Asri menghela napas. Dia berharap sesak di dada segera hilang. Matanya menatap layar hape dengan nanar. Dipandangi gambar dua sejoli, yang tersenyum bahagia, seakan mengejeknya.
"Ma, hari ini aku sekolah atau tidak?" tanya Nana pelan.
Dia menatap wajah sang ibu yang muram. Tangan kecilnya mengusap perut sang ibu, yang sudah sangat besar.
Dia tersenyum, saat merasakan benjolan yang bergerak-gerak di perut buncit itu.
"Ade, jangan keras-keras nendangnya!" ujarnya pelan.
Dia lirik wajah ibunya yang memucat. Asri mengusap tangan mungil Nana, yang terus mengusap perutnya.
"Ayuk kita berangkat!" seru Asri berusaha untuk semangat.
"Kalo Mama tidak sehat, Nana libur saja!" sahut Nana pelan.
"Ibu merasa sehat dan kuat, karena kamu dan adik!" sahut Asri tersenyum, "lagipula hari ini ibu akan periksa adik juga ke Dokter Rosa!" lanjut Asri sambil melangkah.
"Ayah tidak pulang lagi, ya? Dia sibuk pacaran!" gumam Nana pelan.
Asri mengabaikan gumaman Nana. Putrinya sering melihat foto ayahnya dengan banyak wanita. Bahkan beberapa kali Nana dikenalkan ke beberapa wanita, yang disebut sebagai "calon mama baru".
"Ayuk kita berangkat!" ajak Asri setelah menyiapkan motor.
"Ma, kata Dokter Rosa tidak boleh angkat berat-berat dan bawa motor!" tegur Nana, saat melihat ibunya mengangkat beberapa botol pewangi.
"Itu pesanan Dokter Rosa, Nak!" sahut Asri lagi, "Ayuk cepetan berangkat!" ajak Asri mulai tak sabar.
Nana segera turun dari teras, yang posisinya lebih tinggi dari jalanan di depan rumah, karena sering banjir. Itupun ibunya yang membuat tanggul sendiri, karena sang ayah tidak pernah perduli.
Setelah menempuh perjalanan 100 meter dari rumah, Nanapun turun dari motor. Dia memeluk ibunya erat dan segera mencium punggung tangan.
"Ma, Nana sekolah dulu, jangan terlalu capai, ya!" pesan Nana sebelum berlari untuk menyalami guru-gurunya, yang berbaris menyambut murid yang datang.
Asri merasa perih di bagian perutnya. Dia meringis di balik masker.
"Sabar ya, Nak! Kita segera periksa ke Dokter Rosa, kok!" katanya sambil mengusap perutnya lembut.
Dia segera memacu motornya, meninggalkan lapangan sekolah Nana.
Setelah mengantri beberapa saat, namanya dipanggil. Asri menjalani pemeriksaan kandungannya.
"Sendiri lagi dan bawa motor, Bu?" tanya Dokter Rosa dengan senyum prihatin.
Asri mengangguk. Dia merasakan dingin yang menyentuh perutnya. Terdengar suara degup jantung dari calon adiknya Nana.
"Alhamdulilah bagus semua! Jangan terlalu lelah ya, Bu!" saran Dokter Rosa, sambil melangkah ke kursinya dan segera menuliskan resep.
"Dok, apa virus cacar saya sudah membaik?" tanya Asri sambil duduk perlahan dan mengusap perutnya pelan.
"Kondisi Ibu tidak cepat membaik, karena sedang mengandung!" sahut Dokter Rosa sambil terus menuliskan resep, "jika dialami orang biasa, tiga bulan juga sudah membaik!" lanjut Dokter Rosa lagi.
Saat kandungan Asri menginjak tiga minggu, dia mengidap cacar air. Seluruh tubuh ditumbuhi bisul merah. Susah payah Asri melawan penyakitnya tanpa didampingi Rama, suaminya.
Dokter menyarankan untuk menggugurkan kandungan, karena virus itu sangat berbahaya bagi pertumbuhan janin dan juga jiwanya.
Asri tetap mempertahankan kandungan itu, karena tidak tega dengan janin yang sudah tumbuh di rahimnya.
"Allah sudah menitipkan janin ini di sini!" ujar Asri sambil mengusap perutnya lembut, "Saya akan mempertahankan, Dok!" lanjutnya pasti.
Sepanjang usia kandungannya, Asri melawan rasa panas di sekujur tubuhnya dan juga pastinya rasa sakit. Terkadang dia merasakan sakit kepala yang sangat hebat sekali.
Kulit halusnya mulai dipenuhi pecahan bisul-bisul. Dia beberapa kali harus masuk UGD tanpa diantar Rama. Asri berusaha kuat, dengan keputusannya.
Setelah pemeriksaan kandungan dia segera pulang dan istirahat. Dia meminum vitamin dan obat yang diresepkan dokter.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...," salam Bi Atun di depan teras.
"Wa'alaikumsalam, masuk saja, Bi!" sahut Asri sambil merebahkan tubuh.
"Asri, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Bi Atun khawatir.
"Ya, Bi!" sahut Asri sambil memijit keningnya, yang terasa berdenyut-denyut.
"Nanti Nana biar Bibi jemput, kamu istirahat saja!" kata Bi Atun sambil lanjut ke dapur untuk memasak.
Bi Atun adalah tetangga sebelah kontrakan Asri, yang mengetahui seluruh permasalahan yang dihadapi keluarga kecil itu. Rama suami yang temperamental dan tukang selingkuh.
Bahkan seluruh tetangga di komplek kontrakan itu, sudah mengetahui tabiat buruk Rama itu. Itu karena Rama memposting banyak aksi mesranya dengan banyak perempuan di media sosialnya.
"Suami kamu itu sakit jiwa, Asri!" ujar Bi Atun sambil meletakkan mangkok bubur di hadapannya, "Di statusnya dia memposting kegiatan edannya itu!" katanya dengan emosi.
"Itu yang memposting pasti perempuan itu, Bi!" sahut Asri masih berusaha membela Rama.
"Rama pasti tahu itu, kenapa membiarkan saja? Harusnya dihapus dong?" cecar Bi Atun emosi.
Bi Atun sangat merasa iba dengan keadaan Asri. Dia yang tidak mempunyai anak itu, sudah menganggap Asri anaknya sendiri.
"Keluarga Rama melihatnya, kenapa membiarkan kelakuan anak laki-lakinya, ya?" tanya Bi Atun masih dengan wajah marah.
Terdengar lagu berjudul "Manusia Bodoh" dari hape Asri. Bi Atun membaca nama yang tertera di layar, dengan marah.
"Foto profilnya wanita itu?" pekiknya marah.
Asri menempelkan jari di bibirnya, kode untuk Bi Atun diam. Dia tahu Rama sangat tidak suka kedekatannya dengan wanita berusia 57 tahun itu.
"Halo, Yah!" sapa Asri lembut.
"Eeh, masih hidup ternyata!" sahut Suketi, wanita yang kini tengah dekat dengan Rama.
"Kamu kenapa telpon? Mana Rama?" tanya Asri gusar.
"Hahaaa, kamu pikir Rama yang telpon? Duuuh, duuuh..., wajah sudah rusak, bau, masih berharap ditelpon laki-laki yang sudah menalak kamu! Sadar diri ya, Bu! Hahaaa....," ejek Suketi sombong, "Kamu kuat juga, ya? Delapan bulan masih hidup juga! Tapi takkan lama, haha....!" gelak Suketi sambil memutuskan sambungan telepon.
"Astaghfirullah al adzim...," ujar Asri dan Bi Atun berbarengan.
Asri merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut sangat menyakitkan.
"Bi, tolong ambilkan obat di situ!" pinta Asri dengan suara merintih.
"Astaghfirullah al adzim...!" seru Bi Atun beristighfar sambil gegas mengambil obat yang dimaksud.
Bi Atun tahu sekali, Asri pasti merasakan sakit yang sangat luar biasa. Dia sengaja menjauhkan obat itu, agar tidak sering mengkonsumsi.
"Bi, tolong jemput Nana, ya!" pinta Asri memelas, wajahnya sangat pucat.
Tubuhnya bergetar hebat. Bi Atun segera menyodorkan handuk kecil yang sudah direndam air hangat.
"Biar saya saja, Bi! Bibi jauh-jauh dari saya, takut Bibi ketularan!" ujar Asri lemah.
"Ini bukan penyakit sembarangan, Sri! Tidak menular seperti kata dokter!" sahut Bi Atun, sambil kembali menyerahkan handuk kecil lainnya.
Saat orang lain melihat jijik, wanita setengah baya itu tak merasakannya sama sekali.
"Sudahlah Bi! Tolong jemput Nana saja, ya!" pinta Asri lagi pelan, "Saya merasa mengantuk sekali!".
"Yaudah, Bibi jemput Nana, kamu tidur, ya!" saran Bi Atun sambil menepuk pelan bahu Asri.
Perlahan Bi Atun meninggalkan Asri, untuk menjemput Nana.
"Mama sakit lagi ya, Bu?" tanya Nana saat melihat Bi Atun menjemputnya.
"Tidak..., Ibumu tertidur setelah minum obat!" sahut Bi Atun mencoba menenangkan Nana.
Nana gegas melangkah agar segera sampai di rumah. Anak kelas tiga sekolah dasar itu, sangat paham ibunya. Ibunya takkan pernah tidak menjemput jika tidak dalam kondisi sakit parah.
"Nana, jalannya pelan-pelan!" pinta Bi Atun yang tergopoh-gopoh mengejarnya.
Nana mengabaikan dan tetap melangkah cepat.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Mama!" pekiknya keras.
Dia segera menghambur ke dalam kamar untuk melihat keadaan ibunya.
Tidak ada? Nana panik dan segera menghambur ke belakang rumah. Dia tidak ingin ditinggal ibunya ke rumah sakit, seperti beberapa bulan lalu.
Ibunya dirawat tiga minggu, karena pingsan. Nana menangis di rumah sendirian. Dia tidak pernah jauh dari sang ibu.
"Mamaaaa!" pekik Nana menghambur memeluk Asri, "Mama baik-baik saja, kan?" cecarnya sambil memandangi wajah ibunya yang dihiasi bekas bisul yang pecah.
Asri tersenyum, sembari berusaha melepas pelukan Nana.
"Na, jauh-jauh dari Mama, takut kamu ketularan!" seru Asri khawatir.
"Nggak, Ma!" sahut Nana sambil terus memeluk sang ibu, "Jangan sakit lagi, jangan tinggalin Nana lagi...!" pinta Nana memelas.
Bersambung....