Menulis di Kompasiana adalah mudah sekaligus juga tidak. Bukan masalah menulisnya akan tetapi ”cara membaca” di Kompasiana. Karena menulis bukanlah apa-apa tanpa adanya membaca.
Sejarah membuktikan bahwa di Nusantara penjajah sebenarnya sangat mempermasalahkan logika pembacaan. Tulisan telah ada sejak dahulu kala, namun yang menjadi problem adalah masalah membaca.
Van Der Chisj menulis; ”Penduduk Bumiputera mengenal dua cara membaca; pertama, dengan cara seperti kita, bedanya mereka jarang memahami tujuan resitasi; kedua, membaca dengan cara menyanyikannya (nembang maca). Mereka hanya menggunakan cara pertama, apabila cara kedua tidak mungkin, karena bagi mereka cara kedua pasti sangat digemari dan betul-betul dirasakan sebagai cara yang benar”. (1867b; 7 dalam Moriyama, 2003; 57)
Pendirian sekolah-sekolah (melalui Trias Van de Venter) mengajarkan ’baca tulis’ untuk menghabisi dua jenis model pembacaan itu. Dengan demikian penjajah dapat mengajarkan bahwa buku adalah untuk dibaca secara rasional dan bukan dikeramatkan seperti halnya manuskrip kuno.
Meski begitu model pembacaan mendaras Al-Quran (membaca tanpa tahu artinya) masih banyak dipraktikkan hingga sekarang. Van Der Chisj saat itu lupa bahwa ia memaksakan ”membaca untuk mengerti dengan rasional’ pada orang Jawa yang terbiasa ”membaca untuk merasa dengan hati”.
Dari situ kita tahu bahwa kalaupun katanya peradaban digerakkan oleh tulisan, maka itu hanya terjadi akibat adanya ’rezim pembacaan’. Jadi, di tangan ”model pembacaan”-lah tulisan akhirnya harus dinilai.
Lalu bagaimana dengan cara membaca di Kompasiana? Yang kita punya cuma ”model pembacaan web 2.0”. Sepanjang kita disini, akan selalu ada dialektika "tulisan berbobot" vis a vis "hit/rating".
Tapi, ya sudahlah, saya tak mau memperpanjang bicara, dan mari menulis saja. Masalah itu hanya terjadi di sini, dan di sini adalah di sini dimana tulisan adalah tulisan (beserta masalah ”cara membaca”), sedang penulis adalah hal lainnya...