Karya. Ersalrif
Ana melihat putrinya pulang dengan wajah sedih. Dia melempar tas sekolah ke sofa, dan duduk dengan gusar di samping Putra, adiknya.
"Kakak, kenapa sih?" tanya Putra dengan tatapan heran.
Anggi mendengus dengan kesal. Tak ada sepatah katapun meluncur, dari bibirnya yang mengerucut itu.
Ana menghampiri keduanya, sambil menyodorkan segelas air dingin kepada Anggi.
"Minum dulu supaya adem!" ujarnya seraya duduk di sisi sang putri.
"Terima kasih, Ma!" sahut Anggi dengan lesu.
Dia langsung meneguk air dingin pemberian sang ibu. Cuaca memang sedang panas sekali, ditambah suasana hatinya yang penuh amarah.
Air di dalam gelas langsung tandas. Anggi menyeka bibirnya pelan. Dia meletakkan gelas di meja samping sofa. Tiba-tiba dipeluknya tubuh sang ibu sambil sesegukan.
"Laah, Akak iniii...!" sergah Putra bingung.
Reflek tangan bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu, mengusap punggung tangan sang kakak, yang tengah memeluk ibu mereka.
Dia sangat mengagumi sang kakak, yang berusia lima tahun di atasnya itu. Sang Kakak yang banyak menoreh prestasi, dan membuatnya sangat bangga.
Beberapa kali Putra ikut bersama sang ibu, untuk mendampingi sang kakak, mendapat penghargaan. Mendatangi beberapa tempat dan tokoh, yang hanya bisa dilihat di layar kaca.
Putra bertekad untuk mengikuti jejak sang kakak. Mengukir prestasi di setiap ada kesempatan. Dia juga ingin membuat ibu mereka bangga.
Kini dia melihat dua wanita yang dia cintai itu, saling berpelukan. Putra mendengar tangis sang kakak begitu sedih.
"Akak jangan nangis begitu, dong! Ade kan ikut sedih...!" bujuk Putra dengan suara bergetar, "ada yang nakalin Akak, ya? Bilang aja, siapa Kak? Nanti Ade balas!" ujar Putra tegas.
"Tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, Nak! Itu tidak baik..., tunggu Kakakmu selesai meluapkan emosinya dulu, nanti kita dengar penjelasannya, ya!" kata Ana lembut sambil mengusap kepala Putra.
Putra tersenyum, sambil menggaruk kepalanya, yang tak gatal itu. Anggi selintas melihat senyum adiknya itu. Hatinya terasa adem, saat melihat wajah Putra yang menggemaskan itu.
Dia beringsut dan mengusap air mata. Putra bergegas menyambar tisu, dan menyodorkannya kepada Anggi.
"Makasih, De!" kata Anggi sambil tersenyum.
Ana beranjak meraih gelas kosong, yang tadi diletakkan Anggi. Dia menuju kulkas, dan mengisinya lagi sampai penuh. Kembali dia menyerahkan gelas itu kepada Anggi.
Kali ini Anggi meminumnya sedikit, dan langsung meletakkan gelas itu di meja lagi.
"Anggi bersih-bersih dulu ya, Ma?" katanya sambil beranjak pergi.
Ana hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Awalnya dia ingin pergi bekerja, sepulangnya Anggi dari sekolah.
"Mama nggak jadi berangkat, kan?" bisik Putra sambil memeluk ibunya dengan manja.
"Melihat kakakmu seperti itu, mama nggak jadi berangkat, besok aja, deh!" sahut Ana tak kalah pelan.
Putra mengacungkan jempol sambil tersenyum bangga. Dia paham sekali sang ibu, yang selalu menjadikan kedua anaknya prioritas utama.
Walau sang ibu orang tua tunggal. Dia tahu persis, jika sang ibu akan selalu mengutamakan kepentingan anak-anaknya. Ana selalu berusaha ada di setiap anaknya membutuhkan supportnya.
"Ma, seberapa berartinya Anggi dalam hidup ini?" tanya Anggi tiba-tiba, "kenapa teman-teman Anggi di kelas tampak membenci semua? Anggi merasa tak punya siapa-siapa di kelas. Semua menjauhi Anggi...," katanya lagi dengan suara bergetar.
Ana memeluk tubuh putrinya, yang sudah duduk lagi di sampingnya. Diusapnya lembut punggung Anggi.
"Tadi mereka bersorak, saat ada pengumuman kalo Anggi gagal maju di babak final..., bahkan Ipah bilang akan mengajak teman-teman makan di kantin, untuk merayakan kegagalan Anggi. Tadi Anggi sempat dengar Nadira berkata -anak miskin aja belagu!-, Anggi sedih, Maaa!" lanjut Anggi sambil mengencangkan pelukannya.
Anggi terus meluapkan kesedihannya, tentang perlakuan teman-temannya di kelas. Ana terus mengusap lembut punggung Anggi, selama sang putri bercerita.
"Memang anak orang miskin tak boleh berjuang menoreh prestasi?" tanya Putra spontan.
Dia tak tahan untuk bertanya, karena mendengar cerita sang kakak. Anggi mengangkat kepala dan memandang adiknya dengan tatapan tak suka.
"Kata siapa, anak orang miskin nggak boleh berprestasi? Kita sekolah, harus bertekad untuk bisa berprestasi, apalagi kamu punya bakat!" sahutnya dengan emosi, "kamu jangan dengarkan apa kata orang, gali potensi diri kamu, dan berjuanglah untuk menorehkan prestasi, itu harus, De!" kata Anggi penuh semangat.
"Iya, Kak! Ade mau seperti Akak, bisa berprestasi dengan bakat Akak!" sahut Putra dengan sorot mata bangga, "Akak itu panutannya Ade, semangat!".
Dia mengepalkan tangan, sambil tersenyum.
Anggi tersenyum puas.
"Ayo semangat untuk berprestasi dan belajar, De!" sahutnya sambil mengepalkan tangan.
Ada pelangi di sorot mata Anggi. Aura positif Putra tertular begitu mudahnya. Ana tersenyum melihat keceriaan sudah tergambar di wajah Anggi.
Rasa sedih di hati Anggi menguap begitu saja. Semua kesal, marah dan kecewa atas perlakuan temannya di kelas, pergi setelah Anggi mencurahkan perasaannya di pelukan sang mama.
Adiknya juga selalu berhasil, menularkan aura positifnya. Putra selalu mampu menularkan keceriaan pada ibu dan kakaknya. Mereka selalu mendukung dengan caranya masing-masing.
"Maaf ya, Ma!" kata Anggi sambil memeluk dan mencium pipi Ana cepat, "gara-gara Anggi, mama pasti batalin orderan sore ini, deh!" ujar sambil tersenyum manis.
"Nggak apa, kerjaan tidak akan ada habisnya, kalo diturutin. Yang penting mama ada di samping kamu dan Putra, saat kalian butuh bahu untuk mencurahkan hati, uhukh!" sahut Ana sambil pura-pura batuk.
"Iiish, ngeledek!" rajuk Anggi sambil tersenyum malu.
"Putra sayang Akak dan Mama!" sergah Putra sambil memeluk erat Ana dan Anggi.
"Sayaaang Ade jugaaa...!" sahut Ana-Anggi berbarengan.
Terdengar tawa ceria dari rumah itu. Drama kesedihan Anggi hanya sebentar saja. Meledak di pelukan sang ibu, dikomentari polos adiknya, dan semua berakhir dengan manis.
Semburat senja terlukis indah di langit Jakarta. Ketiga pejuang mimpi itu tersenyum sambil berpelukan erat, dalam gelora semangat.
Anggi memantapkan hati, untuk giat belajar lagi. Kegagalannya kali ini, takkan mematahkan semangatnya. Banyak mimpi yang ingin dia wujudkan. Kegigihan ibunya dalam memperjuangkan hidup anak-anaknya, menjadikan Anggi termotivasi.
"Aku tak boleh mengecewakan harapan Mama dan Adekku!" kata Anggi bergumam lirih.
Tamat.
Jakarta, 31 Juli 2023