisa kita sebut dengan metro mini yang sudah tidak laik jalan dan masih dipaksakan, kendaraan umum yang harus dipasang RFID dalam rangka pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, sampai pada pengadaan bermasalah dari bis transjakarta yang didatangkan dari Tiongkok. Sedangkan moda TransJakarta yang sudah dimiliki sekarang, terlihat sudah overloaded, dimana jumlah bus yang kurang dan penumpang yang terus membludak menjadikan TransJakarta tidak lagi menjadi moda transportasi pubik yang masuk kategori nyaman. Melihat permasalahan yang demikian besar, dari polusi, kenyamanan, kriminilitas, bahkan sampai dengan penghamburan BBM bersubsidi, maka seharusnya MLI seharusnya muncul sebagai moda baru yang perlu segera dapat diterapkan di sistem transportasi publik terutama di kota Jakarta.
Penerapan MLI yang berbentuk bus sebagai alat transportasi publik merupakan sebuah keputusan yang tepat dimana seluruh kelebihan dari MLI dapat dimaksimalkan. Sistem tertutup (close loop), jarak tempuh yang tetap dan terukur serta harapan masyarakat pengguna untuk memperoleh kenyamanan berkendara membuat pilihan mobil listrik Indonesia dapat tampil menjadi solusi terdepan, sekaligus dapat menyingkirkan para pesaing lama. Dengan menerapkan MLI untuk penggunaan transportasi publik, maka pemerintah juga tidak perlu pusing berkutat dan berdebat mencari siapa yang salah akan kegagalan program RFID serta pemerintah dapat melakukan penghematan alokasi subsidi BBM yang selama ini menjadi momok bagi siapa pun pemimpin di Negeri ini.
Apabila skenario ketiga ini dapat diterapkan, maka MLI pada segmen kendaraan transportasi publik/masal jelas akan berada pada strategi samudra biru untuk jangka yang panjang. Apalagi bila terjadi kerjasama yang baik antara Perusahaan Daerah yang mewakili Pemerintah Daerah guna mengatur sistem transportasi publik dengan Pemerintah Pusat dan pelaku bisnis yang terus aktif menelurkan terobosan baru dalam proses penciptaan MLI.
Dari ketiga skenario itu jelas sekali dapat dibaca bahwa penerapan strategi samudra biru ini harus dikaitkan dengan teori segmentasi pemasaran untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Akan tetapi pada kenyataannya, apa yang kita bahas hari ini masih merupakan bayang-bayang dan mimpi bagi para penggagas dan pengembang MLI ini dikarenakan kembali yang menjadi permasalahan mendasar dari MLI ini bukan pada perspektif ekonomi dan manajemennya, akan tetapi pada aspek legal dan perijinan yang sampai sekarang masih berada dalam kondisi mati suri. Mau sampai kapankah para penggagas dan pengembang mobil listrik ini akan bertahan dan terus berupaya mengurus perijinan yang tak kunjung jelas ini.
Semoga cita-cita anak bangsa dan semangat merah putih putra-putri bangsa untuk berinovasi ini tak kunjung surut dan dapat bertahan melawan goncangan badai yang ada guna mencapai samudra biru yang kita cita-citakan bersama.
Jakarta, 27 Maret 2014
Erwin Suryadi
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi