Mei-Mei terlihat lahap sekali.
Di sinilah menariknya... Saat Upin dan Ipin melihat sate yang dimakan, Mei-Mei nampak lezat dan bilang bahwa mereka ingin mencicipi sate tersebut, Mei-Mei langsung heboh,
"Heeeeiiii! Tak boleh, tak boleh. Kau orang tak boleh makan ini, maaa..." Upin dan Ipin mengeryit, "Kenapa tak boleh?"
Gadis China berkacamata itu terlihat bingung, berfikir, sebelum akhirnya berkata, "Emm... Tak tau! Pokoknya kata Mama saya, orang melayu tak boleh makan daging ni..." Saya tentu paham yang dimaksud Mei-Mei di film ini, pastilah sate babi. Babi adalah makanan haram untuk orang Islam. Hanya saja, mungkin karena masih TK, ia tak bisa menjelaskan maksudnya dengan gamblang kepada kedua sahabat kembarnya itu.
Luar biasa! Itulah toleransi. Dan, anak sekecil itu bisa mempraktikkannya.
Dengan menghormati keyakinan dan hak orang lain, maka takkan ada ribut di sana sini. Lain Upin Ipin, lain pula kampung kelahiranku, kampung Ciwalen, kampung kecil yang terletak di kota Garut, 67 kilometer dari Bandung, atau sekitar 130 Kilometer dari kota Jakarta. Kota yang dikelilingi oleh 3 gunung besar, Gunung Guntur, Gunung Karacak, dan Gunung Cikuray. Di sanalah saya dilahirkan, dan yang paling berkesan dengan kampung kelahiran adalah, tertanamnya toleransi antarsesama. Saya tinggal di Kampung Ciwalen, sejak lahir sampai kelas 3 SMP, untuk selanjutnya, pindah ke kampung lain, tepatnya di belakang kantor Pemda Garut, namun kenangan akan kota kelahiran, begitu paling membekas,sampai saya sekarang menikah, dan mengembara di Kota Cianjur. Betapa kerukunan antartetangga sangat terasa, padahal di kampung Ciwalen begitu beraneka ragam, baik itu suku, agama, etnis. Saya masih ingat, betapa orang orangnya saling menghormati dan menghargai...dapat dibayangkan, sekelompok minor kaum etnis, dapat dengan nyaman berada di lingkungan mayoritas, terbukti dengan bertahannya mereka karena selalu tolong menolong, itu yang dapat ditangkap mata saya, yang pada saat itu berumur 13 tahunan. Betapa suku pendatang (Batak, Jawa nonbarat, Sumatra, Sulawesi) dapat berbaur dan bersatu, dengan segala keunikannya. Ada Ma Edoh, pecandu film dan musik India, yang dengan bebasnya menyetel musik musik irama Gangga, atau Om Isak, pendatang asal Ambon yang selalu bermain band, Pak Taslim, ustadz dari Aceh yang selalu mengajak ke mesjid dengan suara khasnya, atau Bang Boy, pedagang kain asal Batak. Semua nampak dapat berkolaborasi dalam keharmonisan. Bagaimana Om Isak dapat merayakan Hari Natalnya, atau pasangan chines "Chi Yuyun dan Bien sie Liem" dapat menikmati imleknya, dan tentu saja, Ceu Edoh, Si pecandu film India dengan Hari Lebarannya.... Memang itu secuil contoh kecil rekaman manis tentang toleransi. Tidak pernah terdengar adanya hal hal yang membuat dada dan nafas menjadi sesak, atau telinga menjadi merah, atau darah menjadi naik mendadak. Beda dengan sekarang. Semua yang berbau toleransi seakan semakin menjauh, menjauh dari negeri kita ini. Saya dapat rasakan suasana di negeri ini jadi panas. Salah satunya karena tidak adanya lagi toleransi. Tak mau toleransi. Tak mau menghargai hak dan keyakinan orang lain. Akhirnya, sudah seperti yang kita lihat saat ini. Rusuh di mana-mana. Media sosial jadi ajang saling umpat, saling ejek, saling hukum. Ironisnya, semua kegerahan ini ternyata dimulai oleh sikap tak elok dari oknum petinggi negara ini. Dia yang dianggap sebagai panutan. Dia yang ekstravaganza dengan janji-janji, padahal keinginan rakyat, sangatlah sederhana...sederhanakanlah janji janji. Dia yang diharapkan menjadi contoh untuk masyarakat kecil bagaimana hidup bermasyarakat. Dan dia yang selalu berteriak, "Bhineka Tunggal Ika." Sudah nonton Upin & Ipinkah, Pak? Penulis, Anggota Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat