- Heraclitus
Suatu malam Jum’at, pada masa kecil saya teringat. Tidak indah betul memang, tapi masa kecil tiap orang selalu bisa diceritakan, selalu bisa disombongkan. Malam jumat adalah ‘malam ratiban’. Malam dimana ada tahlilan ‘extra’ dan setumpuk nasi ratib yang tersedia bagi peserta tahlil di masjid desa Banjarsari.
Tak ada yang istimewa dari nasi ratib. Cuma nasi yang dibungkus daun pisang, sejumput ‘krawu’ (sejenis urap) dan tempe bacem yang dibelah-belah hingga tiap bungkus hanya dijatah setengah. Jika ada yang punya hajat, misalnya slametan, syukuran, dan lain-lainnya, ratiban akan jadi agak istimewa. Bisa jadi akan ada telur, atau daging ayam jika saja mujur. Tapi, namanya juga istimewa, lauk telur atau daging ayam mesti jarang terjadi. Durasinya bisa dua atau tiga bulan sekali.
Bagaimanapun sederhananya nasi ratiban, ia menyihir saya dan beberapa teman datang ke masjid. Memang tak banyak menambah makmur masjid. Yang pupuk bawang seperti kami, paling cuma nambah setengah shaf saja. Itu saja sudah syukur. Kadang, kalau kami sedang kepingin mbeling atau nakal, kami sengaja tak ikut jamaah isya. Ketika jamaah sedang sujud, beraksilah gerombolan kami mengembat beberapa bungkus nasi ratib. Ke masjid kami datang, tapi ya itu…cuma sampai serambi depan, ngembat ratib, lalu pulang!
Dari Mbah Putri saya tahu kalau ratiban sudah lama dilaksanakan. Sejak desa saya ada. Itu berarti sejak abad 18, ketika status resmi desa kami adalah perdikan sebelum dibekukan berdasarkan surat Paduka Yang Mulia Soekarno tahun 1964.
Kadangkala, tambah Mbah Ti, ada orang lain kecamatan atau kabupaten sengaja datang ikut tahlilan dan mengambil nasi ratib. Konon, ia sangat mujarab sebagai obat. Pernah seorang yang sakit lumpuh, setelah beberapa kali makan nasi ratib, sembuh total. Anda bisa percaya, bisa saja tidak, tapi kata Mbah Putri, “Jangan lihat ratibnya, tapi lihatlah barokah tahlilannya. Dan barangkali, Gusti bisa hadir di bumi dengan apa saja…”
Sekarang, jaman telah sukses menghapus beberapa ‘kebiasaan lama’ di desa saya; termasuk ratiban. Semua hal tersebut dianggap sebagai bukan bagian Islam. Padahal ratiban telah diyakini selama kurang lebih 2 abad di desa kami yang notabene adalah perdikan. Perdikan pada umumnya selalu berhubungan dengan bidang keagamaan jaman kesultanan dulu.
Mengapa kemudian dengan mudah ratiban dibahasakan sebagai ‘bid’ah’, sebagai yang bukan bagian dari Islam?
Barangkali hal ini sama halnya dengan Serat Manikmaya yang dikarang Ronggo Penambang, lurahing punggawa Mangkunegaran itu. Serat yang pernah diterjemahkan oleh Dinas Pendidikan Kebudayaan pada tahun 1970-an itu saya baca setahun yang lalu.
Jika anda membaca permulaan serat yang ditulis abad 18 itu, anda pasti tahu bahwa serat tersebut telah disahkan oleh ijma dan ijtihad. Ijma’ dan ijtihad yang barangkali cukup aneh. Aneh karena dalam serat itu, si Ronggo itu begitu fasih mendeskripsikan bagaimana kehidupan Dewa-Dewa dan Batara yang barangkali berkebalikan dengan term megah Ijma dan Ijtihad. Atau jangan-jangan begitulah bentuk ijma dan ijtihad pada abad 18 lalu?
Jika benar begitu, siapa yang aneh; kita yang hidup di jaman sekarang atau mereka yang hidup dahulu? Atau barangkali lebih baik, kita katakan saja; pikiran manusia masa lalu dan pikiran sekarang adalah sama-sama aneh?
Jika aneh? Dimanakah berpikir benar itu?
Atau jangan-jangan berpikir benar adalah mengenali sendiri bahwa pikiran kita teramat aneh? Sebab hanya dengan itu pikiran kita tidak menganehkan masa lalu, lalu memuja masa sekarang atau juga sebaliknya. Sebab hanya dengan itu kita tak tertipu pada pemujaan ruang-waktu tertentu. Karena, katanya, ruang-waktu tidak ada, yang ada cuma kekosongan tak terbataskan, atau sebut saja, nir dari vana.
Entahlah…
*) remake tulisan lama