Karya: Ersalrif
Di sebuah gang kecil di bagian selatan kota Jakarta, terdengar suara anak perempuan sedang membacakan puisi. Suaranya begitu menyentuh indra pendengaran. Tidak kencang namun jelas artikulasinya. Bahkan membuat beberapa anak, yang tadinya asyik bermain, turut memperhatikan dan menyimak puisinya.
"Wow keren!" bisik Teguh pelan.
"Ssst, diam!" sahut Sherly sambil melotot.
Teguhpun kembali menyaksikan penampilan Sasa dengan serius. Bahkan tiga kali Bu Opi mengulang pengambilan gambar, anak-anak itu tetap setia menonton.
"Oke bagus. Kita ambil yang ini saja!" ujar Bu Opi akhirnya.
Prok, prok, prok...
Terdengar riuh suara tepukan tangan.
"Eh!" pekik Bu Opi yang kaget melihat banyak anak di sekeliling mereka bertepuk tangan dengan antusias.
"Bu Opi!" ujar beberapa anak menghampiri dan segera mencium punggung Pustakawan sekolah itu.
"Kalian dari tadi di sini?" tanya Bu Opi sambil menyalami anak-anak itu.
"Iya, Bu!" sahut Sherly tersenyum manis, "pas lihat Kak Sasa datang bareng Bu Opi, kami jadi ikut nonton, deh!" lanjut lagi sambil menghampiri Sasa dan salam kepada sang kakak kelasnya itu.
"Kirain Kak Sasa itu cuma pintar menggambar saja, ternyata...," ujar Tata sambil memandangi Sasa yang tersipu malu, karena dipuji adik kelasnya.
"Sasa bisa menjadi contoh ya! Bisa menguasai bidang lain, jika kita punya kemauan untuk belajar." kata Bu Opi sambil merangkul Sasa lembut, "kamu pulang dulu, ya! Istirahat, agar lusa bisa fit, nanti diantar Pak Zulham, itu beliau sudah datang!" kata Bu Opi sambil menunjuk motor matic yang baru saja memasuki gerbang taman.
"Saya pulang dulu ya, Bu..., adik-adik semua!" kata Sasa melambai menjauh, setelah mencium punggung tangan Bu Opi.
"Hati-hati!" sahut Bu Opi berbarengan dengan anak-anak.
"Bu, Kak Sasa diundang ke hotel dan membacakan puisi di depan banyak pejabat, ya?" tanya Sherly dengan pandangan takjub.
"Iya, bukan hanya ke hotel, tapi juga ke GBK!" sahut Bu Opi sambil tersenyum.
"Ibu ikut mendampingi?" tanya Teguh kemudian.
"Iya, Mama Kak Sasa sedang sakit, jadi tak ada yang mengantar!" sahut Bu Opi sambil menggulung kabel yang tadi dipergunakan rekaman oleh Sasa.
"Kasian dan hebat, ya?" celetuk Tata pelan, "kasian, karena ibunya tak bisa mendampingi, tapi hebat banget, anak yatim bisa maju seperti itu!" katanya sambil bertepuk tangan dengan heboh sendiri.
"Naah, itu! Kalian yang memiliki keluarga lengkap, harus mencontoh semangat Sasa." ucap Bu Opi tersenyum, "Sasa yang anak yatim saja bisa, kenapa kalian yang punya keluarga lengkap dan mapan, tidak bisa?" kata Bu Opi menyemangati.
*****
Dua tahun kemudian, Sasa lulus dari sekolahnya dan melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama. Setelah melewati PPDB yang menegangkan, akhirnya Sasa mendapatkan sekolah berjarak 20 km dari rumahnya.
Akibat zonasi rumah yang masuk zona tiga, dan tidak ada satu sertifikat lomba pun bisa terdaftar di sidanira, dan ketambahan lagi usianya yang merupakan lulusan termuda, membuat Sasa harus rela mendapatkan sekolah yang jauh sekali.
Sistem zonasi meruntuhkan angan Sasa, untuk bisa sekolah dekat dengan rumah, demi bisa memangkas waktu, dan juga waktu. Kini Sasa harus berangkat pagi buta dan pulang saat matahari sudah tergelincir ke peraduannya.
"Tidak apa, Ma! Daripada di swasta, insyaAllah Sasa bisa koq!" ujarnya untuk menguatkan sang mama.
"Ini jauh banget, Nak!" sahut sang ibu getir.
"Yang penting sekolah negeri, Ma!" sahut Sasa pelan.
Dia memeluk ibunya, untuk mengusir kekhawatiran di wajah wanita yang melahirkannya itu.
"Maafin mama ya, Nak!"
"Apaan sih, Ma? Sasa sudah sampai sejauh ini, semua berkat mama" sahut Sasa sambil memeluk tubuh ibunya itu semakin erat, "Sasa yang harusnya minta maaf, karena di sidanira tercantum tanpa prestasi!" lanjutnya dengan suara bergetar, "Sasa harus terima keadaan sekarang ini, lagipula hanya tiga tahun, Ma!" ujarnya sambil tersenyun, menguatkan sang mama.
"Mungkin ini takdir, Nak! Harus sekolah jauh dengan predikat tanpa prestasi, namun bagi mama kamu sudah menjadi anak yang hebat." sahut sang mama lembut.
Saat itu ada banyak rasa bergelut dalam pikiran mereka berdua.
Sasa pun mulai belajar mandiri dalam waktu singkat. Berangkat ke sekolah dengan tiga kali sambung transportasi umum sendirian. Sang ibu juga berusaha untuk mempercayai putri sulung nya itu, walau rasa khawatir selalu menyesakkan dada.
Hingga suatu hari, Sasa menghampiri sang ibu dan menjelaskan tentang rahasianya.
"Ma, Sasa mau cerita tentang rahasia!" ujarnya dengan wajah menunduk.
Sang mama langsung pucat dan khawatir. Dadanya berdegup keras. Rahasia apa?
"Sasa punya komunitas, yang membahas tentang literasi, bolehkah Sasa mengembangkannya?" tanya Sasa sambil meletakkan kepala di pangkuan sang ibu.
"Astaghfirulloh al adziim..." pekik si ibu sambil mencubit pipi Sasa gemas.
"Sakittt, Ma!" sambil Sasa memonyongkan mulut.
"Masa sakit?" tanya sang ibu kesal.
"Heheee..." kekeh Sasa senang, karena bisa menggoda ibunya.
"Soal komunitas, mama sudah tahu kok!" sahut sang ibu tersenyum menggoda.
"Iiih, kok tahu sih?" rajuk Sasa merajuk.
"Hehe..., apa yang nggak ibu ketahui tentangmu, Nak?" sahut sang ibu sambil tersenyum, "kamu bisa mengembangkan komunitas itu, jika itu membuatmu bahagia." kata sang ibu melanjutkan lagi.
"Gerakan literasi keluarga kita tularkan kepada komunitas ya, Ma?" pekik Sasa semangat.
Sang ibu tersenyum dan memeluk erat putrinya itu. Beberapa ibu sempat menghubunginya terakhir ini untuk meminta Sasa membuka kelas. Sang ibu meminta mereka menunggu keputusan Sasa sendiri.
Sasapun sudah lama ingin menjadi seorang Relawan literasi. Baginya bisa berbagi di tengah kesulitannya adalah hal biasa. Ada panggilan di hatinya, saat bertemu Kak Asri beberapa minggu lalu.
Kak Asri tujuh tahun lebih tua, tapi pola pikirnya seperti anak usia tiga tahun. Tidak bisa berkomunikasi dengan baik, karena kurangnya kosa kota. Ternyata dari cerita temannya, Kak Asri ini diacuhkan orang tua, karena dianggap anak berkebutuhan khusus. Orang tua Kak Asri lebih fokus merawat adik-adiknya, yang dianggap normal.
Sasa seperti melihat dirinya waktu kecil, yang terabaikan karena kesibukan orang tuanya, bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Sasa beruntung, sang ibu tersadar, berhenti bekerja, dan melakukan gerakan literasi di keluarga, demi bisa menyupport Sasa.
Sang ibu melakukan membaca nyaring setiap hari, mengenalkan buku dan kegiatan membaca dengan cara menyenangkan. Sasa akhirnya mampu berkomunikasi dengan semakin bertambahnya kosa kota.
Itu melatar belakangi Sasa berkegiatan literasi di komunitasnya. Giat mengenalkan praktik baik sang mama di keluarga. Komunitas yang digawangi Sasa terus bergerak. Melakukan praktik baik dengan modal bismillah.
Prinsip Sasa adalah, melakukan praktik baik yang berdampak pada lingkungan dan masyarakat, tanpa harus menunggu menjadi kaya ataupun dewasa. Melakukan kebaikan, tidak selalu tentang berbagi uang. Berbagi ilmu dan pengalaman, itupun bisa menjadi hal baik.
Apa yang menurut kita biasa, mungkin bagi orang lain, itu hal yang luar biasa. Lakukan praktik baik dengan tulus, insyaAllah, akan ada jalan dari Tuhan.
Jakarta, 02 Juni 2024