Karya. Ersalrif
Laju motor matik itu, berjuang dengan gigih menembus jalan rusak perkampungan. Sedangkan pikiran Marko sudah berada di Jakarta, mendahului raganya, yang masih dalam perjalanan.
"Ayah akan segera datang, Nak!" ujarnya berbisik, untuk menyemangati diri.
Dia bertekad untuk menjenguk putra-putrinya hari itu. Walau Yayah, sang istri muda tak merestui kepergiannya.
"Untuk apa ke Jakarta? Bilang aja kamu kangen istri tuamu itu, hah..." pekik Yayah seraya menghentakkan kaki dengan kesal, "seperti tak tahu malu, menghampiri orang yang sudah kau khianati, dengan alasan kangen anak. Modussss!" sergahnya sambil melemparkan gelas, yang bisa diraihnya.
Prang!
Suara gelas itu memekakkan telinga, dan juga kenangan Marko akan Elis. Istri yang sudah dia campakkan, demi kesenangan pribadi.
Lengannya tersayat serpihan gelas, yang terpental. Dia hanya diam. Matanya menatap goresan beling, yang meneteskan darah.
Ingatannya ditarik paksa, saat dia berada di pintu ruang operasi.
"Pak Marko, saya turut berduka cita, ini jenazah bayi anda, segera dikebumikan ya, Pak!" ujar Suster Ayoh, sembari menyerahkan bayinya yang membiru.
Mata Marko terbelalak melihat istrinya menangis di atas meja operasi. Ada darah sempat terlihat olehnya. Para dokter tengah sibuk menangani operasi cesar. Pintu ruangan itu tertutup. Marko tetap membeku dengan bayi yang berada di pelukannya.
Darah itu mengalir deras, namun tak sederas darah penyesalan, yang merembes di dinding kenangannya.
"Aaargh...!" erangnya pelan saat roda motornya selip dan nyaris tergelincir di jurang.
Dia mengusir semua rentetan kenangan, yang membuatnya tak fokus. Dia menembus rintik hujan.
"Mang, mau ke mana?" tegur suara halus yang sangat dia kenal.
"Eh, mau ke Jakarta!" sahutnya seraya mengerem motor.
Matanya mencari asal suara itu. Tak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya meremang, saat mengenali sebuah gubuk tua, tempatnya dulu "bermain api", dengan Yuli, istri orang.
"Aaargh!" dengusnya kesal, "masa iya ada setan lepas di bulan puasa?" ujarnya seraya melarikan motor.
Hari sudah malam. Dia harus segera sampai ke Jakarta, sebelum tengah malam lewat. Yayah mengancam akan bunuh diri, jika esok hari dia tak menemaninya shalat Idul Fitri.
Jam baru saja menunjukkan pukul 21.34. Laju motornya sudah menembus jalanan Pondok Gede.
"Ayah!"
Marko melihat seorang gadis kecil bertubuh sangat kurus, tengah melambai dan tersenyum semringah ke arahnya.
"Key?" desisnya tak percaya.
Mata Marko memanas. Dia segera menghampiri gadis itu.
"Ayaaah!" pekik gadis itu seraya menghambur dan menangis dalam pelukannya.
Marko memeluk erat tubuh kurus gadis itu. Perasaan baru kemarin, gadis itu hanya bisa meraih pinggangnya. Kini gadis itu sudah tumbuh begitu pesat. Tingginya sudah sama dengannya.
"Akak, ayo kita pulang! Mama di rumah pasti khawatir!" tegur suara cadel seorang bocah laki-laki berusia sekitar enam tahun.
Mata bocah itu menatap tajam Marko. Ada sorot tak bersahabat di matanya.
"Ini adikmu?" tanya Marko seraya menatap ramah pada sang bocah itu.
"Iya, dia adikku, yang lahir saat ayah tengah terjerat cinta Sukriati!" sahut Key ketus.
"Diaa...?" tanya Marko dengan suara getir.
Berarti omongan Elis saat itu benar. Dia tengah mengandung. Tapi Marko tak percaya, karena sepengetahuannya, Elis sudah steril, setelah kematian anak mereka yang kedua.
"Marko, tolong pulang dulu... Aku hamil..." kata Elis 7 tahun lalu tersedu di telepon.
"Hamil? Ngigau luuuu...!" sahutnya dengan kesal.
"Iiish, udah matiin aja telponnya!" sentak Sukriati geram.
Tangannya langsung meraih hape Marko dan langsung mematikan dengan cepat. Gadis itu lalu menenggelamkan Marko dalam permainan haram. Marko lupa segalanya.
Dia melupakan anak istrinya, dan berpetualang bersama Sukriati. Gadis muda yang membuatnya lupa diri, sejak awal pertemuan mereka.
Kini, setelah tujuh tahun berlalu, dia melihat anak laki-laki tampan itu. Anak yang menatapnya dengan sengit.
"Siapa namamu?" tanya Marko sambil mencoba meraih tubuh mungilnya.
Anak itu berkelit menghindar. Tangannya sigap menarik tangan Key, sang kakak untuk pergi.
"Kak, kita harus segera pulang!" ujarnya garang.
"Iya, De!" sahut Key cepat, "tapi sebentar dulu, Akak mau bicara dengan Om ini!" kata Key, yang membuat mata Marko mendelik.
"A-aaapa?" sentaknya sedikit kesal.
"Hehe.... Maaf! Inget dulu, saat ayah meminta Key, untuk panggil Om di hadapan Tante Kunti itu..." celetuk Key nyengir, sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Wajah Marko sontak memerah. Ucapan Key menyeretnya ke memori delapan tahun lalu. Saat Marko meminjam mobil iparnya, untuk bergaya di hadapan Sukriati.
Untuk melancarkan modusnya itu, dia membawa Key, putri semata wayangnya. Iparnya meminjamkan mobil.
Marko meminta Key, memanggilnya "Om".
"Aaargh!" dengus Marko seraya mencengkeram rambutnya keras.
Betapa bodoh dan kejamnya dia dulu. Berselingkuh di hadapan putrinya sendiri. Entah apa yang sudah merasuki jiwanya saat itu. Maksiat dengan entengnya.
"Yah, mungkin ini kesempatan terakhir untukmu untuk minta maaf pada mama!" kata Key, menghentakkan kenangan Marko.
"Apa mamamu mau memaafkan ayah?" tanya Marko lesu.
Dia menyadari kelakuaannya, yang sangat tak berperasaan. Mencampakkan istri yang tengah hamil, dan melontarkan kata-kata kejam, di saat sang istri tengah bertaruh nyawa melahirkan sang buah hati.
Menurut perkiraan Marko, anak laki-laki itu, pasti dilahirkan saat bulan ramadhan. Saat itu Elis sempat menelponnya, dan Marko tak menggubrisnya sama sekali.
Marko terus menatap bocah laki-laki itu. Namun yang ditatapnya, membuang pandangan ke suatu gang, dengan sorot khawatir.
"Coba dulu!" sahut Key tegas.
"Yaudah, ayah anterin kalian pulang!" sahut Marko pelan.
Dia menyalakan motor matiknya. Dengan bujukan yang alot, akhirnya Key mampu membujuk Rama untuk ikut.
Mereka sampai di sebuah rumah kecil.
"Di sini kami sekarang tinggal!" ujar Key pelan.
Rama segera turun dan berlari masuk ke rumah. Tak lama muncul perempuan yang membuat hati Marko berbunga-bunga.
Walau sudah berpetualang sekian lama, Elis masih tetap menguasai hatinya. Masih ada cinta yang begitu besar untuk sang istri.
Marko tak mengerti, mengapa dia meperlakukan wanita yang begitu dicintai, sebegitu kejamnya.
Elis melihat putrinya bersama laki-laki, yang sudah dianggapnya mati.
"Key, masuk ke rumah!" perintah Elis tegas.
"Ya, Maaa..." sahut Key pelan, "maaf, Yah. Key masuk rumah dulu, ya?" katanya kepada Marko seraya mencium lembut punggung tangan Marko lembut.
Air mata Marko meluncur deras. Dia ingin masih ingin memeluk tubuh kurus putrinya itu. Tapi dia sangat sadar diri. Kesempatan ini, berkat kebaikan hati sang putri.
Dia hanya mampu memandangi punggung putrinya menghilang di balik pintu.
"Aaargh!" desis Marko pedih.
Dia teringat tujuh tahun lalu, putrinya meraung menahannya. Tapi, Marko tetap meninggalkannya sendirian. Marko memilih pergi berpetualang bersama wanita-wanita penggoda.
"Apa kabar, Marko?" tegur Elis sambil menyilangkan tangan di dada.
Marko menghembuskan napas berat. Dia melihat tatapan sedingin es itu. Tubuhnya membeku. Padahal dia ingin sekali berlari memeluk wanita itu.
"B-bbbbaik, Lis!" sahut Marko gagap.
"Kamu sudah melihat anak-anak, kan? Sekarang pergilah jauh-jauh, jangan kau buat hidup kami ricuh lagi!" ujar Elis tegas.
"Maafkan aku Elis!" ujar Marko cepat.
Elis tersenyum dingin. Marko terpana. Dia merasakan pembatas yang sangat tebal, antara dirinya dan Elis. Batas itu akibat perbuatannya di masa lalu.
"Aku sudah memaafkanmu, jadi pergilah dengan tenang!" sahut Elis pelan.
Wanita itupun berbalik dan tubuhnya segera menghilang di balik pintu, sama seperti Key.
Marko berteriak putus asa. Dia ingin memeluk Elis, Key dan juga Rama. Anak istri yang sudah dia buang demi wanita murahan seperti Sukriati.
Dia dapat melihat Elis, Key dan Rama, sudah begitu bahagia melupakan dirinya yang terus merana. Marko juga bisa melihat Sukriati, yang kini sudah menikah. Gadis muda penghancur rumah tangganya itu, kini tertawa sambil menangis. Entah kenapa? Marko tak perduli.
Bahkan Marko tak perduli, pada Yayah, istrinya yang dinikahi di bawah tangan itu, pergi menyelinap dengan pria lain.
"Ini hukuman untukku. Dulu aku juga suka menyelinap dengan istri orang, haha...." ujar Marko tertawa keras.
Marko mencoba ikhlas. Saat gema takbir berkumandang. Dia tersenyum melihat kebahagiaan Elis, Key dan Rama. Dilihatnya ketiga orang itu bergandengan tangan, dengan senyum semringah.
"Berbahagialah kalian!" gumam Marko pelan, sembari menitikkan air mata.
Penyesalan memang selalu datang di akhir, karena yang datang di awal itu disebut pendaftaran.
Jakarta, 21 April 2023.