"Ayah, galak! Weeee. Kabuuur."
Dua bocah imut, gemuk, lucu, lincah dan cerdas lari menjauh dari bapaknya--yang katanya selalu mengajarkan kelemahlembutan. Lari sambil diglandoti ketakutan-ketakutan di hatinya. Keduanya berhenti di balik bingkai jendela rumah. Jendela kaca yang diselaputi debu-debu kering. Matanya memandangi jalan raya yang lengang. Pandangannya kosong, dan kesepian. Ada kekangenan yang amat sangat pada sang ayah, sebenarnya. Ada keinginan untuk menaiki pundak sang ayah, berlagak koboi yang menunggangi kuda, sebenarnya. Ada keinginan dikejar-kejar sang ayah, laksana Raksasa Rajawali memburu Bima, sebenarnya. Ada keinginan ditembak sang ayah, seperti Son dalam Billy the Kid, sebenarnya. Tapi, semua pupus ketika sang ayah bersikap memporakporandakan perasaan kangen itu.
Gerimis turun. Sebentar berhenti, sebentar lagi turun. Begitu seterusnya kondisi di hari itu, selama lebih dari 180 menit lewat 35 detik. Si bapak tetap saja duduk di meja komputernya. Mengetik. Menghitung-hitung angka. Dan, tetap asik menata pikiran-pikirannya. Dua bocah masih saja di depan bingkai kayu jendela. Berdiri. Tidak duduk, tidak juga menyandar. Keringat mulai menggenang di sisi kanan dan kiri kening. Di samping kiri dan kanan leher, juga di batas tengah bibir atasnya. Pandangannya masih kosong. Gerimis tetap saja gerimis. Acuh. Cuek. Menganggap dirinya paling sibuk hari itu, karena harus terus mengurusi tetesan demi tetesan yang akan jatuh ke bumi.
Gerimis berhenti, barangkali hanya sejenak. Dua bocah membalikkan badannya dan menatap punggung ayahnya yang masih saja duduk di depan meja komputer. Seorang menghampiri dan mendadak merangkul leher dari belakang.
"Ayaaaah...!"
"Berisik! Pergi sana. Jangan ganggu ayah dulu. Ayah lagi banyak kerjaan!"
Seorang lagi yang berdiri, dan masih tertegun di balik bingkai jendela sambil terus menatap punggung ayahnya, menimpali dengan pertanyaan, "Ayah kerja melulu ya, De?" "Iya," jawab adiknya acuh.
"Kalau ayah nggak kerja kita mau makan apa, hah?! Kamu mau jajan apa? Bayar sekolah, makan, jajan, ongkos dan semuanya dari mana, hah?! Itu semua butuh uang dan ayah harus kerja terus. Tahu kamu?!"
Blar! Petir meledak di pucuk jalan. Angin kencang; wuuuus, wuuuus, wuuuus. Disusul deraian suara hujan lebat seperti memburu kampung yang sepi itu. Dua bocah kini berdiri, terpaku, di ujung mata lelaki yang disapa sayang; A Y A H. Lelaki yang mengajarkan kelemahlembutan, kesantunan, kesopanan dan kasih sayang. Kali ini bukan cuma hatinya yang diglendoti ketakutan, tapi juga wajah dan pupil matanya yang makin mengecil. Ketakutan sudah mulai pada puncaknya. Blaaar! Ini petir besar yang kedua di hari hujan lebat ini.
Petir meledak tepat di pucuk pohon pinang yang kurus-kurus. Membakar satu buah pelepahnya dan menjatuhkannya ke tanah basah. Kedua bocah meneteskan air mata. Hatinya ciut mengkerut; takut. Dua petir bagi hujan hari itu, tapi ratusan ledakan bagi kedua bocah.
Seorang berdiri sambil menggigil kedinginan. Kakinya menapaki lantai basah akibat loteng yang bocor. Seorang lagi gemetaran dan celananya basah. Ia coba menahan baik-baik pipisnya, tapi terpaksa mengucur karena kena getaran hebat yang bertubi-tubi dari mulut ayahnya.
"Kalau ayah kerja terus, uang ayah jadi banyak ya?" tanya sang anak.
"Segudang, mas," sela adiknya.
Pertanyaan dan selaan yang sia-sia. Mentah. Bahkan cenderung kosong dan jauh dari menghibur hati lelaki yang ada di hadapannya. Ayahnya tetap saja duduk; lagi-lagi masih di meja yang sama dengan alat kerja yang sama seperti dijelaskan tulisan di atas.
Begitu menengok, sang ayah terkejut. "Apa?! Kamu kencing di celana dan kamu diam saja berdiri di lantai yang basah ini?! Gimana sih?!"
"Kata ayah gak boleh manggil: kamu. Kok ayah manggilnya, kamu. Kamu?!" balas salah seorang polos.
"Udah sana pergi. Ganti celana dan keringkan ini lantai! Bubar sana. Cepetaaaan! Duh, pusing deh. Hari apa sih ni? Sial amat ni hari. Heeeeggh!" geram sang ayah
sambil kemudian menggeprak mouse ke meja kayu, "Prak!" Pecah.
Hujan masih ada, meski tidak seseram saat pertama ia datang. Kedua bocah berlari ke kamar mandi, sambil menyeret ketakutan di pundaknya. Hujan makin jinak dan suaranya mulai menampakkan kelembutan. Kelembutan hujan menyibak suara perempuan dari balik kamar bilik, "....watawa shouwbil haq. watawa shouwbishob. Yang mengajak pada kebenaran dan menasehati dalam kesabaran."
Blaaaar! Blep! Ini petir ketiga dan yang paling besar. Diiringi lampu mati dan suasana makin asing. Lelaki yang selalu disapa sayang: AYAH, itu membesarkan kedua bola matanya ke arah meteran listrik. Menuding penuh dendam dan kesal. Hatinya masih saja diliputi emosi. Di ujung kursi kayu reot, kedua anaknya duduk dengan santun dan akur. Menelisik aneh tingkah dan gerak gerik ayahnya. Mungkin menitipkan rasa kasihan, haru, iba, kesal, bingung, takut atau mungkin juga menaruh rasa was-was tapi yang pasti akan menirunya.
Tanpa sadar, darah menetes dari telapak kaki kedua bocah. Darah akibat sayatan kaca akuarium bundar di atas meja pojok kayu, di ruang depan. Yang tersenggol tangan keduanya setelah kaget sentakan suara petir yang beriringan dengan suara ayahnya.