Ya, barangkali balas saya.
Sebab rata-rata orang yang masuk NII KW9 mengandaikan adanya satu kesadaran yang utuh mengenai Islam. Mereka lalu menemukan bahwa istilah ‘hijrah’, ‘futuh’, ‘infaq’, ‘mas’ul’ dan lain-lain sebagai bagian dari ‘kesadaran’. Untuk menguatkan kesadaran –sebab kesadaran pasti butuh subjek, mereka kemudian perlu mengganti nama. Bambang jadi Akhbakhul Hakim. Poniman jadi Imam-us-Syaithon, Surono jadi Syekh Panji Tukangbangunan dan lain sebagainya. Dengan nama baru, mereka telah ‘berbeda’ dengan yang lainnya.
Lalu orang yang “belum mempunyai kesadaran” dengan gampang dilabeli “kafir”. Dengan itu; penipuan, penculikan bayi, maling, membohongi orang tua dilihat sebagai tehnis belaka. Meski komentar Gus Dur; “tehnis mbahmu. Nipu ya nipu…!”
Orang-orang yang bergabung dengan NII KW9 akan selalu bilang mereka paling punya kesadaran, sedang orang lain tidak sadar (dalam hal ini mereka menggunakan term ‘kafir’). Buat mereka, anggota NII KW9 yang memisahkan diri dari NII KW9 bukanlah orang yang sadar dan bertaubat melainkan “orang yang bergabung kembali ke jamaah orang-orang yang tidak sadar dan kafir”.
Inilah barangkali ilusi kesadaran yang dimaksud McGowan. Sepanjang kita selalu mengandaikan adanya ‘kesadaran yang harus dicapai’ sepanjang itu pula kita buta pada fakta bahwa “kesadaran selalu ditambah, dikurangi, diedit, dimanipulasi seperlunya dalam peristiwa sejarah”. Dengan kata lain, kita buta bahwa kesadaran dan ketidaksadaran hanyalah ilusi….
*)Dipublish juga disini