Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Menembus Padang Tandus Pulau Timor

24 Mei 2012   22:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:50 2156 3

Apa yang kau bayangkan tentang Pulau Timor? Hanya kering  tandus. Seperti itu pula yang saya bayangkan. Dan seperti itu pula kenyataannya, walau pun bayangan itu tidak seluruhnya akurat. Membayangkan Timor seluruhnya tandus mungkin karena kita mengunjungi puncak-puncaknya kering kerontang disana, sekitar Agustus-September dan Oktober. Sebenarnya, sekalipun Timor sebagian besar wilayahnya memang  tandus dibeberapa tempat sumber air dapat ditemukan, misalnya di Oehala dan Oenesu.

Sebagian besar Pulau Timor wilayahnya adalah bebatuan karang, batuan kapur dikelilingi oleh laut lepas. Ketika saya terakhir berada disana, pada tanggal 15 Mei 2012,panas terik yang sudah terasa menyengatketika hari masih dibilang pagi. Panas matahari jam 08.00panasnya seakan sudah jam 11.00 siang, dalam suhu udara Bandung. Semakin siang, kian serasa masuk kedalam pemanggangan.

Bulan Januari ketika curah hujan masih banyak, padang-padang ini nampak membuat rerumputan bersuka cita. Mereka  adalah makhluk-makhluk yang merindukan air sedemikian rupa. Rerumputan pun seolah bagai permadani apabila dilihat dari udara. Namun karena curah hujan disini hanya 65 hari saja dalam satu tahun. Itulah sebabnya untuk yang 300 hari, kebanyakan padang-padang rumput disini hanya meninggalkan tandus dan gersang.Membandingkan daerah asal saya, Jawa Baratyang subur dengan Pulau Timor alangkah bedanya. Kecuali daerah So’e yang subur, dari daerah inilah sumber pangan lokal seperti sayur mayur dan buah-buahan didapat, selebihnya untuk kebutuhan diluar itu banyak didatangkan dari Pulau Jawa dan lainnya. Oleh sebab itu, harga-harga barang di Pulau Timor secara umum cukup mahal dibandingkan di Jawa, terutama sayuran dan buah-buahan dan barang-barang kelontong lainnya.

Menjelajah tempat menuju Oenesu, pepohonan tumbuh jarang. Yang mungkin masih terlihat hijau adalah pohon lontar, kedondong hutan dan beberapa pohon lainnya yang saya tak tahu namanya. Menelusuri padang-padang gersang disini serasa ada di tempat antah berantah. Pemandangan beginibiasanya saya lihat di televisi yang menyajikan pemandangan alam tentang Afrika. Tetapi ini bukan Afrika, ini masih wilayah Indonesia. Beberapa anak berjalan dengan telanjang kaki, rambut mereka ikalhalus kemerahan.Wilayah-wilayah ini nampak tak tertata apalagi terawat. Ironisnyatempat ini tidak jauh dari ibu kota provinsi NTT, Kupang.

NTT adalah provinsi dengan 550-an pulau ini adalah salah satu provinsi miskin di Indonesia. Sebenarnya, penduduk Pulau Timor masih jauh lebih beruntung dibandingkan di pulau-pulau lainnya, sebut saja Flores, Rote Ndao, Semau dan lainnya, karena disinilah ibu kota provinsi berada. Paling tidak dekat dengan ibu kota provinsi mudah mendapatkan berbagai barang kebutuhan. Bahkan saya tidak kesulitan menemukan mobil dengan plat nomor TL atau Timor Leste diantara plat nomor NTT, DH. Orang Timor Leste senang berbelanja di Kupang, karena barang-barang dirasa lebih murah dibandingkan di negara barunya.

Dulu ketika Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia, NTT tak ubahnya bagai anak yang memiliki ibu tiri yang kejam bernama Jakarta. Timor Timur demikian dimanjakan dengan pembangunan fasilitas-fasilitas fisik maupun fasilitas publik lainnya. Sementara provinsi di sebelahnya yakni Timor bagian barat disentuh sekedarnya. Setelah Timor-Timur lepas dari Indonesia, pembangunan secara fisik walau pun masih terasa lambat ada geliatnya, padahal sektor pariwisata disana dapat dikembangkan, terutama pariwisata lautnya yang indah, seni budaya tradisionalmusik sasando dan kain tenun. Pulau Timor juga sangat potensial untuk mengembangkan budi daya rumput laut disertai penyertaan teknologi pasca panennya, budi daya mutiara serta perikanan, dan lainnya. Sayangnya ini kurang digarap secara serius.

Perencanaan tata kota juga kurang baik, lumayan semrawut, beberapa hotel dan bangunan-bangunan dibiarkan mengkavling pemandangan lautnya yang indah. Jika melihat gelagatini, saya teringat di sepanjang pantai menuju Pantai Carita di Banten, laut seakan telah dikavling-kavling oleh hotel yang ada. Ini yang membuat saya malas untuk datang bertandang kembali ke seputar pantai Carita karena kehilangan pemandangan alaminya.

Sekalipun begitu, kendati sebagian besar warga pulau Timor di pelosok-pelosok desa dandi kota wilayah pinggiran nampak masih begitu sulit untuk beranjak dari kemiskinan, namun pantang bagi mereka menjadi anak jalanan. Tidak banyak pengemis disini. Menuju Oenesu seperti juga di pedalaman Pulau Timor lainnya, gereja-gereja berdiri tegak hingga ketempat-tempat terpencil dengan bangunan-bangunan yang sederhana. Masyarakat Timor adalah masyarakat yang religius, karena itu segera saja jalanan begitu sepi di hari minggu pagi, karena mereka berbondong-bondong ke gereja. Dalam keterbatasan, beruntunglah mereka masih memiliki iman.

Sempat saya berpikir, bagaimana mereka bertahan hidup dengan tanah yang tandus dan gersang seperti ini? Namun ternyata cara berpikir seperti ini amatlah kekanak-kanakan dan menunjukkan kemanjaan.Penduduk pelosok Timor selalu menemukan cara bertahan hidup dan daya adaptasi yang luar biasa terhadap alam. Mereka tahu kapan saatnya menanam jagung dan palawija lainnaya. Mereka juga pandaibeternak sapi, kambing dan babi.

Di daerah pesisir, mereka bekerja sebagai nelayan, banyak juga diantaranya yang menjadi pegawai negeri, dan bekerja di sektor-sektor swasta. Sektor industri kurang berkembang, satu-satunya industriyang dikatakan besar disana hanyalah pabrik Semen Kupang.Dan di ibukota provinsi Kupang, umumnya orang Bugis, Jawa dan Cina menjadi pedagang-pedagang yang gigih. Pribumi dan pendatang semuahidup berdampingan dalam damai, ditambah umumnya tipikal masyarakat pribumi yang ramah dan rendah hati.

Namun kadang saya tak percaya dengan apa yang disaksikan oleh mata, dalam keterbatasan kehidupan dari rumah-rumah tradisional yang beralaskan tanah dengan atap ilalang di padang tandus itupara anak-anak muda tengah memainkan ponsel dan berwakakak ria. Mudah sekali menemukan kerumunan anak-anak muda disana berleha-leha menghabiskan waktu kongkow-kongkowdibanyak tempat, membuang waktu percuma. Sungguh pemandangan yang ironis di tengah padang tandus dan kemiskinan dimana orang-orangselayaknya lebih gigih dan bekerja keras.

______________

Kupang, 15 Mei 2012

Sumber gambar : Dokumen Pribadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun