Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Refleksi Kematian

2 Mei 2012   23:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:49 634 2

Dua orang yang saya kenal baik baru-baru ini meninggalkan dunia untuk selamanya. Pertama,ayahanda mertua. Pada hari Rabu, 4 April 2012 saya menjenguknya bersama mbak Tuty Yosenda, beliau dalam keadaan sehat wal afiat, dan membuat saya tenang pulang meninggalkannya. Usia tak dapat diduga, 6 hari kemudian beliau meninggal setelah  dilarikan ke rumah sakit sesaat setelah jatuh pingsan dekat mesjid.  almarhum  ketika itu baru usai shalat berjama’ah. Beliau meninggal dalam usia 88 tahun. Dan kedua, adalah tukang buah dan sayuran dekat rumah. Hari minggu siang lalusaya masih belanjadi tempatnya, dan hari selasa kemudian ia meninggal dunia. Kematiannya begitu mendadak.

Kematian kedua orang ini tentu saja meninggalkan duka yang mendalam bagi saya. Saya mengenang seluruh kebaikan ayahanda mertua, beliau adalah orang baik yang saya kenal. Sepanjang yang saya ketahui, almarhum hampir tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah, beliau juga hampir tak pernah meninggalkan shalat tahajud dan berpuasa Senin-Kamis. Bahkan beliau merelakan tanah miliknya untuk dijadikan mesjid dan membangunnya untuk penduduk disekitar.Menjelang kematiannyawasiat almarhum adalah, “Rawat dan makmurkan mesjid.” Sementara tukang buah dan sayuran itu, usianya masih begitu muda, ia selalu menawarijika ada pisang raja kesukaan saya. Sekarang, tak ada lagi yang menawari pisang raja ditikungan jalan. Sungguh saya merasa kehilangan.

Selaput Tipis.

Menurut Snijders, manusia itu makhluk paradoks. Ia senang berceritera yang indah tentang kematian, namun ia sendiri takut mati. Kematian itu sesuatu yang misterius dan ‘gelap’ untuk dijangkau pemikiran manusia, karena itu manusia selalu menghindari dan lari daripadanya, sekali pun semua akan mendapat gilirannya.Ada yang begitu “gagah” mejemput kematian, karena ia meyakini surgaakan menjadi bagiannya. Dan ada juga yang nekad mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Salah seorang teman menulis dalam statusnya di fb dengan begitu reflektif, “Betapa pun kuasanya kematian, ia adalah selaput tipis yang mudah ditembus. Ada orang mati dengan meledakkan diri, ada yang gantung diri di pohon dan ada yang membakar diri. Semuanya sama saja. Tidak ada yang kembali dari alam baka.”

Jalaluddin Rumi menyebutkan kematian itu sebagai “tirai rahmat”, Kematian bukan perpisahan, tetapi sebuah pembebasan :

Jangan menangis, :”Aduhai kenapa pergi!”

dalam pemakamanku_

Bagiku, inilah bahagia!

Jangan katakan, “Selamat tinggal!”

ketika aku dimasukkan ke liang lahat_

itu adalah tirai rahmat yang abadi.

Takut Masuk Neraka

Saya sempat membaca sebuah kalimat dalam buku Sejarah Tuhan, “neraka merupakan realitas yang lebih menakutkan daripada Tuhan karena neraka adalah sesuatu yang secara imajinatif yang betul-betul bisa saya pahami. Sedangkan Tuhan merupakan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual daripada imajinasi.” Ada yang menafsirkan api neraka itu adalah kalimat metafora. Menurut penafsir ini, neraka yang sesungguhnya adalah penyesalan manusia itu sendiri, akibat dari perbuatan buruk yang dilakukannya.

Kita sedemikian takutnya pada neraka seperti yang sering diceriterakan para guru mengaji seakan-akan Tuhan itu adalah sosok yang Maha Jahat, Maha Penyiksa dan Maha Kejam. Pendekatan-pendekatan pembelajaran agama seperti ini membuat manusia lebih meyakini Ke-Maha Kejaman Tuhan daripada kasih sayang dan cinta kasih Tuhan. Manusia kian sulit mengembangkan perasaan tentang samudera kasih sayang dan lautan cinta yang bersumber dari Tuhan, Yang ada dalam pikiran manusia kebanyakan hanyalah diantara hitam dan putih. Dosa dan pahala. Lupa bahwa kehidupan ini berproses, bahwa manusia seringkali melakukan kesalahan berulang-ulang, kebodohan, pandir, konyol, dst. Bukankah “dosa” dan kesalahan ituadalahsebuah “sekolah” tempat manusia belajar? Sebaik-baiknya orang adalah orang yang menyadari dirinya sebagai “pembelajar kehidupan” bukan yang memposisikan diri sebagai “guru kehidupan”.Terlebih manusia yang memposisikan dirinya sebagai “hakim” melebihi Tuhan. Ia mudah menjatuhkan vonis bersalah kepada orang. Mengukur-ukur dosa orang lain sesuai dengan seleranyasendiri.

Hati yang Bersih

Anne Marie Schimmel menuliskan, “kematian adalah jembatan yang menghubungkan antara orang yang mencintai dan dicintai” untuk melihat Keindahan Illahiah yang abadi. Dengan indah Rumimenulis dalam Diwan,

Bila kematian itu manusia

Yang dapat kupeluk erat-erat!

Aku kan mengambil darinya jiwa yang bersih

Dan tak berwarna;

Dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna, hanya itu !

Dan ada cerita lain yang sangat menggugah dari buku Membuka Tirai Kegaiban. Anas bin Malik menceriterakan, “Pada suatu hari kami duduk bersama Rasulullah Saw, kemudian beliau bersabda, ‘Sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga’ “Para sahabat hampir-hampir meremehkan amalannya karena tak ada amalan yang hebat darinya. Belakangan diketahui amalan calon penghuni surga itu adalah hati yang bersih. “Pada hari itu tidak ada manfaatnya dihadapan Allah Swt  harta dan anak-anak, kecuali dengan hati yang bersih.” (QS 26:89)

Sebagai penutup, saya menyampaikan selamat jalan kepada ayahanda mertua tercinta dan kepada almarhum tukang buah dan sayuran terkasih. Semoga damai dalam pelukan-Nya. Bukankah hanya kehangatan dan lembut pelukan kasih Tuhan yang selalu kita rindukan…..?

_______________

Bandung, 2 Mei 2012

Senarai Rujukan :

1. Jalaluddin Rakhmat, Membuka Tirai Kegaiban, Renungan-Renungan Sufistik, Mizan, 2008.

2. AnneMarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api, Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Mizan, 2008

3. Adelbert Snijders,OFM, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan, Penerbit Kanisius, 2004

4. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia, , Mizan, 2011

Sumber gambar : www.dikutip.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun