Usaha Karya Utama didirikan oleh kakek Pak Sandi dan diteruskan oleh ayahnya sebelum akhirnya berada di bawah pengelolaannya. Warisan keluarga ini tidak hanya tentang cara membuat payung geulis yang indah, tetapi juga tentang nilai-nilai ketekunan dan cinta terhadap budaya lokal. "Payung geulis adalah ikon budaya Tasikmalaya," kata Pak Sandi, "dan menjaga warisan ini adalah tanggung jawab kita."
Generasi pertama, kakek Pak Sandi, memulai usaha ini dengan alat-alat yang sangat sederhana. Mereka menggunakan bambu yang dipotong dan diraut secara manual untuk rangka payung, dan kertas samson yang diwarnai dengan tangan untuk kain penutupnya. Setiap payung dihias dengan motif tradisional khas Sunda, yang memerlukan keahlian seni tinggi dan kesabaran luar biasa.
Payung geulis yang dihasilkan Karya Utama dikenal dengan detail dan kualitasnya. Setiap payung dibuat dengan bahan utama seperti bambu, kertas samson, lem, benang, dan cat. Peralatan yang digunakan termasuk bor tangan, pisau raut, kuas, dan alat lukis lainnya. Pak Sandi menjelaskan bahwa cuaca sangat mempengaruhi jumlah produksi, tetapi rata-rata mereka dapat menghasilkan sekitar 30 unit per hari. Harga per unit pun bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu hingga lebih dari Rp 1 juta, tergantung pada ukuran dan bahan yang digunakan.Pada tahap awal, bambu dipilih dan dipotong sesuai ukuran yang diinginkan. Kemudian, bambu tersebut diraut dan dihaluskan untuk membentuk rangka payung yang kuat dan tahan lama. Proses ini memerlukan ketelitian tinggi karena kesalahan sedikit saja dapat membuat rangka payung tidak simetris dan kurang stabil.
Setelah rangka selesai, langkah berikutnya adalah melapisinya dengan kertas samson. Kertas ini dipilih karena kekuatannya dan kemampuannya menahan cat. Kertas dipotong sesuai ukuran, lalu ditempelkan pada rangka menggunakan lem khusus. Setelah kertas terpasang, payung dikeringkan untuk memastikan lem mengeras dengan baik.
Langkah terakhir adalah menghias payung dengan motif-motif tradisional. Pak Sandi dan para pekerjanya menggunakan kuas dan cat untuk melukis motif-motif yang indah dan penuh warna. Motif ini tidak hanya menambah keindahan payung tetapi juga memberikan sentuhan khas budaya Sunda yang kaya akan simbol dan makna.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Karya Utama adalah pemasaran. Payung geulis tidak memiliki toko tetap dan dipasarkan melalui pesanan langsung dari konsumen. "Di Tasikmalaya sendiri, payung geulis kurang diminati. Justru pembeli terbesar berasal dari kota lain seperti Bandung," ungkap Pak Sandi. Namun, setiap bulan Oktober, penjualan melonjak signifikan berkat perayaan ulang tahun Kota Tasikmalaya.
Dalam era digital ini, Pak Sandi telah mengambil langkah maju dengan memanfaatkan media sosial untuk promosi. "Kami telah membuat akun Instagram untuk memamerkan produk-produk kami," kata Pak Sandi. "Hasilnya sangat positif, penjualan meningkat signifikan." Dengan foto-foto yang menarik dan deskripsi produk yang informatif, Karya Utama berhasil menjangkau pasar yang lebih luas.
Namun, pemasaran digital juga memiliki tantangan tersendiri. "Kami harus bersaing dengan banyak produk lain di media sosial," jelas Pak Sandi. "Oleh karena itu, kami selalu berusaha untuk berinovasi dan menawarkan sesuatu yang unik." Salah satu inovasi yang dilakukan adalah pembuatan lampu payung geulis dan payung geulis lipat yang mudah dibawa. Produk-produk ini mendapat sambutan positif dari konsumen dan membantu meningkatkan penjualan.
Pak Sandi menyoroti kurangnya perhatian dari pemerintah kota terhadap UMKM pengrajin payung geulis. Dia merasa bahwa pemerintah perlu lebih aktif dalam mendukung dan mempromosikan payung geulis sebagai ikon kota. "Perlu tindakan nyata untuk meningkatkan citra payung geulis di daerah sendiri. Misalnya, menempatkan payung geulis di setiap bangunan sebagai ikon kota," sarannya.
Selain itu, Pak Sandi juga berharap agar payung geulis dimasukkan dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. "Anak-anak perlu diajarkan tentang budaya mereka sendiri," katanya. "Jika mereka tidak tahu tentang payung geulis, bagaimana mereka bisa menghargainya?" Dengan memasukkan payung geulis dalam kurikulum lokal, Pak Sandi yakin bahwa generasi muda akan lebih sadar dan menghargai warisan budaya mereka.