Sebenarnya, ini kali kedua saya mendaki Gunung Papandayan. Gunung yang berada di kabupaten Garut ini memiliki eksotisme tersendiri, sehingga tak heran jika ada yang mendaki gunung ini berkali-kali, bahkan belasan kali. Bosan? Entahlah. Sepertinya bagi orang-orang itu, mendaki gunung ini tak ubahnya seperti bermain di halaman.
Pendakian pertama kalinya di tahun lalu (2012). Saya pergi bersama teman-teman, Sieling Go, Lulu Luciana, Tjandraningsih, Peni Januarti, Tuty Yosenda, Bagus Nugroho dan Pungki Wiryawan Purboyo. Sebagian teman dari Jakarta, dan sebagian lagi dari Bandung. Kami janjian bertemu di exit pintu tol Cileunyi.Sementara pendakian kedua, teman-teman menyusut karena kesibukan masing-masing, karenanya, pendakian kaliini hanya berempat : Sieling Go, Tuty Yosenda, Bagus Nugroho dan saya.
Lucunya, ketika sampai di kota Garut yang jaraknya sekitar 70 km dari Bandung ini kami lupa jalan. Ternyata tidak semua orang Garut tahu, ke mana arahGunung Papandayan. Sampai-sampai bertanya pada seorang polisi pun ia menunjukkan ke arah yang salah. Karenanya, perlu diketahui, untuk yang pertama kali ingin mendaki gunung yang tingginya 2665 mdpl ini untuk ditunjukkan ke arah Cisurupan, di sanalah gunung ini berdiri.
Infrastruktur jalan ke sini waktu itu sangat buruk. Di jalan beberapa orang yang melintas mengingatkan kondisi jalan yang tidak bersahabat. Benar saja,aspal telah terkelupas. Mungkin masih mending jika hanya terkelupas, ini benar-benar telah membentuk kubangan. Tentunya, apalagi waktu itu musim penghujan telah tiba, membuat Bagus Nugroho yang mengendarai mobil Avanza hitamnya harus ekstra hati-hati. Kami bertemu banyak anak muda yang mengendarai motor untuk mendaki gunung. Naik motor sepertinya lebih asyik, karena tidak akan sesulit mengendarai mobil jika jalanan seperti ini. Setidaknya, pengendara motor lebih bisa memilih jalan. Saya mengatakan mereka anak-anak muda, karena usia kami sudah tidak muda lagi. Ketika sampai di pos tempat awal pendakian, saya melihat ke sekeliling, benar hanya kami berempat yang terhitung sudah tua untuk mendaki. Tetapi, kalau sudah melihat bukit, gunung, bentangan alam raya, saya sering sering lupa umur. Apalagi mungkin bagi Sieling Go yang ceria selayak kanak yang sudah tujuh kali naik Himalaya dan entah puluhan atau mungkin lebih dari seratus bolak-balik ke gunung, naik gunung yang dengan ketinggian 2665 mdpl sangat ringan, boleh jadi selayak jalan-jalan pagi. Kami segera lapor ke pos, dan kemudian menyewa jasa porter untuk membawa perlengkapan dan perbekalan kami.
Gunung Papandayan adalah gunung berapi yang aktif dan sudah beberapa kali meletus. Tak heran jika pendakian di awal disuguhi belerang yang amat menyengat yang berasal dari kawah-kawah yang masih aktif.Namun, di sanalah justru terdapat eksotisme pemandangan Papandayan. Di komplek kawah Papandayan ada lubang-lubang magma dengan aneka suara yang sulit diterjemahkan dalam kata-kata. Dan, jika mau,apabila ingin mengasap telur ayam di dekat lubang magma ini, telur akan matang. Nun jauh di atas sana, terlihat puncak Papandayan, sangat indah. Semakin tinggi mendaki, rasanya kian sulit untuk tidak mengucapkan rasa takjub akan keindahan alam Papandayan. Melihat ke bawah, ke samping kiri dan kanan yang ada hanyalah pemandangan yang menakjubkan.
Track mendaki ke Papandayan tidaklah sulit. Lagi pula, tak perlu membawa air perbekalan minum yang banyak. Seperlunya saja. Karena, di sana ada air yang airnya bisa diminum langsung. Ada sebuah semacam sungai kecil di mana airnya begitu jernih. Para porter yang disewa minum air itu. Tetapi, saya tidak berani minum air itu, tokh perbelakan air sudah ada. Di sisi kiri dan kanan ada pohon cantigi yang pucuknya bisa di makan untuk bertahan hidup jika terjadi sesuatu.
Gerimis mulai turun, kabut membayang di pelataran gunung. Saya merasa sedang menembus sebuah misteri kehidupan yang tidak tahu bagaimana akhir ceritanya. Kalau dipikir-pikir, rasanya pendakian gunung ini seperti mendaki kehidupan. Saya jadi teringat sebuah cerita, ada seorang lelaki yang merasa memiliki banyak masalah di dalam hidupnya. Ia bertanya pada seorang guru agar dia mendapatkan pencerahan budi. Guru itu mengajaknya naik gunung. Sang Guru berkata sambil menunjuk ke arah pemandangan dan lembah serta jurang di bawahnya, “Apa yang ada di bawah sana itu adalah masalahmu, jangan kau biarkan jiwamu berkubang di sana. Naiklah pada ketinggian. Kau akan melihat semua masalahmu kecil, jika jiwamu terbang tinggi.”
Dan, tepat ketika tenda berdiri, hujan begitu deras. Tetapi, kami semua menikmatinya. Hujan di puncak gunung terasa berbeda. Nyanyian hujan bersama angin dan kabutnya sungguh tak terlupakan. Setiap tetesnya terasa indah. Setiap angin menyapu tubuh, begitu damai hingga ke seluruh sanubari.
Dulu kami camping di Pondok Saladah, di sana ada taman edelweis dan juga dekat dengan mata air. Sekarang, kami camping menghadap ke arah Gunung Cikuray, di Grober Hut.Dari arah Gunung Cikuray nanti di pagi hari kami akan melihat matahari terbit. Jadi kami tak perlu jauh-jauh untuk melihat sunrise di atas gunung.
Tetapi, enak juga camping di Pondok Saladah, di sana dekat dengan Hutan Mati.Pepohonan di sini mati karena letusan gunung berapi. Pemandangan di Hutan Mati amatlah indah. Sangat indah. Di setiap sisi Gunung Papandayan saya melihatnya seperti taman. Pagi hari, kami menikmati matahari terbit yang melengkapi keindahan 'taman' ini. Ya, sebuah taman. Taman Langit..