Karya. Ersalrif
Tring!
Tring!
Suara hape terus berbunyi. Jeni meraih dan membaca satu persatu pesan di sebuah group. Dia berpikir mungkin ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Ma, aku berangkat main!" pekik Jena putrinya sambil berlari keluar.
"Eeeh, pamit ama orang tua begituuu!" omel Jeni sambil melotot.
"Jangan begitu, Ma! Seleeem...., iiiih!" seru Jeno putra bungsunya.
"Eeeh, ini lagiiii....!" pekik Jeni kesal.
Matanya tiba-tiba terbelalak melihat harga semangka yang dibagikan oleh salah satu anggota group tersebut.
"Murah amat!" pekiknya semringah, "bisa dibisnisin, nih!" serunya girang.
Tanpa pikir panjang lagi, jari-jemarinya dengan lincah membagikan foto semangka itu ke group lainnya.
Kring!
Kring!
"Beneran itu sebutirnya cuma dua puluh lima ribu, bagus nggak..., manis nggak?" tanya Mpok Tintin tanpa putus.
"Bener harganya segitu, dijamin bagus, dooong!" sahut Jeni meyakinkan.
"Kalo nggak bagus, saya balikin ya?" todong Mpok Tintin dengan suara melengking.
"Iya..., iya... garansi balikin barang kalo mengecewakan!" sahut Jeni bahagia.
"Oke, saya beli sepuluh!" kata Mpok Tintin, "sebentar saya transfer!" ujarnya sambil memutuskan sambungan telepon.
"Busyet dah, ini orang! Untung pelanggan royal. Kalo nggak, udah gue kepret, jadi perkedel, dah!" pekik Jeni, dengan wajah semringah.
Bagaimana tidak semringah, cuma modal hape dan share dagangan orang lain, dia bisa dapet uang banyak.
Harga yang ditawarkan dari penjual di group, semangka itu hanya seharga sepuluh ribu. Dia jual dua puluh lima ribu, masih lebih murah dibanding harga pasaran.
Tak berapa lama, Jeni sudah mendapat orderan 25 buah semangka. Dia segera menghubungi penjual, dan masih meminta potongan harga lagi.
Alhasil hargapun disetujui dan barang akan diantar setelah pembayaran lunas. Jeni melihat. Dia segera mengirim uang dengan M-banking.
Tiga jam kemudian, dia menerima buah-buah semangka itu di depan rumahnya.
"Waah, untung gede niih!" desisnya pelan.
"Ma, bagi dong!" ujar Jena sambil senyum-senyum.
"Ealah ini bocah, kerjanya main dan nodong orang tua aja!" pekiknya gusar, sambil terus menghitung semangka.
"Itu beli banyak buat apaan?' pekik Jena sambil manyun.
"Ya buat dijual lagi, laah!" sahut Jeni sambil melotot.
"Bagi dooong, Maaa!" rajuk Jeno ikut-ikutan meminta jatah.
"Iya-iya, niih ambil yang paling besar dan bagus!" ujar Jeni sambil mendorong satu buah, yang tampaknya paling bagus dari seluruh semangka itu.
Dia melihat hapenya dan memeriksa hape.
"Duuh, kenapa belum pada transfer, sih?" ujarnya dengan wajah kesal.
Satu persatu dia menelpon dan menanyakan kepada orang yang order.
Mereka semua tengah berkumpul di rumah Bu Tintin, dan meminta diantarkan ke sana.
"Iyalah, Jeng! Sekalian antar ke sini!" sahut Bu Tanu, Bu Diba dan Bu Sinti.
"Iya, iya..., saya ke sana!" sahut Jeni kesal.
"Untung dapet besar, kalo nggak..., iiish!" ujarnya kesal.
sambil menggerutu, Jenipun memasukkan semangka-semangka itu ke karung kembali, lalu mengikatnya di jok motor.
"Maaa!" panggil Jena dan Jeno.berbarengan.
"Ntar, Mama mau anter ini dulu!" sahut Jeni sambil mengegas motornya keluar rumah.
Dia tak mengacuhkan panggilan kedua anaknya.
Sesampainya di rumah Bu Tintin, dia segera menagih uangnya.
"Sabar, apa! Saya mau potong semangkanya dulu..." sahut Bu Tintin semringah, "cuaca panas gini seger kan, makan semangka!" katanya sambil menyuruh Bu Entin mengambil karung di jok motor Jeni.
Bu Entin sigap menurunkan karung itu. Walau usianya sudah sepuh, tapi tenaganya tak kalah dari Jeni yang masih berusia dua puluhan.
Bu Entin asisten rumah tangga Bu Tintin yang berpengalaman dalam hal memilih perbuahan dan persayuran.
Saat melihat semangka di karung Jeni, alisnya mengerenyit.
"Kenapa, Entiiin?" sergah Bu Tintin heran, "disuruh ambil dan potongin semangka, malah bengong?" tanya Bu Tintin kesal.
"Punten, Bu... Iniii mana bisa dimakan? Ini masih muda semua, Bu!" sahut Bu Entin sambil garuk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
"Masih muda, bagaimana?" sergah Jeni dengan kesal.
"Duh, punten Bu Jeni... Ini semangka masih muda semua, Bu! Kalo mau lihat semangka itu dari ini, dan juga warna kulitnya!" sahut Bu Entin menjelaskan.
"Coba sini saya yang belah!" ujar Jeni penasaran.
Dia meraih pisau yang tergeletak di lantai.
Sekali potong, semangka itu sudah terbelah sempurna dengan warna pucat.
"Waah beneran semangka muda!" pekik semua ibu-ibu di situ.
"Saya nggak jadi beli, ya? Semangka begitu, mana bisa dimakan?" celetuk beberapa ibu yang sudah pesan.
"Iya, saya juga!" sahut yang lainnya ikut-ikutan.
"Aduh!" ujar Jeni bingung.
Wajahnya pucat. Dia sudah menjanjikan garansi, jika semangkanya tak layak konsumsi.
"Entin, coba cari yang bagus, itu yang nanti kita bayarin!" kata Bu Tintin merasa kasihan melihat Jeni.
"Nggak ada yang bagus, Bu..., ini itu semangka muda... Kok, Bu Jeni mau-mauan  beli semangka gagal panen seperti ini, sih?' celetuk Bu Entin, sambil memeriksa satu persatu semangka itu, "beneran nggak ada yang bisa dipilih ini maah..."ujar Bu Entin di semangka terakhir.
"Balikin aja, Jeng!" kata Bu Tanu sambil geleng-geleng, dan menatap kasian ke arah Jeni.
Saat itu Jenipun merasakan seluruh persendiannya lemah lunglai.
Dia pulang ke rumahnya, dengan membawa serta semangka-semangka itu. Saat melewati meja makan, dia melihat semangka berwarna pucat teronggok di sana.
"Kamu beli semangka di mana? Semangka mentah, kok dibeli?" ujar Pak Nano sambil meletakkan semangka yang besar sekali di atas meja.
"Ma, semangkanya mentah!" ujar  Jena yang berlarian kecil dari luar, "ayah beliin yang guede itu!" katanya sambil menelan liur, melihat semangka yang dikeluarkan dari kantong plastik.
"Ma.., maaa?" panggil Jeno sambil mengguncangkan tubuh Jeni yang langsung lemas tak berdaya.
Jakarta, 02 Desember 2023