Di pihak lain, ketika kita bicara bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa lokal-lah yang terbiasa salah. Ia dianggap ‘bukan Indonesia’ atau bahkan gejala etnosentrisme. Anehnya kita meratapi betapa banyaknya jumlah serapan bahasa Indonesia dari bahasa asing ketimbang bahasa daerah.
Membaca banyak artikel dengan bercampur bahasa daerah selayaknya membuat kita gembira. Bukan hanya pada isinya. Akan tetapi pada tebaran kalimat bahasa daerah yang membaur di antara bahasa Indonesia.Hal ini bukan gaya menulis semata. Meski banyak menggunakan bahasa daerah, namun menurut saya, ia ‘lebih Indonesia’ ketimbang tulisan yang melulu bicara kaidah atau baik dan benarnya bahasa Indonesia.
Masalah Aksara Latin
Mengapa begitu mudah bahasa Indonesia menyerap bahasa asing? Beberapa meyakini karena kita senang istilah bule. Yang lain mengatakan kebanggaan kita berbahasa Indonesia sudah turun. Padahal, penyerapan bahasa asing oleh bahasa Indonesia adalah niscaya! Ya, niscaya ketika aksara latin menjadi elemen dasar tulisannya.
Aksara tidak netral, ia terkait juga dengan kekuasaan. Kenyataan penggunaan aksara yang beragam di wilayah Sunda misalnya, mestinya tidak dimengerti sebagai riwayat sejarah belaka. Penggunaan aksara Sunda Kuno, kemudian juga aksara arab (pegon) adalah bukti aksara terkait dengan kuasa. Pun demikian dengan aksara latin yang kita pergunakan sekarang.
Kemampuan baca-tulis aksara latin, menurut Mikihiro Moriyama, tak lepas dari ilham buku-buku sekolah yang terbit di bawah pengawasan pemerintahan kolonial (Belanda) (Moriyama, Semangat Baru. 2003; 78).
Doenia Bergerak (1915), sebuah surat kabar yang merupakan monumen pergerakan nasional, masih mencantumkan aksara Jawa dalam beberapa teksnya. Tak jelas apakah karena Mas Marco dan penulis-penulis di situ ingin keren-kerenan atau menghindari sensor. Kalau sebabnya yang kedua, berarti ada kesadaran aksara jawa hanya dipakai dan dimengerti kalangan tertentu. Artinya, aksara jawa sudah “tidak umum” ketimbang aksara latin.
Dominasi aksara latin terhadap aksara lainnya mungkin diawali praktik percetakan dan pengajaran, akan tetapi yang tidak boleh kita lupa adalah peran Sumpah Pemuda. Sumpah itu mengikrarkan penghormatan pada satu bahasa; bahasa Indonesia, dengan menyisakan pertanyaan; apa aksaranya? Sumpah Pemuda mengikrarkan beberapa perkara dengan menyembunyikan perkara lainnya. Kebungkaman Sumpah Pemuda ikhwal aksara diperoleh dengan menganggap selesai perihal aksara, sehingga menegaskan aksara latin sebagai aksara Indonesia. Dengan demikian lagi, melancarkan peminggiran aksara lainnya, misalnya aksara sunda kuno dan aksara jawa misalnya sebagai “aksara daerah” atau aksara arab sebagai “aksara agama”.Sumpah Pemuda, adalah hasil sukses latihan dan disiplin aksara latin pemerintahan kolonial mulai tahun 1800-an melalui sekolah, surat kabar dan bentuk-bentuk praktik aksara latin lainnya.
Sementara Sumpah Pemuda bekerja dengan kebungkaman, lain halnya dengan novel “Sengsara Membawa Nikmat” karangan Tulis Sutan Sati yang secara kebetulan juga terbit pada tahun 1928. Diceritakan bahwa seorang Midun yang alim dan bersahaja, masuk penjara karena ia cuma kenal aksara arab. Ia tertipu perjanjian yang ditulis dengan aksara latin. Akhirnya, setelah ia dilatih baca-tulis latin oleh seorang narapidana di sebuah penjara, ia berhasil menjadi asisten demang. Dengan novelnya, Tulis Sutan Sati tegas membilang bahwa ‘kesadaran’ hanya bisa dimiliki dengan aksara latin. Aksara arab (bawaan periode Islam) hanya membuat bangsa ini tertipu seperti Midun.
Moriyama meyakini bahwa revolusi aksara pada akhirnya memunculkan perasaan sebagai kelompok yang baru (Moriyama, 2003; 78). Dengan aksara itu, Indonesia terasing dari peradaban Nusantara sebelumnya. Indonesia adalah “makhluk baru”, sedang Sriwijaya, Kutai dan lain-lainnya adalah “makhluk lainnya”.
Aksara latin memungkinkan kita terus belajar pada bangsa asing. Cukup dengan satu kali pemindahan huruf, maka logika orang Indonesia akan berganti dengan logika orang Inggris atau Amerika. Sebaliknya, betapa susah anak bangsa sekarang membaca kebudayaan nenek moyang melalui aksara yang ada dalam sebuah prasasti atau lontar.
Inilah masalah besar kita dalam menghadapi dominasi bahasa asing. Kalau begitu, meski kita memandang sinis posisi Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan (1934-1939) yang mengusulkan pengadopsian budaya barat sebagai model kebudayaan Indonesia, pada kenyataannya, usulan itu sudah kita lakukan. Pembaratan mengakar sejak aksara latin diakui, secara diam-diam, sebagai aksara Indonesia.
Bahasa Indonesia Sebagai Medan Pertempuran
Adalah tidak mungkin kita kembali memakai aksara lama; Pallawa atau semacamnya. Aksara latin sudah menguasai segala bidang kehidupan. Ketika peradaban berdasar pada tulisan, nasib bahasa Indonesia pun bergantung pada aksara latin-nya. Dengan aksara ini, bahasa Indonesia membuka diri pada istilah apapun, baik asing dan lokal. Bahasa Indonesia, dengan demikian, menjadi sebuah medan pertempuran. Masalahnya, setiap hari teknologi juga informasi memperkaya bahasa Indonesia dengan istilah asing, sementara istilah lokal didiskualifikasi. Pertempuran pun berjalan tidak seimbang.
Di titik inilah, artikel berbahasa Indonesia dengan campuran bahasa lokal menjadi penting. Artikel semacam ini memperjuangkan terus istilah lokal menjadi Indonesia. Dengan semangat seperti ini, niscaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kaya akan bahasa kita sendiri. Bahasa Indonesia akhirnya benar-benar menjelma menjadi bahasa persatuan yang tidak hanya mendesak bahasa lokal dan menyilakan bahasa asing. Amin.[]